purplish

Evan sebenarnya sudah beberapa kali memergoki cowok yang berada satu organisasi dengannya itu melihat ke arahnya lebih lama, tersenyum lebih lama, bahkan mengobrol lebih lama dari biasanya ia mengobrol dengan anak-anak yang lain. Jujur saja dari awal memang Evan sudah tertarik dengan cowok bernama Candra itu. Evan suka dengan orang yang wawasannya luas dan pembawaannya asyik. Tak hanya memiliki itu semua, Candra rupanya juga memiliki selera humor yang cocok dengan Evan. Tetapi yang paling membuat Evan benar-benar naksir adalah bagaimana cara Candra peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Termasuk Evan.

Hari itu rapat organisasi berakhir cukup lama dari biasanya. Langit sudah mulai gelap dan area kampus yang dihiasi banyak pepohonan rimbun itu pun terlihat mencekam. Evan harus mengambil motornya di parkiran yang berjarak cukup jauh dari ruang rapat. Belum apa-apa bulu kuduknya sudah merinding. Ia mendengar terlalu banyak cerita hantu kampus.

“Van, pulang naik apa?”

Evan terlonjak kaget ketika Candra tiba-tiba sudah berada di belakangnya, memakai sepatunya.

“Motor. Lo sendiri?”

“Gue nebeng temen gue tadi. Motor gue bannya bocor belom sempet benerin.”

“Ooh.”

Evan mengamati Candra hingga cowok itu selesai memakai sepatu dan beranjak berdiri.

“Lo parkir di mana?” tanya Candra.

“Di deket perpus.”

“Kok jauh parkirnya?”

“Tadi sekalian habis dari perpus, sih.”

Candra mengangguk-angguk. “Gue temenin apa?”

Evan memang sejak tadi berharap agar Candra menemaninya ke parkiran. Karena ia terlalu takut berjalan sendiri ke sana. Sesampainya di parkiran, Evan sekalian menawarkan diri untuk mengantar Candra pulang.

“Lo ngekos, kan?” tanya Evan.

“Iya. Lo juga?”

Evan menganggukkan kepala.

“Eh, mau mampir makan dulu, nggak?” tanya Candra kemudian. “Gue suka males makan kalo udah nyampe kos.”

“Hahah gue juga. Ya, udah, ayo.”

Akhirnya dengan mengendarai motor Evan, keduanya mampir ke warung makan untuk membeli nasi sayur. Mereka mengisi perut sembari bertukar obrolan tentang diri masing-masing.

“Lo emang aslinya suka nulis, ya, Can?”

“Gue? Suka aja, sih.”

“Artikel yang lo tulis isinya bagus-bagus, tau,” puji Evan. “Gue suka baca juga terus jadi tau banyak hal yang sebelumnya gue nggak tau.”

Candra tersenyum mendengar ucapan Evan tentang tulisannya.

“Liputan yang lo tulis juga bagus, kok, Van,” balas Candra. “Nggak gampang, loh, ngolah hasil wawancara jadi tulisan yang enak dibaca dan nggak terkesan kaku.”

Evan sudah sering mendengar kalau ia memiliki bakat dalam menulis, tetapi yang barusan didengarnya oleh Candra adalah yang pertama kali. Ia sendiri bahkan tidak pernah terpikirkan akan hal itu.

“Iya, ya?” gumam Evan pelan.

Candra mengangguk cepat. Senyumnya kembali merekah dan Evan dapat merasakan dadanya berdesir.

Selesai makan, keduanya keluar dari warung. Candra yang memaksa untuk membayar karena sudah dibolehkan menumpang motor Evan.

“Kosan gue udah deket, tinggal jalan aja,” cetus Candra.

“Beneran?”

“He eh. Deket banget, kok.”

Sebelum Evan benar-benar pergi, Candra sempat menahannya sebentar. Cowok itu melepas jaketnya lalu menyampirkannya di bahu Evan.

“Pake jaket. Dingin.”

“Eh- ini kan-”

“Nggak papa. Gue tinggal jalan deket doang. Lo yang masih harus motoran ke kos. Lain kali bawa jaket, ya?”

Hari itu Evan kembali disadarkan bahwa ia ternyata naksir berat dengan Candra. Benar-benar naksir.


Namun menyukai seseorang seperti Candra membuat Evan gundah juga. Meski cowok itu memberikan perhatian padanya, tetapi tak sedikit juga yang mendapat perlakuan baik darinya. Evan jadi kepikiran, jangan-jangan dia terlalu besar kepala dan menganggap perlakuan Candra padanya adalah sesuatu yang spesial.

“Duh, Binnn, apa gue yang ke-geer-an, ya??” keluh Evan pada teman dekatnya, Bintang.

Bintang yang sedang selonjoran di kos Evan sambil mengunyah cilok itu menghentikan kegiatannya untuk melirik ke arah Evan yang berkali-kali mengeluh tidak jelas.

“Menurut lo sendiri gimana?” tanya Bintang.

“Apa, yaa?” Evan membalikkan badannya hingga telentang di kasur dan melihat ke langit-langit kamar. “Dia baik terus sama gue, sih. Kayak yang- care banget gitu, loh. Sampe dipinjemin jaket menurut lo gimana? Tapi gue nggak tau, sih, kalo dia pernah ngasih jaket ke orang lain juga.”

“Tanyain aja langsung.”

“Gila kali.”

“Daripada lo penasaran? Tanyain. Can, lo ngasih jaket ke gue doang apa ke yang lain juga? Soalnya gue udah baper banget sama lo, nih.”

Bintang langsung mendapat lemparan bantal dari Evan.

“Kayak kita berdua, tuh, sering ngobrol. Nyambung dan seru banget. Tapi dia nggak pernah nyinggung soal itu. Gue, kan, jadi bingung?”

“Makanya ditanyain. Atau lo ngaku sekalian kalo lo naksir. Daripada udah deket lama terus ternyata dia jadiannya sama orang lain?”

“Kayak lo sama Bara, ya?”

Celetukan Evan membuat Bintang hampir tersedak cilok yang sedang dikunyahnya. Bantal kembali melayang ke arah Evan.

Tetapi omongan Bintang hari itu membuat Evan jadi mempertimbangkan langkahnya. Kalau begini terus, bisa-bisa hubungan mereka tidak akan jalan ke mana-mana.

Sebenarnya Evan sudah punya feeling kalau Candra mungkin naksir juga padanya. Tapi rasa insecure-nya yang menang karena Candra tidak pernah benar-benar menunjukkan secara gamblang. Maka dari itu Evan harus memberanikan diri membahas masalah itu lebih dulu.


“Gue ada naksir sama lo sebenernya.”

Kalimat yang terucap dari mulut Evan itu bukanlah hal pertama yang ingin dikatakannya. Tapi, toh, akhirnya terlontar juga tanpa bisa ia tahan.

Hanya ada mereka berdua di ruangan tempat anggota organisasi Media dan Informasi berkumpul. Mereka harus tinggal karena ada tugas menyortir artikel minggu itu.

Ruangan yang sebelumnya hening itu menjadi semakin hening setelah Evan mengucapkan satu kalimat itu. Hanya suara deru AC yang mendinginkan ruangan hingga jemari Evan pucat setelah meremasnya kuat-kuat dalam genggaman.

“Van, kelarin ini dulu nggak papa?”

Pertanyaan Candra hampir membuat Evan menepuk dahinya keras-keras. Kenapa pula ia mencetuskan kalimat itu di tengah-tengah kegiatan yang harus segera mereka selesaikan?

Tetapi senyum lembut dan tepukan pelan pada puncak kepalanya membuat Evan kembali tenang. Fokusnya beralih pada kertas-kertas di hadapannya. Sesekali ia menangkap gelagat Candra yang terlihat lebih canggung dari biasanya. Evan ingin segera menyelesaikan tugasnya.

Tumpukan kertas yang sudah dipilih tertata rapi di depan kedua orang yang kini duduk bersisian bersandar pada dinding ruangan. Evan memeluk kedua kakinya, terdiam. Hanya menunggu Candra untuk mengucap sesuatu terlebih dahulu.

“Evan.”

“Hm?”

“Beberapa hari ini gue sibuk mikirin.”

“Mikirin apa?”

“Gimana caranya nyampein perasaan gue ke lo tanpa bikin lo kaget.”

Evan seketika terdiam.

“Saking sibuknya mikir malah jadi lo yang harus ngomong pertama.” Candra tertawa pelan. “Padahal sesederhana ngomong suka. Mau gimana pun pasti yang denger bakalan kaget.”

“Emangnya lo kaget?” tanya Evan polos.

“Kaget banget, lah.”

Evan jadi ikut tertawa. Tentu saja Candra merasa kaget. Mendengar pengakuan yang tiba-tiba di saat mereka sedang serius memilah artikel.

“Maaf,” ucap Evan kemudian.

“Kenapa minta maaf? Harusnya gue nggak, sih? Selama ini gue udah sering ngobrol sama lo. Udah deket banget. Lo pasti bingung juga sama sikap gue.”

Evan tidak menyangka Candra ternyata menyadari sikapnya itu.

“Gue nggak ada pengalaman pacaran sama orang, Van. Sebelum-sebelumnya gue cuma naksir mereka diem-diem. Nggak pernah berani buat bilang. Takut duluan sama outcome-nya.”

Evan menaruh kepalanya di atas lututnya, mendengar cerita Candra.

“Tapi di akhir gue selalu nyesel. Kenapa gue nggak pernah nyoba? Padahal bisa jadi orang itu suka juga sama gue. Or at least, gue nggak akan penasaran lagi sama perasaannya ke gue.” Candra menoleh sejenak pada Evan sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sejak ketemu lo- ini jujur, ya, Van. Lo orangnya nyenengin banget. Gue suka.”

“Gue nyenengin?” Evan mengangkat kepalanya seraya menunjuk dirinya sendiri. “Masa, sih?”

“Iya. Emangnya orang-orang nggak pada bilang gitu sama lo?”

“Kebanyakan pada ngira gue, tuh, galak. Jutek.”

“Kok di gue nggak, ya? Dari pertama gue liat lo di Medif gue udah ngerasa kalo lo orangnya baik, seru diajak ngobrol.”

Pipi Evan bersemu merah ketika Candra mengatakan kesan pertamanya tentang Evan.

“Lo juga orangnya baik banget pas pertama ketemu. Cerah terus wajahnya,” ucap Evan.

Keduanya seketika diliputi rasa jengah yang datang tiba-tiba. Mengetahui bahwa dari awal mereka memiliki impresi dan perasaan yang sama tentang diri masing-masing membuat keduanya dilingkupi perasaan senang.

Candra tiba-tiba menutup wajahnya sembari berseru pelan. “Gue seneng banget, Van. Maaf, ya, kalo norak.”

Evan melebarkan matanya, berusaha menahan senyumnya agar tak merekah terlalu lebar. Disenggolnya Candra dengan sikunya.

“Apaan, sih, Candra.”

Di dalam lubuk hatinya Evan juga sudah berseru keras. Ingin meneriakkan ke seluruh dunia kalau hari itu ia sangat bahagia.

Hari-hari Evan setelah itu bagaikan potongan film romantis yang menjadi favoritnya. Hal-hal yang biasanya hanya dilihat di dalam film satu persatu terjadi pada kehidupan nyatanya. Rasanya seperti mimpi.

Dan apa yang diketahui Evan tentang Candra ternyata belum semuanya. Candra bisa jauh lebih romantis daripada yang dilihatnya selama ini. Salah satunya saat cowok itu memberi sebuah surat pada Evan.

“Baca kalo kamu udah sampe kos,” pesannya.

Hanya secarik kertas namun benda itu yang akan jadi favorit Evan untuk beberapa tahun mendatang. Disimpan dalam amplop warna kuning, Evan mengeluarkan kertas yang dilipat menjadi dua itu dan mulai membaca isinya.

Dear Evan,

It's been a while since I met you and got to know you better. And the more I know you, the more I realize that you're one big reason for the happiness that I got recently. You make me do better for everything I do. You, too, make me a better person. Someone that used to have low self-esteem is now becoming someone with confidence. You gave me that confidence, that I'm a great person and deserve things in this world. Some things are special. Like you.

I applaud my writing skill at times like this because I'm an awkward mess if I have to say it right to your face. You're beautiful and it's very distracting. Very unfair to me. But I like you still. I really like you. I like you like I like my morning coffee. I like you like I like the raindrops sounds in the middle of the night. I like you like I like any favourite song that randomly pops up when I shuffle my playlist. I just like you.

Also I like being around you, just as much you said you liked being around me. The late night conversation, the holding hands, the awful jokes, the calling of my name, I like them all.

I'm not the best person. But you make me feel like I'm enough.

I'm probably not the best lover too. Or am I?

Evan, do you mind helping me find out?

I feel like you're the right person to help me.

Sincerely, Candra

(p.s pls listen to this song if you're willing to help me!)

Evan segera meraih ponselnya untuk memutar lagu yang Candra sematkan di bagian paling bawah suratnya. Butuh beberapa waktu bagi Evan dapat menemukan nyawanya kembali karena untuk suatu alasan air matanya mengalir tanpa henti. Membaca surat dari Candra dan mendengarkan lagu yang Candra beri, Evan rasanya ingin berlari pada cowok itu dan memeluknya erat-erat.

Nada sambung terasa begitu lama ketika Evan menghubungi Candra. Namun saat suara Candra terdengar dari seberang, napas Evan serasa terenggut.

“Iya?”

“Candra…”

“Hm?”

“Aku udah baca surat kamu dan dengerin lagunya.”

“You did?”

I did. And I'm willing to help you. I will help you find out.


Hingga lima bulan kemudian lagu itu masih menjadi lagu yang sering Evan putar di playlist-nya. Dan surat dari Candra menjadi pengingat bahwa ia pernah dan semoga selalu disayangi oleh seseorang dengan cara paling indah.

“Selamat hari jadian yang ke-lima bulan!”

“Gimana? Udah nemu jawabannya belom?”

“Jawaban apa?”

That you're the best lover.

“Kamu yang udah bantuin aku selama lima bulan ini. Kamu nemu jawabannya, nggak?”

“Kalo aku, sih, dari awal udah tau jawabannya.”

And that is?

You're the best that I've ever had. No lover or anything. Just you. Candra.”

Meski tak selalu hal-hal baik yang mereka lewati, tetapi menjalani semuanya dengan tangan yang saling bertaut membuatnya terasa lebih mudah. Evan selalu bersyukur ia mengambil keputusan untuk mengatakan perasaannya pada Candra. Karena jika ia melewatkannya, Candra juga akan melewatkan kesempatan memberi kasih sayang terbaiknya untuk seseorang yang sejak awal telah menempati ruang spesial di hatinya.

When they said that some people are meant to be together, Candra and Evan believe it happened to them.

Bintang tidak bermaksud mengabaikan Biru seperti itu. Memang dirinya kesal lantaran insiden beberapa hari yang lalu di kolam renang. Sibuknya perkuliahan menambah alasan Bintang tak menghubungi Biru seperti biasa.

Tetapi ini sudah lewat seminggu. Bintang baru sadar Biru tak lagi berusaha membujuknya untuk berbaikan. Biru bahkan tak mengirim pesan lagi untuk Bintang. Dan bagi Bintang itu adalah suatu hal yang anomali.

Maka siang itu selepas jam perkuliahan terakhir, Bintang bertandang ke gedung fakultas Biru. Berharap menemukan cowok itu di sana yang ternyata tak kelihatan batang hidungnya. Ia malah bertemu dengan Hanan dan Arka yang sedang duduk di depan kelas.

“Lho, Bibin? Ngapain ke sini?” tanya Hanan begitu ia melihat Bintang yang celingukan.

“Nyariin Biru?” tambah Arka.

Bintang mengangguk. “Biru mana?”

“Udah baikan, nih?” cetus Hanan mengabaikan pertanyaan Bintang.

Tak menggubris Hanan, Bintang mengalihkan pertanyaannya pada Arka. Berharap cowok itu akan memberikan jawaban.

“Langsung balik tadi, Bin. Nggak tau ada apa.”

“Biru jelek terus mukanya semingguan ini, lho. Gara-gara dicuekin lo, tuh.”

Lagi-lagi Hanan mengompori Bintang.

“Gue nggak maksud nyuekin. Kesel, sih, tapi gue juga lagi sibuk. Jadi keterusan.”

“Perkara ditinggal di toilet aja jadi gitu. Kasian tau, Biru.”

“Gue nggak maksud!”

Arka segera menengahi keduanya sebelum terjadi adegan saling menjambak atau mencakar.

“Samperin aja ke rumahnya, Bin,” usul Arka kemudian.

Bintang akhirnya mengikuti saran Arka. Dari kampus ia langsung melajukan motornya ke rumah Biru. Namun di perjalanan ia sempat mampir untuk membeli sesuatu.


Rumah Biru terlihat sepi ketika Bintang sampai di sana. Ia mengira tidak ada orang di rumah sebelum matanya menangkap motor Biru yang terparkir di halaman. Segera Bintang membuka pagar rumah Biru untuk masuk ke dalam.

Pintu rumah Biru diketuk beberapa kali sembari Bintang sesekali melihat dari kaca jendela. Bintang segera menegakkan punggungnya ketika suara dari dalam mulai terdengar dan pintu di hadapannya terbuka.

Ekspresi Bintang sama kagetnya dengan Biru. Hanan ternyata tidak berbohong. Wajah cowok itu terlihat muram dan matanya sayu. Tidak ada senyum yang biasa muncul ketika cowok itu melihat Bintang.

“Abin?”

“Kamu nggak bales chat aku,” todong Bintang.

“Oh.” Biru berucap singkat seakan ia baru menyadari hal tersebut. “Maaf.”

Bintang semakin mengerutkan kening atas sikap Biru. Apakah pacarnya ini mulai merasa lelah dengan Bintang? Atau bosan?

“Mau masuk?” tawar Biru ketika Bintang hanya berdiri di luar pintu tanpa bersuara lagi.

Bintang kemudian membiarkan dirinya masuk sebelum Biru menutup kembali pintu rumahnya. Tanpa banyak bicara ia mengekor langkah Biru menuju kamarnya. Cowok itu segera mendudukkan dirinya di atas kasurnya, menghela napas berat.

“Ada apa, Bin?” tanyanya langsung.

Bintang yang seharusnya menanyakan itu pada Biru. Mengapa Biru tak membalas pesannya? Mengapa Biru tak mencoba menghubunginya? Mengapa Biru terlihat lesu?

“Kamu sakit?” Bintang akhirnya balik bertanya. Ia sudah bersimpuh di depan Biru, tangannya terulur untuk menyentuh dahi pacarnya.

Sedikit hangat. Tetapi Biru berkilah dan mengatakan kalau ia baik-baik saja.

“Aku nggak apa-apa, Bin. Kurang tidur aja.”

“Udah makan? Minum obat?”

“Kamu udah nggak marah sama aku?”

“Marah ap- Biru, aku nggak marah…”

Seketika rasa bersalah menjalar di hati Bintang. Seharusnya ia tidak perlu bersikap seperti itu untuk hal yang sepele. Seharusnya ia berusaha menyelesaikan masalah saat itu juga dan tak membiarkannya berlarut.

“Maaf, ya, Bin. Aku lagi banyak pikiran belakangan ini. Jadi nggak bales chat kamu. Aku kira kamu juga masih marah sama aku.”

Bintang beringsut mendekati Biru dan meraih satu tangannya.

“Biru kenapa? Mikirin apa?”

Pertanyaan yang dilontarkan Bintang, juga sorot mata cowok itu saat menanyakannya. Seharusnya Biru tahu dari awal bahwa Bintang selalu dapat memberikan secercah damai untuk hatinya. Mungkin berat yang dirasakannya akhir-akhir ini juga akibat absennya Bintang.

Biru menarik senyum hambar.

“Dinda, Bin.”

“Dinda kenapa?”

“Belakangan ini Dinda rewel terus. Katanya sering mimpiin Ayah. Dia kangen sama Ayah, pengen ketemu.”

Mendengar hal itu hati Bintang langsung mencelos. Ia sendiri tahu Biru selalu menempatkan dirinya sebagai penopang keluarga ini. Berusaha mengisi peran seorang ayah untuk adiknya yang belum siap untuk ditinggalkan. Melihat adiknya seperti itu pasti menghancurkan perasaan Biru juga.

“Aku nggak tau harus gimana, Bin. Dinda juga nggak mau aku ajak ziarah ke makam Ayah. Tiap malem nangis terus. Aku juga jadi kasian sama Ibu yang harus nyari cara biar Dinda berhenti nangis.”

“Sekarang Dinda ke mana, Ru?”

“Kemarin Ibu akhirnya bawa Dinda ke rumah Eyang. Nginep di sana buat beberapa hari biar Dinda ada suasana baru. Di sini dia inget Ayah terus.”

Bintang menurunkan pandangannya ke arah tangan Biru yang sedang diusapnya lembut. Pikirannya mulai terpecah antara rasa bersalah juga kesedihannya atas apa yang sedang Biru alami.

Biru menyerahkan dirinya begitu saja ketika Bintang berusaha merengkuh cowok itu dalam pelukan. Membiarkan Biru beristirahat sejenak di bahunya. Diusapnya pelan punggung Biru sementara pacarnya itu balas melingkarkan kedua lengan pada tubuh mungil Bintang, mencari nyaman.

“Biru udah ngelakuin yang terbaik, kok,” tenang Bintang. “Biru udah jadi kakak sekaligus ayah buat Dinda. Tapi proses berduka itu panjang. Apalagi Dinda masih kecil. Biarin dia berduka. Biru juga jangan terlalu keras sama diri sendiri. Biru juga boleh berduka kalo Biru butuh. Kalo nggak bisa ke mana-mana Biru boleh ke aku.”

Lengan Biru mengetat seiring ia membenamkan wajahnya di bahu Bintang.

“Biru nggak apa-apa, lho, kalo mau nangis. Bintang bakal peluk Biru kayak gini terus sampe Biru selesai nangis.”

Setelahnya Bintang hanya mendengar isakan pelan di dalam ruangan yang hening itu. Mata Bintang pun ikut memanas tetapi ia sekuat tenaga menghalau air matanya meluncur turun. Untuk kali ini ia harus menjadi yang lebih kuat. Biru selalu menjadi tempat Bintang bersandar, sekarang saatnya membiarkan Biru rehat sejenak padanya.

“Biru masih inget cerita Biru soal dua anak yang saling kirim surat, kan? Biru masih mau kirim surat ke Bintang, kan?”

Perlahan Biru mengangguk.

“Bintang juga masih mau baca semua suratnya Biru. Jadi Biru jangan nyimpen semuanya sendirian. Maaf Bintang nggak langsung nyariin Biru kemarin. Tapi bukan berarti Bintang nggak sayang lagi sama Biru.”

“Iya, aku ngerti,” balas Biru. “Aku cuma agak sedih aja karena nggak bisa langsung cerita ke kamu gara-gara kemarin kondisinya kayak gitu.”

“Aku nggak akan kayak kemarin lagi, Ru. Aku janji. Aku sayang banget sama Biru.”

Biru sekali lagi menganggukkan kepalanya.

“Aku juga sayang sama Bintang. Boleh, nggak, aku peluk kamu terus kayak gini?”

“Boleh.”

Pelukan tersebut berlangsung untuk beberapa saat ketika Biru menarik diri dan membawa Bintang untuk rebah bersamanya. Biru menenggelamkan Bintang dalam dekapan sementara mereka berdua rebah di atas kasur milik Biru.

Bintang mendongakkan wajahnya, melihat ke arah Biru yang memejamkan mata. Napasnya berhembus membelai rambut Bintang. Bintang mendekatkan wajahnya untuk menyentuhkan bibirnya pada kening Biru, menciumnya lembut di sana untuk waktu yang lama. Sebelum kemudian ia beralih ke kelopak mata Biru yang terpejam. Lalu ciuman-ciuman kecil berikutnya menghiasi seluruh wajah cowok itu. Terakhir Bintang mendaratkan ciumannya pada bibir cowok itu yang seketika mengulas senyum tipis. Bintang mengecupnya berulang-ulang. Hingga Biru akhirnya membuka matanya kembali.

“Bintang, aku boleh minta sesuatu?” bisik Biru.

“Minta apa, Biru?”

“Aku kangen disayang-sayang sama kamu.”

Biru mengatakannya dengan sorot mata yang mengirim pesan untuk diartikan oleh Bintang seorang. Senyum rikuh sekaligus senang terulas di bibir Bintang. Cowok manis itu mengangguk kecil.

Bintang menggulingkan tubuhnya ke atas Biru. Kedua lengannya masih memeluk Biru erat hingga tak ada jarak yang tersisa. Bintang mulai meninggalkan kecupan-kecupan kecil di leher Biru sementara ia membiarkan tubuhnya bergesekan dengan tubuh Biru. Sengaja Bintang menggerakkan bagian bawah tubuhnya pada paha Biru, mendamba friksi yang tercipta hingga sensasi panas mulai menjalar.

“Bentar, Bin.” Biru menyetop gerakan Bintang sejenak untuk menjangkau bagian depan celana Bintang. “Lepas dulu.”

Bintang kemudian ikut mengarahkan tangannya untuk mengurai kancing celana Biru dan menurunkan resletingnya. Bagian bawah tubuh keduanya kini hanya terhalang selembar kain yang dapat dengan mudah direnggut kapan saja. Bintang kembali menggerakkan badannya menggesek milik Biru yang kini dapat dirasakannya lebih nyata.

Pemandangan wajah Biru yang menutup matanya sembari menggigit bibir bawahnya untuk menahan erangan nikmat membuat Bintang semakin ingin mendengar sesuatu yang ditahan itu. Maka ia memperdalam gesekannya pada milik Biru. Tubuh Bintang semakin dijalari panas akibat gesekannya dengan Biru.

Napas Biru mulai memburu saat ia menyadari Bintang mulai meningkatkan intensitas gesekannya pada pahanya. Erangan dalam tak dapat lagi dihindarinya. Ditambah ia merasakan sesuatu yang hangat di bawah sana.

“Bintang udah basah, ya?” bisik Biru di telinga Bintang yang seketika memerah.

Bintang mengatupkan bibirnya lantaran malu. Padahal belum apa-apa tapi dirinya sudah basah. Dengan senyum yang tersimpan di bibir, Biru menurunkan lembar kain terakhir yang menghalangi keduanya sebelum menukar posisi.

Bintang sudah tidak bisa berkutik jika Biru ada di atasnya, mengunci dirinya. Biasanya Bintang akan mengalihkan pandangannya ke manapun asal tak melihat langsung sorot mata Biru yang menatap dalam ke arahnya.

Biru mulai menggesekkan dirinya lagi pada Bintang. Erangan pelannya tak lagi disembunyikan. Suaranya begitu jelas sebab bibirnya menempel tepat di telinga Bintang. Sekujur tubuh Bintang seketika mendingin.

My mind is always a mess whenever I'm doing this with you,” ucap Biru. “Aku takut kelepasan. Nggak bisa ngontrol.”

Bintang mengerjapkan matanya cepat. Jantungnya berlomba dengan deru napasnya.

You have my permission,” balas Bintang dengan suara yang lebih pelan. “Katanya Biru mau disayang-sayang Bintang.”

Biru memejamkan mata sejenak akibat pusing yang tiba-tiba melanda kepalanya. Efek dari ucapan Bintang di saat-saat seperti ini selalu membuatnya pening. Tak butuh waktu lama hingga Biru mengambil sebungkus pengaman dan merobeknya dengan gigi sebelum memakainya.

“Bintang, nanti kalo kerasa nggak nyaman atau sakit bilang, ya?” pesan Biru yang dibalas Bintang dengan anggukan.

Biru menanggalkan kaosnya dan melemparnya ke lantai. Napas Bintang tercekat ketika ia melihat tato kupu-kupu berwarna Biru di punggung pacarnya itu setelah sekian lama. Masih favoritnya.

Jari pertama yang masuk ke lubang milik Bintang hampir membuat cowok itu memekik. Sudah lama sejak ia terakhir melakukannya dengan Biru. Ia masih belum terbiasa.

Tetapi Biru selalu melakukannya dengan lembut. Seakan Biru sudah tau kapan saja Bintang merasa tidak nyaman. Jadi Bintang tidak pernah benar-benar harus memberitahu Biru.

Napas Bintang tercekat lagi ketika ia merasakan ujung milik Biru menyentuh dirinya. Bermain-main sebentar di sekitar lubangnya sebelum Biru berbisik lagi.

“Aku masukkin, ya?”

Bintang tidak menjawab lagi. Sebagai gantinya ia hanya memejamkan matanya kuat-kuat. Perlahan ia merasakan milik Biru mulai menembus ke dalam dirinya, hati-hati sekali. Hanya bagian ujungnya yang terbenam sebelum Biru menariknya lagi. Diulanginya hingga tubuh Bintang mulai rileks.

“Udah nggak papa, Biru.”

“Hm?”

“Nggak papa. Aku bisa.”

Bintang mengetatkan kedua lengannya pada Biru untuk menyuruh cowok itu agar segera membenamkan seluruh miliknya dalam tubuhnya. Biru akhirnya mulai bergerak turun dan memasukkan seluruhnya hingga terbenam sempurna dalam tubuh Bintang. Paha Bintang sempat bergetar sebagai reaksi spontan tubuhnya. Dinding-dinding tubuhnya memeluk erat milik Biru hingga cowok itu lagi-lagi tak dapat menahan erangan dari balik tenggorokannya.

Biru menghembuskan napasnya keras melalui mulut. “You're so tight it's driving me insane.

Justru Bintang yang rasanya hampir hilang kewarasan ketika Biru melempar komentar itu. Ia bahkan tidak tahu dirinya dapat membuat Biru merasakan hal-hal itu.

Dan ketika Biru mulai bergerak, pikiran Bintang semakin berantakan oleh rasa nikmat yang bertubi-tubi. Telinganya mendengar suara Biru yang berat, berkali-kali mengirim gemetar ke seluruh badannya.

“Biru-” panggil Bintang. Berusaha keras mengumpulkan sisa kewarasannya. “Aku suka denger kamu.”

“Denger apa?” tanya Biru yang masih fokus dengan gerakannya.

“Suara kamu. Di telinga aku.”

Biru akhirnya mengerti. Dan ia akan memenuhi apapun yang Bintang ingin.

Bintang terkesiap ketika ia merasakan hangat di ujung telinganya. Biru mengulum dengan lidahnya sebelum cowok itu mulai melepaskan erangan-erangan berat ke telinga Bintang.

Rasanya seperti musik untuk Bintang. Memabukkan. Desah napas bercampur namanya dibisikkan cowok itu padanya.

“Hhh.. Bintang- kesayangan Biru..”

Pelukan Bintang mengerat pada tubuh Biru. Rasanya semakin sulit untuk berpikir ketika titik kenikmatannya dihantam habis-habisan. Miliknya berdenyut hebat dan cairan bening sudah membasahi perutnya.

“Biru- aku-” seru Bintang tertahan. Ia benar-benar sudah di ujung tanduk.

Demi mendengar Bintang, Biru kemudian memperlambat gerakannya seraya mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Bintang. Dahinya sudah basah oleh keringat, sementara wajahnya memerah. Biru menundukkan kepalanya untuk mencium bibir Bintang.

“Jangan keluar dulu, ya, Sayang.”

Bersamaan dengan itu Biru menghentikan gerakannya total. Ia beralih mengecup bibir milik Bintang, menggigitnya pelan, lalu menyesapnya hingga Bintang lupa akan puncaknya. Ia masih ingin lebih lama menikmati tubuh Bintang.

“Keluarnya bareng sama aku,” tambah Biru.

Bintang kemudian mengangguk. Biru suka Bintang yang selalu mendengar arahannya. Biru suka Bintang yang selalu menurut.

Meski Bintang sudah ingin mencari pelepasannya, tetapi ia menahan diri demi permintaan Biru. Kedua pahanya gemetar ketika Biru mulai mengelusnya di sana. Bintang membutuhkan Biru lagi.

“Biru, can you move again?”

Bintang benar-benar berantakan di bawahnya. Pemandangan yang ingin Biru abadikan dalam memorinya. Sesuatu yang hanya boleh dilihat oleh matanya saja. A beautiful mess.

“Kamu indah banget, Bintang,” bisik Biru sebelum ia mulai bergerak lagi. Kali ini ia bergerak dengan penuh perhitungan. Dengan ritme yang sengaja dibuatnya lamban, tetapi menyentuh semua titik sensitif Bintang. Diciuminya lagi wajah kekasih yang begitu disayanginya itu. “I love you. I love you a lot. I wish that you exist for me only and no one else.

Bintang merasakan hangat di wajahnya. Ia tidak tahu alasan air mata yang datang dari Biru kali ini.

I'm for you only. Bintang cuma buat Biru.”

Dan direngkuhnya Bintang dengan kedua lengan.

Please say it. Say the words to me.”

Bintang menempelkan bibirnya di telinga Biru. “I love you, Biru. I really love you.”

Kata-kata yang muncul dari bibir Bintang bagaikan mantra untuk Biru akhirnya melepaskan belenggu hasratnya. Tubuh Bintang tersentak kala Biru mulai mengubah ritme gerakannya. Desah suara yang diciptakan Bintang tak dapat terelakkan lagi.

“Ah- Hn- Biru-”

“Jangan ditahan- Hh- Lepasin aja.”

Dan ruangan yang luasnya tak seberapa itu dihiasi suara Bintang yang terus memanggil nama Biru, terpantul dari satu sudut ruang ke sudut yang lain hingga memenuhi telinga Biru. Merdu dan memabukkan. Biru menyukainya.

“Bintang kenapa sempit banget?” tanya Biru di sela-sela engahannya. Rasanya nyawanya hampir lepas dari raganya ketika miliknya berkali-kali bergesekan dengan dinding sempit Bintang.

Tangan Bintang mulai menyentuh miliknya sendiri. Ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Terlebih mendengar suara yang terlontar dari bibir milik Biru.

“Biru, aku mau keluar-”

Biru menjatuhkan kecupan singkat pada dahi Bintang seraya berucap, “Tunggu, ya, Sayang.”

Punggung Bintang rasanya seperti hampir remuk selama tubuhnya terhentak. Tak lama hingga dirinya mencapai puncaknya disusul oleh Biru yang seketika ambruk di atasnya.

Untuk beberapa saat hanya ada suara deru napas yang saling bersahutan, tak beraturan. Tangan Bintang hinggap di puncak kepala Biru untuk mengusapnya lembut. Kemudian turun ke punggung cowok itu dan berhenti di atas kupu-kupu biru, dengan telunjuknya ia menyusuri garis-garis sayap kupu-kupu itu.

“Aku suka kupu-kupunya,” ucap Bintang pelan. “But I wished I was there so you didn't have to do this.

Biru mengangkat kepalanya dan memandangi wajah Bintang yang sendu. Disentuhnya sisi wajah Bintang dengan ibu jarinya.

You're here now, so it doesn't matter.

Bintang mengulas senyum tipis untuk Biru yang kemudian mencium bibirnya lembut.


Bintang duduk di sofa ruang tengah rumah Biru setelah mengganti pakaiannya dengan milik Biru yang kebesaran di badannya. Sedang di pangkuannya rebah Biru sambil Bintang mengelus rambutnya. Biru paling suka menaruh kepalanya di pangkuan Bintang sementara kepalanya diusap oleh cowok itu.

Di depan mereka terhidang sekotak martabak yang sempat Bintang beli sebelum ia pergi ke rumah Biru.

“Kamu kenapa beli martabak?” tanya Biru. “Buat nyogok aku, ya?”

Bintang tertawa pendek. “Bukan nyogok. Kamu inget, nggak, dulu waktu kamu nemuin aku di deket parkiran kafe?”

“Yang kamu ngejogrok di situ, ya?”

“Iya. Yang aku pas lagi sedih. Itu kamu jalan pulang dari beli martabak, kan?”

“Eh, iya, ya? Kok kamu inget?”

“Inget, lah. Inget banget.”

“Terus apa hubungannya sama kamu ngasih aku martabak sekarang?”

Bintang terdiam sejenak. Martabak yang dibelinya mungkin tidak berarti apa-apa. Tetapi ada sesuatu yang terus melekat di ingatannya.

“Waktu itu aku bersyukur banget ketemu kamu, Ru. Nggak tau apa jadinya kalo kamu nggak beli martabak dan lewat situ buat nemuin aku yang lagi nangis. Terus nganter aku pulang, terus nanya apa aku baik-baik aja, terus meluk aku. Tiap liat martabak aku jadi keinget waktu itu terus. Dan niat aku ke sini tadi buat cari tau keadaan kamu. Makanya aku beli martabak itu yang pernah bawa kamu buat ketemu aku.”

Biru menghela napas panjang. Ia bangun dari rebahnya agar ia dapat menarik kepala Bintang dalam dekapannya.

“Kamu jangan gemes-gemes jadi orang, gih. Pusing aku beneran.”

Tetapi Bintang malah memeluk Biru kuat-kuat.

“Aku masih belom bisa jadi pacar yang baik buat kamu padahal kamu selalu ngasih yang terbaik buat aku. Aku nggak mau kamu mikir kalo rasa sayangnya aku nggak sama besar kayak kamu. Aku sayang banget sama kamu tapi kadang-kadang aku masih payah buat nunjukkin. Dan aku takut kalo kamu lama-lama capek sama aku. Aku takut kamu akhirnya pergi.”

“Ih, ngomong apa, sih, Bintang? Nggak ada yang capek. Aku dapetin kamu aja susah, masa aku mau pergi?”

Biru mengangkat dagu Bintang agar cowok itu melihat ke arahnya sebelum ia melanjutkan.

“Tau, nggak? Hari ini aku disadarin lagi kalo kamu, tuh, masih cara paling ampuh buat bikin aku tenang. Dari dulu sampe sekarang nggak berubah. So how could I leave you?”

Perlahan Bintang mengangguk paham. Dirinya memang terbiasa dihantui pikiran-pikiran yang menimbulkan resah. Dan selalu Biru yang harus meyakinkannya bahwa semua itu tidak terjadi. Itu hanya ada di dalam kepalanya saja.

“Tapi, Biru janji, ya, kalo ada apa-apa bilang sama aku? Nggak tau ke depannya bakal gimana. Aku pengen Biru bilang ke aku dulu kalo misalnya ada masalah. Jangan tiba-tiba pergi.”

“Nggak, Bintang.” Biru kembali menarik Bintang dalam pelukannya. “Aku selalu berusaha ngomongin semuanya, kan? Masalah sepele, pun, pasti aku omongin. Kamu juga kayak gitu, ya?”

Bintang kembali menganggukkan kepala.

“Aku sayang kamu, Biru.”

“Dan aku pengen denger itu buat waktu yang lama. Udah, jangan mikir aneh-aneh lagi. Kasian martabaknya dianggurin, tuh.”

Tertawa kecil keduanya mulai sibuk menikmati martabak yang meski sudah mendingin tetapi rasanya masih juara.

“Besok ada acara, nggak, Bin?”

“Hmm, nggak. Kenapa?”

“Kamu tidur sini aja dulu. Besok pagi aku anter.”

“Gimana, ya?”

“Aku masih kangen. Masih pengen peluk kamu. Sekalian nemenin aku di rumah. Ya?”

“Tapi kamu yang izin ke Bunda, ya?”

“Siap. Nanti aku bilang ke Bunda.”

“Eh, tapi jangan bilang kalo kamu di rumah sendirian.”

“Kenapa jangan?”

“Nggak dibolehin Bunda.”

“Boleh, kok. Bunda sama aku udah bestie banget, tau.”

“Ih, dibilangin jangan. Bunda pasti mikirnya aneh-aneh.”

“Kamu, kali, yang mikir aneh-aneh?”

“Nggak, dih?”

“Padahal aku minta ditemenin bobo doang. Kamu mikirnya apa, ih.”

“Nggak, Biruu. Siapa yang mikir aneh-aneh?? Ya, udah, kalo bobo doang?”

“Pasti kecewa ternyata mau ditemenin bobo doang, ya?”

“Nggakkk!??”

Memori bahagia itu adalah sekumpulan gajah.

Suara motor berhenti di depan rumah Bintang bertepatan dengan Bintang yang selesai menyemprotkan parfum ke badannya. Disambarnya tas kecilnya dari atas meja lalu keluar dari kamar.

“Bunda, Abin pergi dulu yaa!” pamit Bintang sembari memakai sepatunya. Suara ibunya samar-samar terdengar dari dalam kamar.

Bintang berjalan cepat keluar rumah untuk menghampiri Biru yang menunggu di atas motor. Sosok kecil di balik punggungnya menyembulkan kepala begitu Bintang datang.

“Kak Abinnn!!!”

Bintang melebarkan mata melihat gadis mungil yang langsung menyerukan namanya itu. Diciumnya dengan gemas pipi gadis itu lalu dicubitnya pelan.

“Kak Abin, Kak Abin! Liat, rambut Dinda dikepang sama Ibu! Bagus, nggak?” tanya Adinda sambil menarik kedua kepangan rambutnya.

“Bagus! Cantik!” puji Bintang yang membuat Adinda terkikik senang.

“Dinda kakinya jangan goyang-goyang, nanti jatoh,” ucap Biru.

Bintang kemudian beralih kepada Biru. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga pacarnya itu sebelum membisikkan sesuatu.

“Selamat ulang tahun, Sayangnya Abin.”

Dihadiahinya Biru kecupan singkat di pipi. Biru menahan tangan Bintang sebelum cowok itu dapat menarik diri dan memberinya satu ciuman juga di pucuk hidungnya.

“Makasih, Sayang.” Biru merekahkan senyum. “Maaf ya, Dinda tiba-tiba pengen ikut pergi.”

“Nggak papa, dong. Biar makin seru. Iya kan, Din?” Bintang menoleh ke arah Adinda yang masih menggoyangkan kakinya lantaran tak sabar untuk segera pergi jalan-jalan hari ini.

Dari semalam Adinda sudah rewel kepingin melihat gajah asli. Selama ini ia hanya melihat dari buku pelajaran atau video di YouTube. Biru juga tidak sampai hati menolak keinginan adiknya demi acaranya sendiri dengan Bintang. Lagipula sudah lama juga Bintang ingin jalan-jalan bersama Adinda.

Sepanjang perjalanan Adinda terus mengoceh tentang gajah kepada Bintang. Saking gemasnya Bintang sampai menekan pipinya yang gembil berkali-kali. Tetapi Adinda sama sekali tidak terganggu, ia masih dengan semangat memberitahu semua informasi yang diketahuinya tentang gajah.

Begitu Biru menerima tiket masuk ke dalam kebun binatang, Adinda segera menarik tangan Biru dan Bintang lalu melompat-lompat tak sabar hingga kepang rambutnya ikut bergoyang kesana-kemari.

“Ayooo, mau ketemu gajah!!” seru Adinda.

“Pelan-pelan jalannya, Dinda,” tegur Biru. “Kasian Kak Abin ketarik-tarik tangannya.”

“Jalannya pada lambat,” protes Adinda. “Ayo, nanti gajahnya keburu tidur siang!”

Bintang tertawa mendengar ocehan adik Biru itu. Ia mengimbangi langkah kaki Adinda yang sudah sangat ingin sampai di kandang gajah.

Beruntung kandang gajah tempatnya di area depan dalam kebun binatang. Jadi mereka tidak perlu berjalan terlalu jauh.

Adinda berseru kencang ketika ia melihat gerombolan berwarna abu dengan belalai panjang itu dari kejauhan. Dilepaskannya genggaman tangan Biru dan Bintang, kemudian ia berlari menuju sisi kandang yang dipagari dengan besi.

“Dinda, hati-hati! Ya, ampun.”

Biru segera mengejar adiknya yang sudah berlari lebih dulu, sementara Bintang hanya bisa tertawa melihat tingkah laku kakak beradik yang menurutnya sangat lucu itu. Ia melanjutkan langkahnya dengan tenang untuk menyusul keduanya yang sudah sampai di dekat kandang gajah.

“Gajah, Kak, gajah!” seru Adinda antusias ketika ia akhirnya melihat hewan yang biasanya hanya bisa dilihatnya di buku. Ia menunjuk ke arah salah satu gajah yang sedang mengulurkan belalainya.

“Keliatan, nggak? Sini Kakak gendong,” tawar Biru ketika ia melihat adiknya harus melompat-lompat untuk melihat gajah dari pagar besi yang terlalu tinggi untuk tubuh mungilnya itu.

Adinda memekik girang ketika Biru mengangkat tubuhnya dan membiarkannya duduk di bahu. Sekarang ia benar-benar baru dapat melihat dengan jelas sekumpulan gajah di area yang besar itu. Ada induk gajah dan anak gajah yang sedang menikmati makanan mereka.

“Kak, ada yang kecil! Lucu banget!” pekik Adinda sembari memegangi kedua pipinya.

“Iya, kayak kamu itu yang kecil,” komentar Biru. “Yang agak gede di deketnya itu Kakak. Yang gede lagi itu Ibu.”

“Ayah mana?” tanya Adinda.

“Ayah yang itu, tuh.” Biru menunjuk seekor gajah yang sedang berteduh di pinggiran, hanya memandangi gerombolan yang lain. “Lagi istirahat sambil jagain keluarganya.”

Adinda tersenyum lebar sambil mengangguk lucu. Sedari tadi Bintang hanya memperhatikan keduanya dengan mata yang menyimpan sendu. Ia mengambil kameranya dari dalam tas dan mulai mengabadikan momen-momen berharga itu. Adinda yang tertawa lebar dengan semu merah di pipinya, Biru dengan senyum yang terpancar tak hanya dari bibir namun juga dari sepasang matanya.

“Yang itu Kak Abin!” seru Adinda tiba-tiba, menunjuk seekor gajah yang sedang menggesekkan kepalanya pada gajah yang ditunjuk sebagai Biru tadi. “Suka deket-deket sama Kak Biru, hehehe.”

Bintang sontak tersipu malu mendengar celetukan Adinda. Adik Biru itu memang suka diam-diam memperhatikan kedekatan Bintang dengan kakaknya.

“Iya, Din? Kak Abin suka deket-deket Kakak, ya?” ulang Biru, menggoda Bintang yang masih tersenyum rikuh. Ditariknya Bintang hingga pacarnya itu berdiri dekat di sisinya lalu dirangkul dengan sebelah tangannya.

“Deket-deket, semuanya deket-deket!” seru Adinda lalu merentangkan kedua lengan dan memeluk dirinya sendiri. “Kita adalah keluarga gajah!”

Biru dan Bintang seketika tergelak melihat tingkah Adinda yang kadang-kadang tak bisa ditebak itu. Bintang memeluk tubuh Biru dari samping, menunjuk ke arah gajah yang mulai berjalan mendekati mereka.

“Eh, tuh, gajahnya dateng dipanggil kamu, Din,” ujar Bintang.

Adinda mengerjapkan matanya cepat, seketika disergap kepanikan. Ia lalu menepuk-nepuk puncak kepala Biru.

“Ah, Kak, Kak! Kakakkk!!”

Biru segera menurunkan Adinda dari bahunya. Gadis itu berlari ke balik punggung Biru untuk bersembunyi.

“Lah, gimana sih, Din? Katanya mau liat gajah, kok malah takut pas didatengin?” komentar Biru sambil menahan tawa geli.

“Jangan terlalu deket gajahnya, Kakak! Gede banget Dinda takut! Nanti disemprot air pake belalai, gimana!?”

Bintang sudah terbahak sambil memegangi perutnya lantaran melihat ekspresi Adinda yang panik setengah mati.

“Kak Abin jangan ketawain Dinda!” protes Adinda yang membuat Bintang kembali tergelak. Ia lalu berusaha menghentikan tawanya sambil menyusut bulir air mata di sudut-sudut matanya.

“Habis Dinda lucu banget, sih,” ucap Bintang. “Padahal gajahnya mau ngajak kenalan.”

Adinda mengerucutkan bibirnya lalu mulai melangkah takut-takut ke sisi kandang. Gajah itu masih berdiri di sana dengan belalai yang bergoyang pelan.

“Gajah, jangan semprot Dinda, ya?” pesan Adinda sebelum gadis itu mengangkat tangannya. “Namaku Adinda. Nama kamu siapa, Gajah?”

“Namaku Dimas,” sahut Biru pelan dari belakang Adinda.

Mendengar suara kakaknya, Adinda langsung membalikkan badan dan memukul kaki kakaknya itu. “Bukan!”

Biru terkekeh geli atas reaksi adiknya. Bintang mengangkat alisnya bingung.

“Dimas siapa, Ru?” tanya Bintang.

“Temennya Dinda di sekolah yang suka dicie-ciein sama Dinda,” jawab Biru masih sambil tertawa kecil.

“Ih, Dinda nggak boleh pacaran dulu, ya?” ucap Bintang pada Adinda yang mengerutkan keningnya tak setuju.

“Siapa yang pacaran? Dinda nggak pacaran! Gara-gara Kak Biru, aaahhh!!!” protes Adinda kesal, namun pipinya bersemu merah menggemaskan.

Biru memang sengaja menggoda Adinda tentang teman lelakinya itu, tapi sebenarnya Bintang tahu kalau Biru juga yang paling overprotective pada adiknya. Ia bisa memprediksi bagaimana reaksi Biru kalau suatu hari nanti Adinda mempunyai gebetan betulan atau mengenalkan seseorang pada Biru. Membayangkannya saja sudah membuat Bintang ingin tertawa geli.

Bintang kembali menyaksikan pertengkaran kecil antara kakak beradik di depannya itu. Lagi-lagi ia mengabadikan momen itu, namun kali ini hanya melalui lensa matanya.


Hari sudah semakin sore ketika mereka akhirnya keluar dari pintu kebun binatang itu. Adinda terlalu banyak menghabiskan waktu di kandang gajah hingga ia terlalu lelah untuk melihat hewan-hewan yang lain. Namun setidaknya ia sudah puas menyaksikan makhluk bertelinga besar dan berhidung panjang itu, serta tak lagi rewel meminta Biru untuk mengajaknya ke kebun binatang.

Adinda berada di gendongan Bintang setelah ia minta dibelikan es krim. Mereka berjalan menuju bangku di dekat halaman parkir untuk duduk.

“Dinda tidur ya, Ru? Kok nggak ada suaranya?” tanya Bintang, meminta Biru untuk melihat Adinda yang meletakkan kepalanya di bahu Bintang.

“Iya, tidur,” jawab Biru setelah ia mengecek Adinda yang tertidur pulas di tengah-tengah ia memakan es krimnya. Diambilnya stik es krim yang masih digenggam adiknya lalu dibuang ke tempat sampah.

Bintang duduk di bangku dengan hati-hati, tak ingin membangunkan Adinda. Diusapnya kepala gadis itu dengan lembut. Biru ikut duduk di sampingnya. Pemandangan di hadapannya ini membuat hatinya terasa begitu hangat.

Bintang mendongakkan kepalanya setelah beberapa saat ia tak mendengar suara Biru. Cowok itu rupanya sedang memperhatikan Bintang dan Adinda dengan senyum yang tersemat di wajahnya.

“Kamu seneng nggak hari ini?” tanya Bintang, menjangkau tangan Biru untuk digenggam.

“Seneng banget,” ucap Biru tulus. “Sebenernya aku lebih seneng karena liat Dinda seneng. Udah lama aku nggak liat Dinda ketawa lepas kayak tadi.”

Bintang menarik napas sebelum membuka suara. “Aku juga seneng banget hari ini. Liat kamu sama Dinda kayak tadi, nggak tau kenapa rasanya pengen nangis.”

Biru tersenyum mendengar kalimat Bintang. Ia merapatkan dirinya pada pacarnya itu agar dapat menjatuhkan cium pada puncak kepalanya.

“Makasih udah jadi kakak yang baik buat Dinda,” bisik Bintang.

“Makasih juga udah bikin ulang tahun Biru hari ini jadi lengkap. Aku sayang kamu.” Biru balas berbisik.

Belum sempat Bintang membuka suara lagi, Adinda sudah terbangun dari tidurnya. Ia mengucek matanya pelan.

“Kakak…”

“Dinda ngantuk, ya? Habis ini pulang, ya?” Biru mengambil Adinda dari gendongan Bintang untuk duduk di pangkuannya. Adinda langsung memeluk Biru dan meletakkan kepalanya di dada kakaknya.

“Dinda udah ngucapin selamat ulang tahun ke Kak Biru belom?” tanya Bintang.

Gadis itu mengangkat kepalanya lagi. Memandangi kakaknya yang tengah menunggunya berbicara.

“Selamat ulang tahun, Kak Biru,” ucapnya dengan suara yang masih serak.

“Hadiahnya mana?” todong Biru.

Adinda diam sejenak. Kemudian ia mengangkat tubuhnya untuk memberi satu ciuman singkat pada pipi kakaknya sebelum ia kembali tertidur di pelukan Biru.

Biru mendesahkan tawa. Adiknya memang selalu terlihat menggemaskan di matanya. Dipeluknya erat Adinda dan diciumnya puncak kepala gadis itu sebelum bangkit berdiri.

“Yuk, pulang,” ajak Biru pada Bintang yang kemudian ikut bangkit.

Corak jingga di langit mengiringi kepulangan mereka.


“Aku ada hadiah buat kamu sebenernya,” ucap Bintang setelah Biru kembali dari menidurkan Adinda di kamarnya.

“Eh, aku kan udah bilang nggak usah ngasih hadiah juga nggak papa. Kamu lagi sibuk banget kan, kemarin?”

“Iya, sih. Tapi rasanya kurang kalo nggak ngasih kamu sesuatu. Jadi aku bikinin kamu hadiah dari aku sendiri. Sederhana banget tapi semoga kamu suka.”

Biru akhirnya mulai penasaran dengan hadiah yang akan diberikan Bintang. Ia menerima bungkusan berbentuk segi empat itu dengan penuh harap.

“Aku buka, ya?”

Bintang menganggukkan kepalanya. Ikut harap-harap cemas selagi Biru mulai merobek kertas pembungkusnya. Tak henti ia memperhatikan ekspresi wajah Biru hingga benda itu terpampang nyata di depannya.

“Ini kamu bikin sendiri, Bin?” tanya Biru cepat. Matanya masih terpana melihat benda di tangannya.

“Iya. Nyontek dikit dari YouTube sih, tapi aku bikin semuanya sendiri,” ucap Bintang bangga.

Di tangan Biru adalah pigura foto sederhana dengan berbagai hiasan di tiap sisinya. Di dalamnya tersemat beberapa foto Biru dan Bintang yang sudah disusun sedemikian rupa dan dibubuhi beberapa coretan lucu dari Bintang.

“Lucu banget, sih. Nanti aku pajang di meja belajar.”

“Hehe, oke!”

Biru lalu meletakkan hadiahnya itu di atas meja sebelum meminta Bintang untuk mendekat.

“Sini, aku mau peluk.”

Biru menarik Bintang dan memeluknya erat seakan tak ada esok hari untuk memeluk pacarnya itu lagi. Diciuminya pipi Bintang berkali-kali hingga cowok itu mengeluh pelan.

“Biru, ih. Nanti Ibu tiba-tiba pulang gimana?”

“Lama Ibu kalo arisan,” ucap Biru. “Lagian siapa suruh kamu gemesin gini? Udah dibilang nggak usah ngasih hadiah malah dikasih pake bikin sendiri. Kan sayang?”

Bintang tersenyum memamerkan sederetan giginya. “Aku juga sayang Biru.”

“Kayaknya di kehidupan sebelumnya aku berhasil nyelametin negara, deh.”

Bintang mendengus geli mendengar candaan Biru. “Iya, kali?”

“Bin.”

“Yaa?”

“Jangan bosen sama aku, ya?”

“Enggak.”

“Eh, bosen nggak papa deng. Tapi jangan pergi.”

“Pergi ke mana? Pintunya udah ditutup, dikunci.” Bintang mengetuk dada Biru dengan telunjuknya. “Iya, kan?”

“Iya. Digembok juga, gemboknya tiga lapis.”

Bintang merebahkan kepalanya pada Biru sambil bergumam pelan. “Mau pergi ke mana juga? Ada-ada aja.”

Meski Bintang selalu menunjukkan rasa sayangnya pada Biru, dengan gamblang dan nyata, selalu ada setitik rasa takut yang tersimpan di belakang kepalanya. Semua kebahagiaan ini, Biru takut akan ada akhirnya. Takut bahagianya akan direnggut darinya. Entah perlahan atau dengan paksa.

Kebahagiaan yang ini. Kebahagiaan yang terdapat Bintang di dalamnya. Biru tidak tahu apakah ia sanggup untuk pulih jika suatu saat itu menghilang.

“Asal baliknya ke aku, nggak papa kamu mau pergi ke manapun. Asal kamu pulangnya tetep ke aku,” ucap Biru lirih.

Bintang mengangkat kepalanya dan mendapati Biru yang menatapnya dengan sepasang mata yang diselimuti selaput bening. Tangan Bintang terulur untuk menangkup sisi wajah Biru dan menjatuhkan ciuman lembut pada bibirnya.

“Kamu jangan mikir aneh-aneh. Itu bagian aku,” kelakar Bintang.

Biru menarik senyum tipis. Dibalasnya ciuman Bintang hingga ia lupa akan resahnya. Merasakan bibir Bintang rasanya seperti memasuki ruang yang pintu keluarnya hanya Bintang yang tahu. Biru terperangkap di dalam ruang yang waktu seakan mati di sana. Entah berjalan, entah berhenti. Yang Biru tahu ia bisa saja menghabiskan ribuan detik dalam ruang itu tanpa ia sadari. Sayangnya ia masih harus bernapas dalam ruangan itu. Paru-parunya masih butuh oksigen meski Biru siap mati.

I wished every day was my birthday. So I could kiss you like this all day and just forget everything.”

You're so silly. You can kiss me any day you want. I'm your boyfriend.

Mhm. You're Bintang and you're my boyfriend.

Mhm.”

Damn, you're really my boyfriend.”

“Diem, ih. You're ruining the moment.

“Udah selama ini tapi masih nggak percaya Bintang jadi pacarnya Biru. Inget nggak sih, dulu waktu kamu mergokin aku ngerokok-”

“Mulaiii.”

“Hahaha, terus aku impulsif bilang suka.”

“Sayang.”

“Hah, aku bilang sayang, ya?”

“Iya, haha.”

“Wah, parah…”

Percakapan yang hanya didengar oleh jam dinding, seekor cicak, dan sudut-sudut ruang yang mulai mendingin itu perlahan surut dan samar. Bertambah satu hari lagi yang akan tersimpan di dalam kotak memori masing-masing. Kali ini memori yang indah.

Seumur hidup Evan berandai-andai akan hadirnya seseorang yang mampu memberikan definisi bahagia. Ia sangsi. Kecil kemungkinan untuk menemukan seseorang yang mau melakukan banyak hal untuk dirinya seorang.

Tetapi ia bertemu Candra.

Evan tidak pernah menyangka Candra akan menjadi seseorang yang selalu diimpikannya setiap malam. Ia pikir bertemu dan menjalin hubungan dengan orang seperti itu adalah perkara susah.

Evan keliru. Candra begitu mudah. Candra terasa seperti teman lama yang selalu ada di setiap ia membutuhkan sesuatu. Candra melebihi semua ekspektasi yang digantungkannya pada seseorang. Dan Candra selalu membuatnya yakin bahwa ia sama berhaknya memiliki dan menyayangi Candra.

Loving Candra is easy.


“Kamu beneran nggak pulang minggu ini?”

Candra tengah mengemasi barang ke dalam tas ransel. Di tepi ranjangnya ada Evan yang sedang mengamati kegiatannya sambil bertopang dagu.

“Aku Sabtu ada rapat himpunan, Can,” keluh Evan.

Setelah menutup resleting ranselnya, Candra melangkah menghampiri Evan kemudian menumpukan kedua tangannya di sisi-sisi tubuh Evan, mengurung pacarnya di antara kedua lengannya.

“Rapat sampe malem?”

“Sore, sih. Tapi males kalo aku pulang hari itu juga.”

“Terlalu mepet, ya, kalo pulangnya Minggu pagi?”

“Iya. Sorenya harus udah balik kos. Bisa sih, balik Senin pagi soalnya aku kelas pertama siang. Tapi capek, kan.”

Candra mengangguk paham.

“Kamu harus pulang ke rumah, ya? Nggak bisa nemenin aku aja di sini?” tanya Evan setengah merajuk. Begitu Candra mengabarinya bahwa ia akan pulang besok pagi, Evan langsung mendatangi kosnya.

“Nggak bisa dong, Sayang,” jawab Candra setelah ia menjatuhkan cium pada hidung Evan. “Minggu kemarin aku udah nggak pulang. Mama ngomel terus, nyuruh aku pulang minggu ini.”

“Aku ikut pulang ke tempat kamu aja,” celetuk Evan.

“Ayo.”

“Ih, tapi aku nggak bisa absen rapat. Pasti kena ghibah sama kating.”

Candra terkekeh melihat pacarnya itu rewel. Dipeluknya Evan hingga keduanya rebah di atas ranjang. Ia benamkan wajahnya di ceruk leher Evan dan membiarkan dirinya menghirup aroma tubuh Evan yang selalu menjadi favoritnya.

“Gabut banget nanti kalo nggak ada kamu. Aku tidur seharian pasti di kos.”

Evan bermain dengan helai rambut Candra sementara ia masih mengeluhkan nasibnya di penghujung minggu nanti.

“Iya, nggak papa tidur aja seharian. Daripada kamu main-main sendiri tanpa aku,” balas Candra.

“Kok gitu, sih?”

“Mau gatekeeping kamu biar nggak diculik orang.”

Evan mendecih hingga Candra memecah tawanya lagi. Diciuminya leher Evan hingga pacarnya itu memprotes.

“Kalo gitu aku mau dikasih dulu biar aku nggak main ke mana-mana,” cetus Evan.

Candra mengangkat kepalanya. “Hm?”

Evan melempar senyum penuh arti pada Candra yang tanpa dijelaskan pun sesungguhnya telah lebih dari sekedar paham.

Kamar kos Candra ini lebih luas daripada milik Evan, dindingnya lebih tebal dan yang paling penting adalah kamar Candra difasilitasi sebuah air conditioner yang tak akan membuat keduanya gerah.

Hal yang paling disukai Evan ketika melakukannya dengan Candra ialah rasa aman yang ia dapatkan. Candra akan selalu memastikan Evan memberikannya izin sebelum mengambil suatu tindakan. Padahal Candra bisa saja melakukan apapun tanpa perlu bertanya lagi pada Evan karena cowok itu selalu memberinya lampu hijau. Tetapi Candra tetap ingin memastikan pacarnya merasa nyaman sebelum ia melakukan sesuatu.

“Can I do it?”

Bisikan Candra pada telinga Evan disambut dengan anggukan. Evan siap meluruh dalam kungkungan dua lengan, yang merengkuhnya dengan lembut meski keduanya kokoh. Bibirnya siap mencecap manis yang datang dari bilah bibir yang juga selalu membisikkan perasaan manis.

Candra bergerak lambat hingga Evan dapat merasakan tiap gesekan yang terjadi di dalam tubuhnya. Lembut dan memabukkan. Serupa dengan sepasang bibir yang tak henti membasahi bibir dan lehernya.

Hembusan napas yang dihela Candra menjadi alunan merdu setiap kali sensasi menyenangkan melanda sekujur tubuhnya. Ia memperdalam gerakannya pada Evan hingga cowok itu harus melemparkan kepalanya jauh ke belakang dan kuku-kukunya menghunjam kulit punggung Candra.

“Candra…hh” lenguh Evan sembari ia memejamkan matanya kuat-kuat.

“Yes, baby?”

Panggilan itu tak hanya memberikan efek yang gila untuk pikiran Evan, tetapi tubuhnya juga mulai merespon dengan spontan.

“Kenapa, sayang?” Candra mengulangi ucapannya. Kali ini ia singkirkan helai rambut dari kening Evan dan mulai membelai wajahnya.

“Bisa cepetan dikit, nggak? I think I'm going crazy if you move slowly like that.

Candra menyeringai tipis. Dikecupnya bibir Evan sebelum ia berbisik.

“Aku yang gila gara-gara kamu.”

Candra mengalihkan bibirnya untuk menyusuri permukaan kulit tubuh Evan yang seputih susu. Ciuman-ciuman kecil itu jatuh pada selangka lalu turun ke dada hingga terseret ke perut. Evan mengeluarkan desahan pendek kala Candra menekankan bibirnya di sana.

“Can.”

Candra sengaja tak menyingkirkan bibirnya dari sana. Ia tahu titik-titik sensitif Evan dan berniat untuk memanjakannya.

Disusurinya dengan lembut bagian perut Evan hingga ke area paling bawah yang membuat tubuh Evan akhirnya bergetar. Candra menjepit kulit perut Evan di antara kedua bibirnya dan memberinya basah dengan lidahnya.

”...Ah!” Evan spontan menarik rambut Candra yang terselip di jemarinya.

Hold on, aku belum ngapa-ngapain,” ucap Candra setengah menggoda ketika ia akhirnya mulai bergerak lagi di dalam tubuh Evan.

Kali ini dipenuhinya permintaan Evan. Candra melesakkan miliknya begitu dalam lalu menarik diri sejenak hanya untuk mendorongnya lagi lebih dalam. Evan membuka mulutnya lebar-lebar tanpa ada suara yang muncul. Kedua kakinya menjepit pinggul Candra begitu erat.

Engahan napas yang tercipta oleh Candra mengiringi gerakannya yang semakin cepat. Ujung miliknya menabrak titik kenikmatan Evan hingga cowok itu hampir bertemu putih. Dinding di sekitar miliknya terasa semakin sempit dan hangat.

“God. I'm really going to go insane, Evan.”

Perut dan paha Evan sudah basah oleh cairan bening yang terus mengalir keluar dari miliknya. Evan mendesah keras. Disentuhnya miliknya yang sudah meminta untuk diberi pelepasan.

Candra menjatuhkan dahinya pada dahi Evan sembari ia mengejar nikmatnya. Suara desahannya terputus-putus.

“I love- you, I love you, I love you-”

Bagai rapalan mantra bisikan Candra membuat Evan lupa akan segalanya. Tak ada realita di sekitarnya, hanya ada Candra yang kukuh penuh dalam kepala. Hingga putih memenuhi bagian dalam kelopak matanya.

Hembus angin dari air conditioner menyentuh lembut permukaan kulit mereka yang terekspos. Evan mulai merasakan dingin. Ia merapatkan dirinya pada Candra yang masih memejamkan mata di sampingnya.

Menyadari pergerakan Evan, Candra membuka kelopak matanya. Kesayangannya itu tersenyum. Ia membalas.

“Hei.”

“Hei.”

“Was that enough?”

Evan mendekat untuk mengecup bibir Candra beberapa saat lamanya.

“Kamu selalu cukup buat aku.”

Candra menghela tawa. “Maksud aku, cukup buat kamu besok nggak ke mana-mana selagi nggak ada aku.”

“Sama aja, kan. Kamunya sendiri udah lebih dari cukup. Aku nggak mungkin mau aneh-aneh.”

“Good to know.”

Candra mencium puncak kepala Evan lalu membawanya dalam pelukan.

“Besok aku anterin ke stasiun.”

“Pagi banget, loh. Kamu bisa bangun pagi?”

“Kamu bangunin aku.”

“Nggak usah, deh. Sleeping beauty needs their beauty sleep.”

“Ya, udah. Salam aja buat mama kamu. Buat semuanya.”

“Hari Minggu walaupun kamu bakal tidur seharian tapi hapenya jangan dimatiin, ya? Nanti aku kangen kalo nggak ngobrol sama kamu.”

“Iyaa.”

Bagi Evan, menjalani hidup bersama Candra tak sesulit mimpi dan harapan yang selalu digantungkannya dahulu. Hari-harinya berjalan dengan ringan meski tak selalu mulus. Menjalaninya dengan Candra mematahkan idenya bahwa mustahil untuk menemukan seseorang yang mau berkorban demi dirinya.

Loving Candra is so, so easy.

And Evan will keep doing it until God knows when.

[cw ; eating disorder]


Banyak yang ingin tahu, orang seperti apa yang mampu menarik hati seorang Arjuna. Yang berparas indah, yang berotak cerdas, yang baik hati, atau yang sama sempurnanya seperti Arjuna?

Banyak yang ingin tahu, tetapi sedikit yang mengetahui bahwa jatuhnya perasaan seorang Arjuna tak serumit pikiran mereka. Arjuna jatuh dengan cara yang begitu sederhana. Sesederhana menunggu hujan reda bersama perempuan yang masih terjebak di sekolah sore itu.

“Nggak bawa payung, Kak?”

Sekar, nama perempuan yang sudah dikenal Arjuna selama kurang lebih dua bulan ini. Dari awal anak itu bergabung menjadi bagian dari anggota OSIS, Arjuna tak sulit menghapal wajahnya. Sekar memang cantik, tetapi bukan soal itu. Ada yang membuat presensinya selalu terasa di manapun ia berada.

Arjuna memberikan gelengan singkat disertai senyum untuk menjawab pertanyaan Sekar tadi.

“Lo sendiri?”

“Gue pinjemin ke Laras tadi. Kirain bakal terang hujannya pas rapat kelar, taunya malah makin deres.”

“Lo naik apa pulangnya?”

“Naik bus. Kak Arjuna? Bawa motor, kan?”

“Iya.”

Tak butuh waktu lama untuk Sekar menyadari bahwa parkiran motor letaknya di luar area sekolah dan itu artinya basah kuyup jika memaksa untuk berlari ke sana.

“Tunggu hujannya berhenti di ruang OSIS aja, yuk?”

Ajakan Arjuna disambut dengan anggukan singkat oleh Sekar. Keduanya meninggalkan koridor depan sekolah yang lantainya sudah basah oleh cipratan air hujan.

Sekar mengambil tempat yang berlawanan dengan Arjuna ketika mereka sampai di ruang OSIS. Arjuna sama sekali tidak tersinggung. Sekar adalah perempuan cerdas dan ia tahu itu. Bersikap waspada di ruangan terbatas bersama seorang lelaki tak membuat Sekar seketika kehilangan ramah-tamahnya. Ia merogoh sesuatu dari dalam tasnya lalu menyodorkan ke hadapan Arjuna.

“Bekal roti gue, Kak,” tawar Sekar. Arjuna mengambil sepotong lalu mengucapkan terima kasih. Sekar menutup kembali kotak bekalnya yang masih penuh isinya itu. Tak lama perempuan itu sudah sibuk berkutat dengan buku pelajarannya. Entah mengerjakan tugas atau sekedar belajar.

Tak ingin mengganggu Sekar, Arjuna mengambil kameranya dari dalam tas dan beranjak keluar ruangan untuk memotret langit yang masih mencurahkan hujan. Awan mendung sedikit demi sedikit tersapu seiring rintik hujan yang jatuh ke bumi. Arjuna mengarahkan lensa kamera ke sekitar. Bangku besi di tengah taman, ruang-ruang kelas yang sepi, tangga menuju lantai dua, plang bertuliskan ‘Ruang OSIS’, dan kemudian Sekar.

Perempuan itu masih menekuni buku pelajarannya. Beberapa helai rambutnya jatuh dari ikatan rambut yang asal-asalan, menutupi sisi wajahnya.

Tetap cantik.

Lama Arjuna mengamati sisi wajah itu melalui lensa kamera hingga bunyi bidikannya terdengar. Sekar menoleh.

“Eh, sori-”

Alih-alih merasa terganggu, Sekar malah menyunggingkan senyum.

“Fotoin gue, Kak? Lagi berantakan gini.”

Arjuna seketika salah tingkah. Ia mengusap tengkuknya sembari berjalan menghampiri Sekar yang masih duduk di alas karpet. Merendahkan tubuhnya Arjuna memperlihatkan hasil fotonya pada Sekar.

“Bagus, kok.”

Sepasang mata Sekar melebar melihat potret dirinya sendiri.

“Kak Ar jago motret, ya? Guenya jadi keliatan bagus gini? Ini bagus banget loh, Kak.”

Arjuna menelan kembali kalimat ‘I take pictures of pretty things’ yang bersarang di ujung lidahnya. Sebagai gantinya ia menawarkan pada Sekar untuk mencetak foto itu dan memberikannya ke perempuan itu jika berkenan.

Menit-menit berikutnya dihabiskan dengan obrolan ringan yang anehnya tak pernah surut. Sekar telah melupakan buku pelajarannya dan Arjuna menyimpan kameranya. Dua puluh menit serasa semua hal berhenti di sekitar mereka. Hanya ada tatap mata, suara, dan tawa yang memenuhi indra. Waktu sesingkat itu Arjuna mengetahui banyak hal tentang Sekar.

Waktu sesingkat itu hati Arjuna jatuh luruh sepenuhnya dalam sorot mata yang menangkap seluruh rasa dan menyimpannya dalam dekap seorang Sekar.


“Kenapa kamu manggil aku Arjuna? Padahal semuanya manggil aku Biru.”

“Aku kira kamu dipanggilnya Arjuna. Kan, nama depan.”

“Iya, sih. Tapi nama Arjuna terlalu berat buat aku. Lebih pilih dipanggil Biru. It means nothing, just a color.

“Aku suka Arjuna.”

Setelahnya Arjuna tak menanyai lagi maksud kalimat itu.


Gerakan tangannya lemah gemulai, jemarinya lentik berayun mengapit selendang tari di sela-selanya, rambutnya yang panjang dibiarkan terurai melambai mengikuti liuk tubuh yang bergerak sesuai irama. Parasnya indah tanpa bubuhan rias yang menutupi wajah.

Suara kaset berhenti. Anggota klub tari itu diizinkan untuk beristirahat sejenak. Sekar berlari kecil ke sudut ruangan di mana Arjuna duduk sambil menunggunya.

“Nih.” Tangan Arjuna mengulurkan botol minum Sekar yang sudah dibuka tutupnya.

“Makasih.” Sekar menerima botol minum kemudian duduk di sebelah Arjuna.

Butir peluh membasahi dahi Sekar. Arjuna menyekanya dengan ibu jari lalu menyelipkan helai rambut Sekar ke belakang telinganya. Pipi Sekar bersemu.

“Kamu nggak pulang duluan?” tanya Sekar tanpa melihat ke arah Arjuna.

“Nungguin kamu, kan? Selesai jam berapa?”

“Nggak tahu. Kalo lama kamu pulang duluan aja. Aku bisa naik bus.”

“Aku tungguin.”

Sekar pikir Arjuna tak memperhatikan pipinya yang kembali merona. Tetapi Arjuna melihat semuanya.


“Bar, Sekar ke mana, ya?”

Hari itu Arjuna tak melihat Sekar di kelasnya seperti biasa. Ia bertanya pada Bara, teman sekelas Sekar yang kebetulan belum beranjak keluar kelas di jam istirahat.

Bara mengangkat alisnya. “Nggak tau, Bang. Perpus? Ruang OSIS? Kantin?”

Arjuna menyimpulkan bahwa Bara sama sekali tak memiliki petunjuk ke mana Sekar pergi.

“Oke, oke. Makasih, ya.”

Sebelum Arjuna membalikkan badan, Bara memanggilnya lagi.

“Coba ke UKS atau toilet, Bang. Tadi anaknya keliatan agak pucet.”

Seketika panik melanda Arjuna. Tergesa kakinya melangkah menuju ruang kesehatan yang terletak di ujung koridor. Arjuna menyibak tiap tirai yang memisahkan ranjang satu dengan yang lain. Tidak ada siapapun di sana.

Langkahnya beralih menuju toilet perempuan yang cukup ramai oleh antrian para siswi. Dengan canggung Arjuna menunggu di bagian luar toilet sambil sesekali mengedarkan pandangan untuk mencari Sekar.

“Ar…”

Suara Sekar membuat Arjuna serta-merta menoleh. Wajah dan bibir perempuan itu pucat namun ia masih memaksakan senyum.

“Kamu kenapa? Sakit?”

Sekar menggeleng pelan. “Nggak.”

Perempuan itu jelas sekali lemas. Arjuna memegangi lengannya kalau-kalau ia ambruk tiba-tiba.

“Sekar, ke UKS aja, yuk? Kamu pucet banget.”

“Ar…”

Belum sempat Sekar menyebut nama Arjuna, perempuan itu sudah luruh ke lantai. Beruntung Arjuna masih memegangi lengannya kuat-kuat hingga kepalanya tak terbentur.

Perdebatan kecil yang terjadi di ruang UKS setelah Sekar akhirnya sadar membuat Arjuna paham bahwa ada sesuatu yang tidak Sekar bagikan padanya. Petugas UKS bersikeras menyuruh Sekar untuk menemui pihak yang lebih berkualifikasi atas masalah kesehatan Sekar namun ditolak dengan dalih dirinya hanya sedang kelelahan karena banyaknya kegiatan.

“Teman kamu ada gangguan makan. Sudah beberapa kali dia ke sini buat istirahat karena badannya lemas. Tapi tiap Ibu kasih makanan selalu dimuntahin.”

Arjuna menuju ranjang tempat Sekar berbaring setelah petugas UKS pergi meninggalkan ruangan.

“Sekar.”

“Ar, aku nggak sakit, kok. Beneran. Aku nggak kenapa-kenapa.”

Ada keputusasaan dalam suara Sekar sembari perempuan itu menggenggam tangan Arjuna, berusaha meyakinkannya. Arjuna menepuk punggung tangan Sekar pelan.

“Aku khawatir, Kar. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Berobat, ya?”

Sekar menggeleng. “Kamu nganggep aku aneh, ya?”

Arjuna menautkan alisnya rapat. “Sekar, aku cuma pengen kamu sehat. Aku nggak nganggep kamu aneh atau apapun. Berobat sama aku, ya? Aku temenin.”

Sepasang mata Sekar mulai berkaca-kaca hingga perempuan itu terisak. Arjuna memeluknya untuk pertama kali dan ia baru menyadari betapa kecil tubuh perempuan itu dalam dekapannya.

Bahkan dalam ketidaksempurnaannya, Arjuna masih mampu menyayangi tanpa jeda dan cela.


“Kamu, tuh, suka banget sama langit, ya? Instagram kamu isinya foto langit semua.”

“Kalo kamu, suka banget sama bunga, ya? Instagram kamu isinya foto bunga semua.”

“Ada foto aku juga, tau.”

“Kamu bunga juga, kan? Sekar.”

“Ah, iya juga. Nama kamu juga ada Langit-nya. Hmm, lucu.”

“Lucu?”

“Lucu. Dunia ini lucu. Bisa saling berhubungan gitu. Tapi sayang nama aku Sekar bukan Srikandi.”

“Emangnya kenapa?”

“Arjuna kan sama Srikandi, bukan sama Sekar.”

Tawa pelan terdengar dari bibir Arjuna.

“Kok ketawa, sih?”

“Kamu mikirnya aneh-aneh. Ini kan dunia nyata, bukan dunia tipu-tipu. Biarin aja di cerita Arjuna sama Srikandi. Kalo di sini, ya, Arjuna sama Sekar.”

Seketika suasana menjadi hening. Arjuna berdeham dengan gugup sementara Sekar berusaha merapikan helai rambutnya yang terjuntai berkali-kali.

Seantero sekolah mungkin telah menganggap keduanya berpacaran. Meski tak ada pengumuman atau hal semacam itu yang terlontar dari mulut Arjuna atau Sekar. Yang jelas mereka semua yakin keduanya memiliki hubungan. Baik Arjuna dan Sekar juga tidak ada yang menyangkal.

Tetapi mungkin dari malam ini, pengukuhan status itu terjadi. Masih tak ada kata-kata klise ala anak remaja SMA seperti 'Jadi pacarku, yuk?' atau 'Kita jadian, ya?'. Karena apa yang saling ditukarkan lewat sorot mata itu sudah lebih dari semua kata-kata remeh.

“Arjuna.”

“Ya?”

You're like- everything that I've ever wanted. And I'm so grateful to meet you.

Wajah Sekar cantik ditempa sinar rembulan yang malam itu pancarannya terang. Senyumnya membuat Arjuna tiba-tiba rikuh. Ingin digapainya paras indah itu dan dibelainya dengan lembut. Ingin disimpannya dalam memori yang sewaktu-waktu bisa diputarnya lagi. Ingin Sekar, untuk Arjuna, bisa miliki.

Angin malam yang lembut menyapu permukaan kulit yang terasa dingin. Namun kehangatan masih hinggap di sepasang bibir yang belum lama saling menyapa.

Untuk perempuan yang sedang di pelukan Arjuna,

Untuk perempuan yang terkasih.

This is a commission work for anonymous, written by @onebitekyu. Pairing: Hyunjae (Hanan) × Younghoon (Arka) Length: 1233 words


Siang itu panas seperti biasa. Dan kalau bukan karena lagi nunggu orang, Arka sekarang pasti sudah balik ke kosnya. Rebahan sambil ngadem.

Berisik obrolan dan tawa segerombolan orang di dekatnya nggak membuat Arka tertarik. Perhatiannya baru tersita waktu bahunya ditepuk.

“Ka, cek grup angkatan, deh.”

“Apaan?” balas Arka. Meski malas ia tetap merogoh ponsel di saku celananya.

Arka jarang membuka grup WhatsApp angkatannya kecuali jika ada hal-hal yang penting saja. Karena kebanyakan isinya cuma guyonan receh yang nggak bermutu. Sering out of topic, lagi.

Jempol Arka menggulirkan layar ponsel hingga muncul stiker-stiker yang saling dikirimkan oleh teman-temannya. Mata Arka melebar melihat stiker seorang cowok yang sedang menangis itu dijadikan meme di dalam grup. Ia seketika merasa kesal. Bukan karena ia tahu kalau stiker yang dipakai itu adalah mukanya, tapi karena ia tahu siapa pelakunya!

“Sumpah, kocak banget muka lo, Ka!” Lagi-lagi temannya terbahak. “Tuh anak dapet foto lo nangis gini dari mana, dah?”

Nggak butuh waktu lama hingga manusia tengil yang diduga pelaku penyebaran stiker itu muncul. Arka ingin sekali mengacak-acak mukanya sebelum tangannya seketika ditarik.

“Misi, yaa. Arka-nya pulang dulu, yaa!”

Hanan. Cowok yang diberi tampang hampir sesempurna dewa, tetapi sifat yang menyerupai titisan anak setan itu adalah alasan hari-hari Arka terasa seperti wahana roller coaster. Nggak perlu, deh, keluar duit buat beli tiket naik wahana itu. Cukup menghadapi manusia bernama Hanan saja pengalamannya dijamin sama. Bahkan lebih ekstrem.

“Mau makan di mana? Aku laper banget. Bimbingan sama Tony Stark nguras energinya dobel. Gila! Untung hari ini dia nggak lagi jadi Iron Man.”

Hanan lagi ngomongin dosen pembimbingnya yang menurut dia mirip Tony Stark, Iron Man dari film superhero kesukaannya itu. Cowok itu bahkan yakin kalau dosennya ini mungkin punya perusahaan besar seperti di film itu dan berubah menjadi superhero di malam hari. Sangat konyol.

Menyadari nggak ada respon dari cowok di belakangnya itu, Hanan membalikkan badan. Arka masih belum memakai helm yang diberikan Hanan beberapa saat lalu. Cowok itu menatap tajam ke arahnya, bibirnya cemberut.

“Dih, kenapa sih?” tanya Hanan, tersenyum geli melihat ekspresi Arka. Ditusuknya pipi cowok itu dengan telunjuknya beberapa kali, lalu ditariknya pelan.

Arka akhirnya merespon. Kali ini dengan pukulan bertubi-tubi yang mendarat di kepala Hanan yang, untungnya, sudah terbungkus helm.

“Ngeselin banget! Ngeselin, ngeselin!” seru Arka, menggeplak helm Hanan tanpa ampun.

“Yanggg, kenapa sih?? Aku salah apaa??” Hanan berusaha bertanya di sela-sela dirinya melindungi kepala dari serangan Arka.

Arka menghentikan aksinya. “Kamu ngapain nyebar foto aku? Mana pas lagi nangis! Mana dijadiin stiker meme!”

Hanan seketika melongo.

“Kamu… Kok tumben liat grup angkatan?”

Net not. Jawaban salah.

Arka kembali menghujani Hanan dengan tabokan sementara cowok yang sepertinya nggak terlalu merasa bersalah itu sibuk menghindar.

Hari biasa di kehidupan Arka.


“Sayang, jemurannya diangkat sekarang apa nanti? Udah agak mendung.”

“Terserah.”

“Tapi celana aku ada yang belum kering.”

“Ya udah, nanti aja.”

“Nanti keburu keujanan. Nanti basah. Terus aku nggak pake celana.”

“Celana kamu nggak satu doang ya, Hanan!? Nggak usah cari gara-gara!”

Berhasil mengganggu pacarnya yang lagi sibuk revisian itu, Hanan ngibrit pergi sambil cekikikan. Arka menghela napas kesal. Kepalanya pening akibat menatap layar laptop berjam-jam. Dia pengen pesan minuman, tapi nggak mau kalau cuma sendiri. Sementara pacarnya yang usil tadi kabur entah ke mana. Mungkin mengambil jemuran.

Arka masih belum memesan apa-apa ketika Hanan muncul di pintu kamar kos mereka dengan segunung pakaian yang barusan diambil dari jemuran. Cowok itu berjalan terhuyung ke arah Arka yang sedang rebah di atas kasur.

“Awas, barang panas! Barang panas!”

Dengan sengaja Hanan menjatuhkan tumpukan pakaian itu di atas badan Arka. Tak pelak suara erangan juga umpatan mulai memenuhi kamar yang luasnya nggak seberapa itu. Disambut dengan suara tawa yang nggak kalah menjengkelkan.

Arka menyingkirkan tumpukan pakaian itu dari badannya hingga matanya bertemu wajah Hanan yang sedang menyeringai lebar. Rasa kesalnya perlahan surut. Hari ini pikiran Arka banyak capeknya. Cowok itu merentangkan kedua lengan. Ia ingin dipeluk.

Menghabiskan banyak waktu bersama Arka membuat Hanan hapal dengan tabiat cowok itu. Tanpa bertanya lagi Hanan menghampirinya dan memberinya pelukan erat dengan kedua lengan. Arka balas memeluk, matanya terpejam dan dihirupnya napas dalam-dalam. Aroma tubuh Hanan selalu familiar untuk Arka. Selalu nyaman. Selalu menenangkan.

“Jangan capek-capek,” bisik Hanan pada telinga Arka. “Aku mau kamu lulus dapet gelar S sarjana, bukan S stress.”

“Gimana caranya lulus tanpa stress?” gumam Arka. “Nan, kira-kira aku bisa nggak ya, sidang minggu depan?”

Hanan menciumi pipi Arka sebelum membalas. “Halah, apa sih yang kamu nggak bisa?”

Kalau Arka boleh jujur, dia mau setiap hari mendengar omongan Hanan yang sukses bikin dia tenang. Arka nggak mudah percaya sama sesuatu, tapi kalau itu Hanan rasanya dia bisa mempercayakan seluruh hidupnya. Tapi Arka sengaja nggak bilang itu ke Hanan, nanti dia besar kepala.

“Kamu termasuk salah satu mahasiswa pertama di angkatan kita yang skripsinya cepet, lho. Tinggal dikit lagi. Aku aja baru mau mulai sempro.”

“Skripsi bukan ajang lomba cepet-cepetan.”

“Emang bukan, aku cuma ngasih tau kalo kamu keren. Pacar aku keren.”

Arka membenamkan wajahnya di ceruk leher Hanan.

“Aku nggak mau cepet-cepet. Nanti aku lulus terus kamu sendirian di sini. Ngadepin Tony Stark sendiri, ngomel-ngomel sendiri. Kasian.”

Hanan terkekeh. “Siapa bilang kalo kamu lulus terus bisa pergi gitu aja? Aku tahan, lah, di sini. Jokiin skripsiku.”

“Ngawur. Dibayar berapa emangnya?”

“Mahal bayarannya.”

“Semahal apa?”

“Semahal ini.”

Arka bingung karena Hanan cuma melihat ke arahnya. Lalu dia sadar maksud cowok itu. Tiba-tiba rasanya pengen nangis. Arka sayang Hanan banget.

“Aku masih kesel sama kamu, by the way.”

Bukan Arka namanya kalau nggak menyembunyikan perasaan pakai topeng sok nggak peduli.

Dan bukan Hanan namanya kalau nggak segera menyadari.

“Kesel kenapa sih, Sayang?”

“Kamu jadiin aku stiker meme!!!”

Lagi-lagi Arka menunjukkan ekspresi yang bikin Hanan susah buat nggak nyubit pipinya. Pipi Arka kayak adonan roti yang mengundang tangan Hanan buat menariknya.

“Aduhh, sakit tau!” omel Arka dengan kedua pipinya yang melar akibat ditarik dua tangan Hanan.

Hanan terkekeh. Ia malah bermain-main dengan pipi pacarnya itu sambil sesekali menjatuhkan ciuman singkat di bibirnya yang membentuk huruf 'o'.

“Tapi kamu lucu banget kalo nangis.”

Hanan nggak bohong. Arka kemarin menangis gara-gara liat video penyelamatan kucing. Tanpa pikir panjang dia abadikan momen itu lewat kamera ponsel. Yang kemudian jadi bahan reaksi di grup angkatan.

Tapi Hanan berani sumpah, dia cuma ingin pamer pacarnya yang super menggemaskan itu.

“Emangnya kalo lucu boleh disebarin? Kalo ada yang naksir aku gimana?” tantang Arka.

Hanan diam sebentar, mikir. “Nggak takut. Aku bisa berantem.”

Fair. Tapi kalo dibalik aku kayaknya kalah, deh. Aku nggak bisa berantem.”

“Maksudnya? Kamu nggak usah berantem?”

“Maksudnya…” Arka berucap lambat-lambat. “Kalo ada yang naksir kamu.”

Nggak gampang menyembunyikan ekspresi kelewat senangnya kalau Arka lagi begini. Hanan menutup mulut rapat-rapat biar nggak nyengir terlalu lebar. Gantinya dia peluk lagi pacarnya lebih kencang sambil menyerang pipinya yang merah dengan ciuman bertubi-tubi.

“Jangan gemes, jangan lucu, diem aja udah. Nggak usah ngapa-ngapain kamu. Nggak usah berantem juga, aku usir kalo ada yang naksir sama aku.”

Arka memprotes di sela-sela tawanya karena pacarnya itu menciumnya tanpa ampun. Pikirannya sudah nggak sekusut tadi. Agenda pesan minuman juga sudah diabaikan. Manusia yang masih bertengger di atas tubuhnya ini sudah lebih dari asupan gula yang ia butuhkan dari minuman apapun. Manis.

Hari-hari bersama Hanan itu kayak naik roller coaster. Naik, turun, teriak, ketawa. Tapi di situ tetap aman karena ada sabuk pengamannya. Biar nggak kelempar dan jatuh terus luka. Hanan memastikan kalau kedua tangannya selalu siap buat Arka kapanpun dia merasa mau jatuh.

Dan buat yang satu ini, Arka nggak mau roller coaster-nya berhenti.

(fin.)

This is a commission work for @terjuyo, written by @onebitekyu. Pairing: Juyeon × Changmin Casts: Juyeon, Changmin, Hyunjae, Sangyeon Length: 3508 words


Papan kayu bertuliskan “Rumah Kopi” yang diukir dengan apik itu tersemat tepat di atas pintu masuk yang mulai banyak dilewati pengunjung. Juyeon melangkahkan kakinya masuk ke sebuah kafe yang bisa dibilang cukup sederhana namun nyaman. Sebagian besar meja sudah terisi oleh mahasiswa kampus sebelah dan beberapa orang kantoran. Juyeon melempar senyum pada tiap pengunjung yang dilewatinya sebelum masuk ke dapur kafe.

“Lama amat, sih.” Hyunjae, yang bertugas sebagai chef di kafe itu langsung menyambut Juyeon dengan keluhan. “Dapet nggak?”

“Tenanggg.” Juyeon mengambil sepaket biji kopi dari dalam tasnya lalu ditaruh di atas meja. “Temen gue masih punya stok tadi. Tapi ngutang dulu soalnya buru-buru. Bang Sangyeon ada di ruangan?”

“Nggak tau. Tadi sempet gantiin lo bikin kopi.”

Sambil membawa seplastik biji kopinya, Juyeon berjalan menuju meja tempat kopi dibuat. Sangyeon, manajer kafe ini ada di sana, sibuk menyeduh kopi.

“Bang, ini gue udah dapet biji kopinya,” ucap Juyeon. “Gue lanjutin aja. Makasih, ya, Bang.”

Sangyeon mengangguk. “Oke. Gue balik ke ruangan.”

Sepeninggal Sangyeon, Juyeon langsung sibuk memproses biji kopi menggunakan alat penggiling hingga menjadi bubuk yang siap untuk dituang air panas. Dengan penuh perhitungan Juyeon menuang air panas dari teko hingga tetesan pekat berwarna coklat itu jatuh dari kertas penyaring. Aroma kopi yang khas perlahan menguar, mengisi indra penciuman dan merelaksasi otot yang tegang.

“Ju, americano-nya udah ada belom?”

Suara seseorang membuyarkan fokus Juyeon. Lelaki itu mengangkat wajahnya dan perlahan uap kopi yang membumbung di sekitarnya menipis lalu lenyap, menampakkan paras seorang lelaki manis dengan lesung di pipi kanan.

Setengah tergeragap Juyeon menjawab. “Udah, kok, udah. Ini bentar lagi jadi.”

Changmin, lelaki berparas manis yang kerap membuat jantung Juyeon jumpalitan itu kembali berkutat dengan kertas orderan pengunjung. Memastikan tidak ada pesanan yang terlewat. Sesekali ia mengetukkan ujung bolpoin ke pelipisnya dan ekspresinya berubah lucu.

Juyeon menghela napas dan kembali fokus pada kegiatannya. Karena bisa memakan waktu seharian hanya untuk memperhatikan Changmin, sedangkan ada banyak cangkir kopi yang harus ia buat.


Biasanya kafe baru mulai sepi ketika jam makan siang berakhir. Waktu yang agak senggang itu digunakan untuk beristirahat. Juyeon duduk di salah satu kursi dekat dengan jendela. Apron dengan noda kopi masih melekat di badannya.

“Mau, nggak? Udah dingin, sih.” Hyunjae tiba-tiba datang sambil menawarkan sepiring pasta yang sudah kaku. “Salah pesenan gara-gara Changmin.”

Juyeon mendenguskan tawa pelan sebelum menarik piring itu ke hadapannya. Di sebelahnya Hyunjae mengambil tempat duduk lalu meneguk sebotol air mineral dingin.

“Keliatan makin deket nggak, sih?” celetuk Hyunjae di sela-sela Juyeon berperang dengan pasta yang kalau diciduk dengan garpu langsung terangkat semuanya itu.

“Hm?”

Hyunjae menggerakkan dagunya ke arah meja kasir. “Dari tadi ngobrol seru banget gue liat-liat.”

Juyeon mengikuti arah pandang Hyunjae. Di balik meja kasir itu Changmin dan Sangyeon tampak sedang asyik berbicara, sesekali melempar tawa atas sesuatu yang tidak Juyeon ketahui. Ia memandangi momen itu beberapa saat sebelum menundukkan pandangannya kembali ke pastanya.

“Cemburu?” tanya Juyeon. Nadanya jelas sekali sedang meledek.

“Sialan. Emangnya lo, nggak?” balas Hyunjae. “Nunggu mereka jadian?”

Juyeon menertawai sindiran Hyunjae sekaligus nasibnya yang bisa dibilang kurang beruntung. Ia memang sudah lama naksir Changmin. Jauh sebelum mereka berempat akhirnya menjadi dekat dan memutuskan untuk membuka kafe bersama.

Di hari coffee workshop itu Juyeon bertemu dengan seseorang yang cerahnya belum pernah ia temukan pada manusia manapun. Senyumnya yang terpantul lebih terang melalui mata ketimbang bibir, membuat Juyeon harus meminta nomor ponselnya sebelum mereka tak akan bertemu lagi.

Yang untungnya terpatahkan karena sejak itu, setiap hari, obrolan ngalor-ngidul dengan lelaki bernama Changmin itu terus berjalan. Berbekal topik awal tentang kopi hingga akhirnya mulai nyaman membahas hal-hal trivial semacam kabar hari itu, menu makan siang, dan ajakan makan siang bersama.

Changmin orang yang menarik, menurut Juyeon. Alasannya mengikuti coffee workshop bukan karena ia menyukai kopi, tapi karena ia tidak menyukai kopi. Dan Changmin ingin tahu apakah ada kopi yang akhirnya akan ia sukai?

Sejak itu pula Juyeon rajin mengajak Changmin mengunjungi berbagai macam tempat untuk mencoba kopi. Dan di sepanjang perjalanan itu mereka bertemu Hyunjae serta Sangyeon.

Empat orang yang akhirnya berkumpul atas satu ketertarikan yang sama, meski dengan latar belakang yang berbeda.

“Lo mau gerak?”

Pertanyaan Hyunjae memecah kilas balik memori di kepala Juyeon. Ia menoleh pada temannya yang terlihat lebih serius dari biasanya.

“Maksud lo?” Juyeon balik bertanya.

“Dapetin Changmin.”

Juyeon paham. Ini bukan hanya solidaritas seorang teman. Sebulan yang lalu Hyunjae baru mengaku padanya kalau ia menyimpan perasaan pada lelaki yang sedang mengobrol dengan Changmin saat ini. Ini adalah simbiosis mutualisme.

“Gimana caranya?” tanya Juyeon meskipun ia tidak yakin akan keputusannya.

“Yang jelas kita bikin jauh mereka berdua dulu. Recokin, lah, apalah. Biar nggak berduaan mulu kayak begono, noh.”

Juyeon menyadari dua orang di balik meja kasir itu masih mengobrol seru. Ia dan Hyunjae pun tahu Sangyeon memiliki perasaan pada Changmin lebih dari sekedar teman. Dengan intensitas obrolan yang seperti itu, bukan tidak mungkin kalau besok ada kabar keduanya sudah jadian.

Suara kursi berderit mengiringi Juyeon yang tiba-tiba bangkit sambil membawa piring berisi pasta yang baru dimakan sedikit. Hyunjae mengawasi perginya Juyeon dengan senyum di wajah. Sedikit provokasi darinya dan temannya itu akhirnya mengambil tindakan.

Juyeon hampir sampai di meja kasir ketika tawa dari kedua orang itu surut. Mereka menolehkan kepalanya pada Juyeon.

“Kenapa, Ju?” tanya Changmin.

“Bantuin abisin, dong,” ucap Juyeon, menaruh piring pasta di depan Changmin. “Kasian Hyunjae capek masaknya. Katanya lo tadi salah baca pesenan?”

Changmin mengerjapkan matanya panik. Ia melempar pandang ke arah Hyunjae yang seketika menaikkan alis pada Changmin.

“Oh- iya. Sori, sori. Nanti gue makan, deh.”

“Sekarang aja. Udah dingin begini ntar makin nggak enak.”

“Hmm, ya udah,” ucap Changmin akhirnya.

Juyeon melihat Sangyeon yang tampak terganggu dengan kedatangannya namun berusaha disembunyikan dengan rapi.

“Mau juga, Bang?” tanya Juyeon.

Sangyeon menggeleng, menolak dengan halus sebelum kembali ke ruangannya. Juyeon menengok ke arah Hyunjae yang langsung mengangkat jempolnya. Ditahannya tawa agar Changmin tak curiga.

Berkurang satu kesempatan Sangyeon untuk mengajak Changmin jadian.


Rupanya Juyeon terlalu meremehkan kenekatan Sangyeon dalam mendekati Changmin. Ketika ia mengira bahwa menginterupsi obrolan mereka tiap jam istirahat saja dirasa sudah cukup, Sangyeon ternyata mengambil tindakan yang lebih berani.

“Changmin, mau pulang bareng gue aja?”

Perhatian Changmin yang tertuju pada barang yang sedang dimasukkan dalam tas seketika tersita. “Eh, nggak papa emangnya? Rumah kita kan, nggak searah, Kak?”

“Nggak papa. Gue mau mampir juga ke rumah temen, searah sama rumah lo.”

“Oh, gitu. Boleh deh, Kak.”

Tidak ada yang menyadari kehadiran Juyeon di antara keduanya. Lelaki itu dengan santai mengancingkan jaketnya lalu berucap. “Jadi beli stok dapur, kan, Changmin?”

“Hah?” Changmin melebarkan mata lantaran bingung. “Stok dapur?”

Juyeon menunjuk Hyunjae di belakang punggungnya. “Kata Hyunjae lo mau belanja buat stok dapur.”

Hyunjae memang sempat memberitahu Changmin soal persediaan dapur yang habis, tapi Changmin tidak mendengar Hyunjae menyuruhnya belanja hari ini.

“Beli sama gue aja. Yuk?” lanjut Juyeon.

Changmin akhirnya meminta maaf pada Sangyeon lantaran tak jadi pulang bersama. Ia lalu mengekor di belakang Juyeon sambil sesekali menengok ke arah Sangyeon dan Hyunjae yang mengamati kepergian keduanya.

Lumayan banyak yang harus dibeli dan sebenarnya Changmin bisa saja pergi sendiri. Tapi hari sudah agak malam, Changmin merasa lebih aman ada Juyeon yang menemani.

Keduanya berada di supermarket, berdiri di depan rak yang berisi berbagai macam bumbu dapur. Juyeon membiarkan Changmin mengambil bahan yang butuh dibeli. Ia menunggu di sebelahnya sambil memperhatikan wajah lelaki itu.

“Ju? Juyeon?”

Panggilan Changmin mengejutkan Juyeon yang sedang melamunkan skenario dalam kepalanya. Lelaki di depannya itu tengah berjinjit untuk mengambil benda di rak paling atas. Dengan tanggap Juyeon segera mengulurkan tangannya dan membantu Changmin.

“Makasih.” Changmin tersenyum manis pada Juyeon sebelum melanjutkan kegiatannya.

Juyeon mengikuti langkah Changmin dengan jantung yang berisik. Masih ada beberapa bahan yang harus dibeli, Juyeon harus bisa bertahan.

Keranjang belanja mulai penuh. Changmin membawanya dengan kedua tangan.

“Sini gue bawain aja kalo berat,” tawar Juyeon tanpa menunggu persetujuan dari Changmin. Keranjang itu seketika berpindah tangan.

“Lo biasanya kalo belanja sendiri, bawa barangnya gimana?” tanya Juyeon ketika keduanya kembali berjalan bersisian.

“Yaa, pake tangan. Masa pake kaki?”

Candaan garing tapi Juyeon tetap tertawa. “Besok-besok belanja bareng gue aja kalo bawaannya seberat ini.”

“Ngeremehin gue lo, ya? Segini doang gue juga bisa, kali.”

“Takut lo makin pendek bawa barang belanjaan sendiri.”

Changmin memukul pelan lengan Juyeon sambil tertawa. Mereka tiba di antrian kasir yang lumayan penuh. Lengan keduanya hampir bersentuhan dan Juyeon sesekali memandangi tangan kiri Changmin yang sedang menganggur. Ia ingin sekali menautkan jemarinya dengan jemari Changmin. Apakah rasanya hangat seperti dalam pikirannya?

Setelah beberapa kali berkontemplasi akhirnya Juyeon nekat menggandeng tangan Changmin, menariknya lebih dekat ke arahnya.

“Awas nanti ilang,” komentar Juyeon, berusaha menutupi kegugupannya.

Changmin mendelik geli. “Emangnya gue anak kecil?”

Namun tetap digenggamnya tangan Juyeon lebih erat. Antrian masih banyak di depan, dan hangat tangan Changmin menyelimuti miliknya. Rasanya Juyeon bisa pingsan saat itu juga.


Belakangan ini Hyunjae merasa ada yang lain dari Changmin. Awalnya ia tidak bisa menebak apa yang membuatnya merasa seperti itu. Tetapi kejadian beberapa jam yang lalu seakan menyadarkannya akan sesuatu. Senyum yang diberikan Changmin padanya setelah memberitahu bahwa Sangyeon sedang mencarinya, membuat Hyunjae tertegun.

“Changmin aneh, dah,” celetuk Hyunjae siang itu, mendekati Juyeon yang tengah membuat kopi untuk dirinya sendiri.

“Aneh kenapa?” tanggap Juyeon enteng.

“Kayaknya dia tau soal gue sama Sangyeon deh, Ju.”

Juyeon mengangkat alisnya, mulai tertarik. “Soal lo naksir Bang Sangyeon maksudnya?”

Hyunjae mengangguk cepat. “Tadi Changmin manggil gue, ngasih tau kalo Sangyeon nyuruh gue ke ruangan. Terus dia kayak senyum-senyum nggak jelas gitu.”

“Hmm.” Juyeon bergumam pelan, menyeruput kopinya sambil berpikir. “Kalo dia tau harusnya dia nggak deket-deket sama Bang Sangyeon lagi.”

“Makanya. Apa jangan-jangan…”

“Nggak sih, Je. Menurut gue nggak.”

“Iya, sih. Kayaknya nggak mungkin.” Hyunjae menghela napas berat. “Nggak mungkin Sangyeon tiba-tiba naksir sama gue dan curhat ke Changmin.”

Juyeon sebenarnya iba pada temannya itu. Tapi nasibnya juga tidak jauh berbeda. Jadi ia tidak bisa memberikan solusi yang berarti selain menepuk bahunya.

“Jangan nyerah dulu.”


Ada kalanya Changmin merasa lelah menjalani rutinitasnya. Menjadi seseorang yang harus terus melayani membuat ia capek fisik dan mental. Tetapi ia harus tetap memasang senyum di wajah.

Secangkir kopi hinggap di atas meja. Changmin menoleh dan mendapati Juyeon sudah ada di sebelahnya.

“Bentar ya, Ju. Gue cek dulu ini pesenan meja berapa.” Changmin kembali sibuk memeriksa kertas pesanan.

“Buat lo, kok.”

Tangan Changmin berhenti dari membuka lembaran kertas. Dilihatnya secangkir latte dengan gambar hati di permukaannya itu.

“Cobain, deh. Gue yakin lo bakal suka yang ini. Nggak pahit.”

Changmin akhirnya bebas dari rasa tertegunnya. Dilemparnya senyum kecil pada si barista kafe.

Thanks ya, Ju.”

Juyeon benar. Kopi itu rasanya pas di lidah Changmin. Tidak terlalu pahit maupun manis.

“Tau nggak, sih? Lo pinter banget bikin kopi,” ujar Changmin jujur. “Nggak cuma karena lo jago pake teknik apapun, tapi karena lo bikin kopi yang sesuai sama selera orang lain.”

Juyeon berusaha keras agak tidak salah tingkah di depan Changmin.

I just wanna try my best. But, thanks. Really.

Entah apa yang membuat mata Changmin terperangkap dalam tatapan Juyeon ketika mendengar ucapan itu. Sudah cukup lama mereka berteman, Changmin selalu kagum atas kerja keras Juyeon dan bagaimana ia menghadapi tiap rintangan dalam hidupnya. Changmin merasa ia banyak belajar dari Juyeon.

“Wah, ternyata dari tadi bikin itu buat Changmin. Punya gue mana, nih?”

Seruan Hyunjae memutus kontak mata antara keduanya. Changmin segera menoleh ke arah Hyunjae.

“Kak Hyunjae mau?” tawar Changmin, hendak memberikan cangkirnya.

“Nggak mau yang itu. Juyeon kan bikin itu pake cin-”

“Berisik banget!” sela Juyeon, mendorong Hyunjae kembali ke dalam. “Sini gue bikinin biar nggak rewel.”

Changmin melanjutkan menikmati kopinya sambil sesekali tertawa melihat perdebatan dua orang itu.


Sedikit mengejutkan ketika Changmin tiba-tiba mendatangi Juyeon suatu hari untuk meminta diajari membuat kopi.

“Lo nggak keberatan, kan?”

Juyeon sama sekali tidak keberatan. Justru ia menunggu momen itu datang agar ia bisa berlama-lama dengan Changmin. Dan meminimalisir interaksi antara Changmin dan Sangyeon pastinya.

“Kalo udah jadi bubuk begini, tinggal dituang air sambil disaring. Harus sabar nuang airnya.”

Juyeon mengarahkan tangan Changmin yang memegang teko untuk bergerak dengan pelan. Tubuhnya hampir menempel pada Changmin kalau ia tidak mengambil jarak beberapa senti darinya. Jangan sampai Changmin merasakan degup jantungnya yang menggedor dadanya.

“Gue juga pengen bikin gambar-gambar gitu, Ju. Boleh ajarin?”

“Boleh. Gambar apa?”

“Hati.”

Percobaan pertama Changmin belum sempurna, tapi ia tidak menyerah. Hari demi hari ia terus berlatih agar gambar hatinya sempurna. Hingga suatu hari Changmin berseru senang dan berlari pada Juyeon untuk menunjukkan hasilnya.

“Bagus. Sekarang lo bisa bikin sendiri.”


Changmin mulai sering sibuk membuat kopi sendiri hingga Hyunjae merasa heran, apa yang menjadi motivasinya. Di antara mereka berempat hanya Changmin yang tidak terlalu suka kopi. Hyunjae jadi penasaran.

“Udah suka kopi sekarang?” tanya Hyunjae.

“Nggak terlalu, sih.”

“Terus ngapain bikin kopi mulu?”

“Suka-suka. Lagian kopinya bisa diminum sama Kak Sangyeon.”

Hyunjae terdiam sejenak. “Sangyeon nggak suka latte. Mending lo bikin yang lain.”

“Hmm. Kalo Kak Hyunjae gimana? Suka latte?”

“Suka.”

Setelah memberikan jawaban singkat, Hyunjae beranjak pergi. Ia harus memberitahu Juyeon kalau kemungkinan hubungan Changmin dan Sangyeon akan berkembang. Dan ia cukup merasa tak ada harapan.


Kafe sudah sepi. Semuanya bersiap untuk pulang tak terkecuali Juyeon yang sedang mengemasi barangnya. Ia sempat melihat Changmin masih berkutat dengan mesin kopi beberapa saat yang lalu. Senyum tipis terulas di bibir Juyeon, setelah ini ia harus menghentikan kegiatan Changmin walau lelaki itu terlihat asyik.

“...Gue suka sama Kak Hyunjae.”

Ruangan yang hening itu seketika menjadi lebih hening setelah kalimat itu menggema ke sudut-sudut kafe. Tubuh Juyeon membeku. Apa yang barusan didengarnya?

“Changmin, gue-” Itu suara Hyunjae. “Lo serius ngomong ini?”

Juyeon membalikkan badannya dan mendapati Hyunjae serta Changmin sedang berhadapan di dekat meja tempat membuat kopi. Changmin mengulurkan cangkir dengan kedua tangan. Tak jauh dari mereka, Sangyeon berdiri di depan pintu ruangannya.

Waktu seakan berjalan dengan lambat. Cangkir di tangan Changmin tak kunjung diterima Hyunjae. Juyeon dan Sangyeon menatap pemandangan itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Gue suka sama lo dari pertama kita ketemu, Kak,” ucap Changmin. “Gue nggak tau gimana cara nunjukkinnya. Tapi belakangan ini gue belajar bikin kopi, biar gue bisa bikinin kopi kesukaan lo.”

Ada rasa ngilu yang menjalar di dada Juyeon. Tak sekalipun menyangka bahwa Changmin menyimpan perasaan untuk Hyunjae. Semuanya terlalu sulit dicerna otaknya.

“Sori, Changmin.” Hyunjae lalu mengarahkan pandangannya ke arah Sangyeon. “Ada orang yang gue suka.”

Changmin mengikuti arah pandang Hyunjae. Ia menggigit bibirnya yang bergetar.

Sangyeon melihat Hyunjae seakan tak percaya. Dengan ekspresi wajah yang kaku ia berjalan mendekati Hyunjae lalu berbicara di depannya.

“Harusnya lo bilang dari awal.”

Hyunjae tak sempat mencegah kepergian Sangyeon. Lelaki itu membuka pintu kafe dan menutupnya dengan sedikit bantingan.

Suasana menjadi sangat canggung. Hyunjae sadar masih ada Juyeon di sana. Dan ia tak sanggup melihat ke arah temannya itu.

“Gue balik duluan,” ucap Juyeon tiba-tiba. Nada suaranya rendah menyimpan getar emosi yang ditekan. “Besok gue nggak masuk. Terserah lo pada tetep mau kafe buka tanpa barista atau nggak. Lagian Changmin juga udah tau caranya bikin kopi sendiri.”

“Ju, gue nggak-” Ucapan Changmin tak didengar Juyeon karena lelaki itu sudah beranjak pergi.

“Ju!” Hyunjae ikut memanggil namun sia-sia.

Atmosfer terasa begitu berat setelahnya. Hyunjae melihat ke arah Changmin yang menundukkan kepalanya dalam. Dihelanya napas berat sebelum berucap pelan.

“Juyeon udah lama suka sama lo, Changmin.”

Meski tak mengangkat wajahnya namun tubuh Changmin bereaksi atas pengakuan Hyunjae. Perlahan Hyunjae meraih cangkir kopi dari tangan Changmin dan meminumnya sampai habis.

“Kopinya enak. Makasih. Tapi maaf, gue nggak bisa.”

Changmin menolak ketika Hyunjae menawarkan untuk mengantarnya pulang. Ia memilih untuk tinggal di kafe lebih lama. Setelah kafe benar-benar sepi dan hanya ada dirinya di sana, Changmin menaruh kepalanya di atas kedua lengannya yang terlipat lalu terisak sejadi-jadinya.

Ia merasa begitu buruk. Ia telah menghancurkan semuanya.


Pada akhirnya tidak ada yang datang ke kafe. Selama dua minggu mereka putus kontak dan membiarkan kafenya tutup. Selama dua minggu pula mereka mencoba mencerna apa yang telah terjadi meskipun rasanya sulit.

Changmin tak pernah merasa begitu gelisah sebelumnya. Sejak kejadian hari itu, tidurnya tak pernah nyenyak. Dan bukan karena Hyunjae menolak perasaannya. Tapi karena kepalanya sibuk memikirkan Juyeon.

Menit demi menit terlewat dan Changmin hanya memandangi sederet nomor di ponselnya. Satu sentuhan saja dan panggilan ke nomor Juyeon akan terhubung. Berbekal nekat Changmin akhirnya menghubungi Juyeon.

“Ju…”

“...Kenapa nelfon?”

Juyeon tak pernah terdengar sedingin ini. Changmin menggigit bibirnya.

“Gue pengen ngobrol sama lo. Boleh?”

“Mau ngobrolin apa?”

“Banyak. Tapi yang paling penting soal kejadian di kafe.”

Agak lama sebelum Juyeon memberikan jawaban. “Ketemu di Rumah Kopi aja.”


Langit sudah semakin redup ketika Juyeon sampai di Rumah Kopi. Ia melihat Changmin dari balik kaca jendela, duduk di salah satu kursi sambil memainkan ponselnya. Lelaki itu langsung mendongak ketika mendengar pintu dibuka.

Tanpa bicara Juyeon duduk di hadapan Changmin. Keduanya membiarkan keheningan yang menguasai, seakan menunggu siapa yang angkat bicara lebih dulu.

“Gue minta maaf.” Ucapan itu meluncur dari bibir Changmin dengan cepat.

Juyeon menegakkan punggungnya lalu menautkan dua tangannya di atas meja. Diamatinya Changmin dengan seksama. “Kenapa minta maaf?”

Changmin terlihat bimbang untuk menjawab. “Gue… Soalnya gue…”

“Lo confess ke Hyunjae,” tegas Juyeon. “Lo nggak salah. Nyatain perasaan ke orang yang disuka itu nggak salah, kan?”

Changmin menggeleng. “Tapi gue udah bikin semuanya kacau, Ju. Persahabatan kita. Kafe ini. Rumah Kopi itu ide lo, kan, awalnya. Lo yang bikin semua ini terwujud. Dan gara-gara keegoisan gue, semuanya jadi hancur berantakan. You didn’t deserve that.

Juyeon menatap permukaan meja yang berdebu akibat kafe tutup beberapa minggu lamanya. Pikirannya kalut. Sebenarnya memang bukan salah Changmin. Justru Changmin yang paling berani jujur di antara mereka semua yang pengecut. Namun tetap ada rasa kecewa dan sakit yang menggores hatinya.

“Kenapa lo nggak bilang waktu itu?” tanya Juyeon kemudian.

“Bilang apa?”

“Alasan lo minta diajarin bikin kopi itu karena Hyunjae.”

Sakit hati itu akhirnya kentara dari kalimat dan tatap mata Juyeon. Dari awal Changmin juga sudah menangkap luka itu. Sejak Hyunjae memberitahunya perihal perasaan Juyeon padanya, Changmin tak pernah sekalipun berhenti memikirkannya. Bertahun-tahun mereka bersama dan Changmin harus menyakiti Juyeon dengan cara seperti ini.

“Ju, gue sama sekali nggak tau soal perasaan lo. Seandainya gue tau, gue nggak akan-”

“Stop.” Juyeon menghentikan kalimat Changmin. “Gue nggak bermaksud bikin lo merasa bersalah karena nyimpen perasaan buat Hyunjae. Gue cuma-”

Juyeon berdecak keras. Ia mengacak rambutnya frustrasi. Siapa yang bisa ia salahkan atas sakit hatinya?

“Gue sayang sama lo, Changmin. Sejak awal gue ketemu lo, gue ngerasa nyaman ada di deket lo. Gue seneng ngejalanin hari-hari di mana ada lo di situ. Gue cuma nyesel kenapa gue nggak bilang dari awal. Kalopun lo akhirnya nolak gue, seenggaknya gue nggak akan ngerasa sakit yang berlarut-larut kayak gini.”

Changmin tertegun melihat Juyeon melontarkan rentetan kalimat yang selama ini dipendamnya.

“Waktu gue tau kalo Bang Sangyeon naksir sama lo, gue ngerasa kesel. Kesel sama diri gue sendiri karena gue nggak bisa apa-apa. Kalo bukan Hyunjae yang nyuruh gue buat maju, gue kayaknya bakal tetep nyimpen perasaan ini sendirian. Tapi setelah semua usaha yang gue lakuin, lo… Shit, gue bahkan nggak tau selama ini lo suka sama Hyunjae!”

“Ju-”

“I feel so pathetic.”

Changmin tak sanggup melihat Juyeon seperti ini. Ia akhirnya bangkit dari kursinya untuk menghampiri Juyeon dan memeluknya. Ia memeluk dengan begitu erat hingga tak ada lagi suara yang muncul dari bibir Juyeon.

“I’m sorry. I’m so sorry.” Changmin membisikkan kalimat itu pada Juyeon. Tangannya tak henti mengusap punggung lelaki barista itu. “Ju, selama kita temenan, gue selalu bersyukur lo ada di samping gue. Lo ngajarin gue banyak hal. Tentang kopi, tentang cita-cita, tentang nggak pernah nyerah. Gue seneng lo ada di hidup gue, Ju.”

Juyeon menarik tubuhnya dari pelukan Changmin. Kedua tangannya meraih sisi wajah lelaki manis itu, menyapunya pelan dengan ibu jari. Kedua anak manusia itu saling menatap. Luka dan harap terpancar dari sepasang netra yang saling mengunci.

“Kopi yang waktu itu gue bikinin buat lo. Lo suka?” tanya Juyeon beberapa saat kemudian.

Changmin mengangguk. “Iya, gue suka.”

Juyeon menarik napas dalam-dalam sebelum kembali bersuara. “Changmin, gue bisa bikin kopi itu karena gue merhatiin setiap hal yang lo suka. Dan kalo lo akhirnya bisa suka sama kopi yang gue bikin, kira-kira lo bolehin gue buat bikin lo suka sama yang lain nggak?”

“Yang lain apa?” tanya Changmin. Ada senyum samar yang terselip di bibirnya.

“Nggak jauh-jauh dari kopi juga. Orang yang suka banget sama kopi, tapi lebih suka sama cowok yang namanya Changmin.”

Hangat merambat di pipi Changmin. Mungkin selama ini ia hanya belum menyadari, perasaan yang tersimpan untuk Juyeon letaknya di sudut paling jauh dalam hatinya. Tersimpan rapat di sana sebab tak ingin ada apapun yang mengusiknya. Hingga akhirnya terlupa.

Namun hari ini, kotak perasaan itu kembali ditemukan. Isinya mungkin masih sama. Bisa jadi asing, atau familiar. Changmin hanya perlu mengingatnya saja.

“Gue jawab kalo lo mau bikinin gue kopi lagi yang gue suka. Tapi kali ini gue harus liat cara bikinnya.”

“Boleh.”

Juyeon mengulurkan tangannya yang disambut Changmin, kemudian keduanya melangkah menuju mesin kopi. Rumah Kopi kembali hidup, aroma kopi mengisi sudut-sudut ruangan, hangat yang tak hanya hadir dari uap kopi namun juga dari sepasang lelaki yang saling bertukar cerita di balik mesin kopi.

Juyeon jatuh hati dengan seorang lelaki yang tak menyukai kopi. Changmin belajar untuk menyukai hal-hal yang ia kira tak disuka. Hanya dengan secangkir kopi, ia dapat melihat banyak hal melalui perspektif yang berbeda.

Bahwa ternyata, hal-hal yang disukainya ada di dekatnya, menunggu untuk ditemukan.

(fin.)

This is the first time Changmin lives far away from his family. He got accepted into his dream college in another city. Though he’s happy preparing for his first day, he can’t deny that he’s kinda worried about some things. No one from his high school got accepted here so Changmin is basically alone. But he has to do it, right?

Being an introvert makes it hard for Changmin to make friends. He’s always hesitant to approach people first so he’s just standing awkwardly in the middle of people passing by, introducing themselves to each other.

But then there’s this tall guy walking closer to Changmin with a smile plastered on his face. Changmin quickly puts on his smile just like how he practiced this morning in front of the mirror. It turns out to be unnatural, though. But Changmin has no time to think about it.

“Hey. You’re in this class too, right?” The tall guy asks. He looks friendly and not really intimidating so Changmin slowly puts his guard down.

“Y-Yeah! I am!” Changmin answers, a little too excited he wants to slap himself.

“Cool. I’m Juyeon.”

Changmin looks down at the hand in front of him, forming a small smile before taking his hand.

“Changmin.”

They become buddies in no time. Changmin is grateful that Juyeon is willing to initiate things first because he’s too shy to ask for anything. Even for the simplest thing, like some meds from the drugstore that he needs when he’s sick.

Being sick is inconvenient, moreover when you’re away from your family. Changmin is used to being pampered by his mom whenever he’s sick. But no one is here to do it for him.

Unless…

“Why don’t you tell me earlier that you’re sick?”

Juyeon sounds upset and worried at the same time. He brings some meds that he grabbed on his way to Changmin’s dorm. Helping Changmin to eat his food and then his pills.

“Sorry I made you come all the way from your home to my place,” says Changmin. “You didn’t need to do it, though.”

“And letting you suffer here alone? I’m worried.” Juyeon lets out an exasperated sigh. “Also I’m your friend, Changmin. You can rely on me.”

Changmin suddenly feels bad. Juyeon is such a nice friend to him. “I get it. Thank you, Juyeon. I really appreciate it.”

“Good. Now let me stay here at least until your fever subsides.”

Changmin can’t argue. Also he has no energy anymore so he just lets Juyeon sit on the floor, back resting against Changmin’s bed.

“Juyeon.” Changmin whispers. “It’s almost holiday.”

“Hm? Yeah.” Juyeon turns his head, giving Changmin a smile. “Any plan?”

“Me? Nah. I’ll just sleep all day. And watch some shows on Netflix probably. How about you?”

“Actually I have a family event.”

“Right. Must be fun.”

Juyeon watches as Changmin’s eyes are gradually closing. He chuckles to himself before letting Changmin sleep as he keeps him company.


It’s finally holiday. The dorm is quiet because many students have their own plan. And then there’s Changmin wrapping himself with a blanket, still not getting up from his bed. His only plan is to stay inside his room.

But what’s not on Changmin’s plan is finding Juyeon in front of his door with that big smile of his.

“What are you doing here?” Isn’t Juyeon supposed to have a plan with his family?

“Picking you up.”

“Picking me up…for?”

“Holiday celebrations!”

“Wait, I’m invited? I thought you said holiday celebrations were a family only event.”

Juyeon shrugs. He puts his hand on top of Changmin’s head.

“You are family.”

Well, maybe going outside is better than sleeping all day. But one thing for sure, spending time with Juyeon would be much much better than being alone.

Changmin nods happily. “Okay!”

This is a commission work for #TeamEdgar written by @onebitekyu. Pairing: Juyeon × Changmin Casts: Juyeon, Changmin, Hyunjae Length: 2031 words


‘Sampai nanti, aku akan terus di sini menemani kamu. Menulis berlembar-lembar kisah tentang kita.’

Tetapi bibir itu kini terkatup dan dingin. Tangannya tak lagi membalas genggamannya.

Juyeon menatap kursor yang berkedip di layar laptopnya. Sudah lewat satu jam sejak tangannya berhenti menyentuh keyboard. Beberapa bulan belakangan ini ia sulit untuk berkonsentrasi. Pikirannya terus mengunjungi memori yang seharusnya ia lupakan.

Cangkir kopi Juyeon kosong ketika tangannya meraih benda itu. Di balik jendela kafe, rintik hujan masih turun membasahi jalanan. Juyeon memutuskan untuk memesan secangkir kopi lagi.

“Hei, mau pesen kopi lagi?”

Juyeon hampir lupa betapa ramah dan menyenangkannya pemilik kafe itu. Beberapa kali Juyeon mampir ke tempat ini dan ia selalu disambut dengan senyum lebar oleh lelaki berwajah manis dan lesung di pipi. Ada tato bunga dan kupu-kupu yang mengintip dari balik lengan pakaiannya yang tergulung. Indah, menurut Juyeon. Sangat cocok dengan kepribadiannya.

“Iya. Satu cangkir aja.”

Juyeon tahu nama lelaki itu karena tersemat di pakaiannya. Tetapi ia sungkan untuk menyebut namanya lantaran belum berkenalan secara langsung.

Secangkir kopi yang masih mengepul beserta sepiring kue hadir di hadapan Juyeon.

“Maaf, kayaknya saya tadi nggak pesan kue?” ucap Juyeon.

“Gratis, kok.”

“Memangnya nggak apa-apa?”

Lelaki manis itu kembali merekahkan senyum yang membuat Juyeon sejenak lupa akan penatnya.

“Gue yang punya kafe ini. Nggak akan ada yang marah.”

Juyeon akhirnya tertawa kecil. Ia mengangguk sambil menerima menu yang disajikan. Setelah mengucapkan terima kasih, lelaki itu kembali ke tempatnya meninggalkan Juyeon yang harus berkutat lagi dengan layar laptopnya. Kali ini pikirannya penuh oleh senyum lelaki manis yang baru saja berbicara padanya.


Sudah lama lelaki jangkung itu kerap mengunjungi kafe kecilnya sambil membawa laptop. Changmin selalu hapal siapapun yang datang ke kafenya. Tak terkecuali lelaki itu yang belum ia ketahui namanya.

Terkadang Changmin penasaran apa yang membuat lelaki itu terlampau fokus dengan laptopnya. Sesekali ia mencoba mengintip ketika ia mengantarkan pesanannya. Namun hanya ada halaman kosong.

Hari ini lelaki itu datang lagi. Memesan menu yang sama.

“Ngerjain apa, sih?” lontar Changmin sambil menaruh secangkir kopi di atas meja. “Jangan sepaneng nanti stress, loh!”

Lelaki itu tampak terkejut sejenak atas komentar spontan dari Changmin. Matanya teralih dari layar.

“Saya lagi nulis,” ucap lelaki itu. “Lebih tepatnya, lagi nyoba nulis lagi.”

Sepasang mata Changmin membulat. “Lo penulis? Keren banget!”

Ucapan Changmin sepertinya membuat lelaki itu sedikit rikuh. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu diletakkannya di atas meja.

“Buku saya yang sudah pernah terbit sebelumnya.”

Dengan kedua tangan Changmin meraih buku itu. Mengamati cover-nya yang cantik.

“Juyeon…” gumam Changmin pelan, membaca nama yang tertera di sana.

“Itu nama saya.”

Changmin mengangguk kecil. Ia membuka-buka halaman buku itu untuk beberapa saat sebelum berucap pada Juyeon.

“Hmm, Juyeon. Gue boleh pinjem buku ini, nggak? Gue pengen baca.”

“Boleh. Buku itu buat kamu aja.”

Changmin memekik senang. Didekapnya buku itu sambil mengucapkan terima kasih pada Juyeon yang membalas senyumnya.


Kekosongan itu selalu terasa menyiksa. Acap kali Juyeon mencoba untuk menuangkan isi kepalanya dalam tulisan, tangannya enggan untuk bergerak. Seakan jari-jarinya beku dan dingin seperti jemari yang coba digenggamnya beberapa bulan yang lalu.

“Kenapa sedih banget, Ju?”

Suara seseorang membuyarkan lamunan Juyeon. Rupanya Changmin sudah duduk di dekatnya sambil membaca satu paragraf yang berhasil ditulisnya selama beberapa hari.

“Ini lanjutan dari buku kemarin?” tanya Changmin lagi.

“Kamu udah selesai baca?” Juyeon balik bertanya.

“Belom, sih. Baru seperempat buku. Tapi gue suka banget chemistry dua tokoh utamanya! Kayak kerasa banget kalo dua-duanya saling sayang.”

Tanpa sadar ada senyum tipis yang terulas di bibir Juyeon.

I'm glad. Berarti pesan yang saya tuangin di buku itu sampai ke kamu.”

“Tapi lo dapet inspirasinya dari mana, sih?” tanya Changmin penasaran. “Pengalaman pribadi, ya??”

Senyum yang sempat muncul di bibir Juyeon perlahan memudar. Lelaki itu berdeham pelan.

“Dari orang-orang di sekitar saya aja. Saya suka merhatiin sekeliling saya.”

Changmin menggembungkan pipinya. Ia kembali melihat deretan tulisan di layar laptop Juyeon.

“Berarti lo orang yang peduli sama sekitar, Juyeon.”


Lembar demi lembar telah dibaca oleh Changmin. Semakin ia terhanyut dalam cerita, semakin Changmin merasa sedih. Bukan karena buku itu mengisahkan cerita yang sedih, tapi karena Changmin mulai membandingkan dengan kisah miliknya sendiri. Andai saja kisahnya sama seperti karakter di dalam buku itu, pasti ia merasa sangat bahagia.

Changmin bertanya-tanya apakah Juyeon juga merasakan bahagia ketika menulis buku itu. Atau mungkin seperti dirinya, merasa iri dengan kisah bahagia yang dialami oleh karakter dalam buku itu.

Kafe sudah sepi. Hanya ada Changmin dengan secangkir kopi yang diseduhnya sendiri. Ia mulai memadamkan lampu satu persatu.

Suara pintu yang dibuka membuat Changmin menolehkan kepalanya. Seseorang datang.

“Udah mau pulang?”

Changmin tersenyum kecil. Ia menganggukkan kepala. Segera dimasukkan buku yang dibacanya ke dalam tas lalu dihampirinya lelaki yang melingkarkan lengannya di bahu Changmin, mengusak rambutnya lembut.

“Kak Hyunjae lembur lagi hari ini?”

“Iya.”

“Besok?”

“Besok juga. Dan besok-besoknya.”


Juyeon berdiri di depan pintu kafe yang terdapat tulisan 'TUTUP'. Ia datang di hari dan jam biasa, namun rupanya kafe itu sedang libur. Juyeon merasa sedikit khawatir. Semoga tidak ada sesuatu yang terjadi.

“Mau minum kopi?”

Suara Changmin terdengar di dekatnya. Lelaki itu tersenyum sambil membukakan pintu kafe.

“Tumben bukanya terlambat,” komentar Juyeon. Ia mengikuti Changmin masuk ke dalam.

Changmin tak segera menjawab. Lelaki yang lebih pendek itu kembali menutup pintu kafe, membiarkan tulisan 'TUTUP' terpampang di sana.

“Emang sengaja tutup. Tapi gue khawatir lo dateng hari ini. Jadi, pengunjung kafe hari ini cukup lo aja.”

Dengan kening berkerut Juyeon mengamati Changmin yang sedang sibuk membuatkan secangkir kopi untuknya. Lelaki itu tidak tampak seceria biasanya. Gerak-geriknya lamban.

Secangkir kopi dengan uap tipis mengepul di depan wajah Juyeon. Di hadapannya Changmin duduk sambil bertopang dagu. Juyeon memperhatikan sepasang matanya yang terlihat sayu.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Juyeon pelan. “Sebenernya kamu nggak perlu buka kafe cuma buat saya.”

Changmin menyunggingkan senyum yang terlihat dipaksakan.

“Tapi lo butuh tempat buat lanjutin tulisan lo, kan? Dan tempat itu di sini.”

Juyeon mengangguk pelan. “Makasih udah biarin saya nulis di sini.”

“Gimana progress tulisan lo? Udah sampe mana?”

Juyeon menyadari sejak ia mulai mengobrol dengan Changmin, kepalanya tak lagi memikirkan hal-hal menyakitkan di masa lampau. Ide cerita mengalir begitu saja melalui jemarinya yang bergerak lincah di atas keyboard.

“Saya kayaknya perlu sering-sering ngobrol sama kamu,” ucap Juyeon.

“Kenapa?”

“Entah. Mungkin kamu salah satu dari sedikit orang yang benar-benar paham tulisan saya.”

Changmin berpikir sejenak. Ia lalu menggelengkan kepalanya tidak setuju.

“Atau, mungkin lo emang penulis yang hebat. Lewat tulisan lo, mereka bisa nangkep apa yang lo maksud.”

Juyeon tidak tahu mana yang lebih tepat. Namun yang jelas, keduanya sengaja dipertemukan untuk mengerti satu sama lain. Pasti ada alasan mengapa mereka mulai mengobrol meski Juyeon sudah sering mengunjungi kafe itu sebelumnya.

Changmin membiarkan Juyeon mulai menulis lagi hingga ia tertidur di dekatnya. Ada desir di dada Juyeon kala ia melihat pemandangan itu. Ditanggalkan jaketnya lalu diselimuti badan lelaki mungil itu. Dahulu ada yang menemaninya menulis seperti ini. Hari ini Juyeon bersyukur ia tidak sendirian.


Changmin selesai membaca halaman terakhir buku dari Juyeon. Tiba-tiba saja hatinya dilanda kekosongan yang membuat air matanya menetes tanpa permisi.

Dua tokoh utama di buku itu memiliki akhir yang bahagia. Jadi untuk apa Changmin menangis?

Mungkin ia hanya sedih karena kisah bahagia itu berakhir. Mungkin ia hanya ingin hal itu terjadi padanya.

“Tega banget Juyeon bikin cerita kayak gini,” keluh Changmin sambil mengusap sisa air matanya. Ia mematikan lampu bacanya kemudian terlelap. Malam itu ia memimpikan kisah bahagia yang sama. Ada wajah Juyeon yang menyertai.


Hari itu Juyeon melangkahkan kakinya lebih cepat menuju kafe. Ia tak sabar untuk memberitahu Changmin bahwa tulisannya sudah hampir selesai.

Namun yang didapatinya adalah sesuatu yang tak ingin dilihatnya.

Changmin bersama entah siapa, terlibat dalam percakapan serius di balik meja kasir. Ekspresi Changmin menunjukkan amarah. Juyeon belum pernah melihat Changmin seperti itu. Ia seketika memalingkan pandangan ketika Changmin menyadari kehadirannya.

Kopinya diantarkan ke meja oleh orang lain. Juyeon masih tak melihat Changmin setelah lelaki yang berdebat dengannya meninggalkan kafe beberapa saat yang lalu. Batinnya mulai resah.

Ketika satu persatu pengunjung kafe mulai surut, Juyeon memberanikan diri untuk mendatangi seseorang yang membawakan kopi untuknya tadi.

“Permisi. Apa boleh saya bertemu pemilik kafe ini?”

Lelaki yang sedang menata cangkir itu terlihat bingung.

“Saya nggak ingin komplain. Ada yang mau saya sampaikan ke dia.”

“Oh, tunggu sebentar, ya?”

Juyeon menunggu dengan tidak sabar sembari lelaki itu masuk ke dalam untuk memanggil Changmin. Tak lama Changmin muncul dengan mata sembab yang begitu kentara.

“Ju, ada apa?” tanya Changmin dengan nada yang berusaha dibuatnya ceria. “Mau nambah kopi, ya? Bentar gue bikinin-”

“Changmin.” Juyeon menahan tangannya. “Boleh temenin saya aja? Duduk di situ.”

Hanya alasan Juyeon untuk meminta Changmin menemaninya. Sejujurnya ia ingin memastikan kalau Changmin baik-baik saja.

“Mata kamu sembab. Kamu habis nangis?” tanya Juyeon tanpa bermaksud mengganggu privasi Changmin.

Changmin menghela napas. “Masih keliatan, ya? Padahal gue udah cuci muka berkali-kali.”

“Kenapa?”

Changmin menyusun kalimat dalam kepalanya sebelum bibirnya mulai meluncurkan cerita yang tak pernah dibaginya pada siapapun.

“Lo pasti udah liat tadi. Cowok yang ngobrol sama gue. Berantem, lebih tepatnya.”

“Dia pacar kamu?”

I wished.” Changmin tersenyum pahit. “Namanya Kak Hyunjae. Kita kenal dari kecil. Dan sama-sama tau perasaan masing-masing. Tapi dia nggak pernah bawa hubungan ini kemana-mana. Gue nggak tau apa dia beneran sayang sama gue. Atau cuman perasaan gue yang tersisa sementara punya dia udah hilang.”

“Kalian berantem soal itu?”

“Gue tanya ke dia kenapa nggak ada waktu buat gue. Ujungnya Kak Hyunjae ngomong kalo kami berdua nggak terikat hubungan apapun.”

Changmin menutup wajahnya lantaran air mata yang kembali merebak. Perlahan Juyeon menggeser kursinya lebih dekat ke Changmin. Dengan satu gerakan lembut ditariknya tubuh Changmin dalam pelukannya. Changmin terisak di sana.

“Kenapa, sih, kisah hidup gue nggak kayak cerita di buku lo, Ju?”

Juyeon termenung. Diusapnya kepala Changmin sambil memikirkan jawaban yang tepat.

“Karena cerita itu memang milik orang lain.”

Changmin mendongakkan kepalanya demi menatap sepasang mata Juyeon yang teduh.

“Saya pernah punya seseorang yang saya sayang. Saya kira saya bakal terus hidup sama dia. Ternyata saya keliru. Tapi dia pernah bilang sama saya, katanya seseorang boleh melepas sesuatu yang nggak lagi bikin mereka bahagia. Dan itu nggak salah.”

“Dia- ninggalin lo?”

“Terpaksa ninggalin saya. Dan saya harus melepas.”

Juyeon menghapus air mata di pipi Changmin dengan ibu jarinya.

“Jadi, kamu boleh pake saran saya buat ikut melepas. Atau kamu mau bertahan tanpa ada kepastian.”

Entah apa yang membuat Changmin akhirnya kembali menyurukkan wajahnya ke dada Juyeon, memeluk lelaki itu lebih erat. Berada dalam pelukan Juyeon rasanya seperti saat ia membaca bukunya. Hangat dan menenangkan. Mungkin Juyeon bukan hanya penulis yang hebat, tetapi eksistensinya saja sudah mampu memberikan ketentraman di hati orang lain.

“Saya sampe lupa mau kasih tau kamu sesuatu,” ucap Juyeon setelah ia memastikan Changmin telah merasa lebih baik.

“Apa?”

Dengan senyum dan binar yang tersirat di matanya, Juyeon berkata. “Buku saya yang selanjutnya udah hampir selesai.”


Tak henti-hentinya Changmin mendesah kagum pada tiap bagian cerita di buku yang sedang dibacanya. Terakhir ia membaca draft di laptop Juyeon, cerita itu terasa begitu sedih. Tetapi tulisan yang dibacanya saat ini tidak serta-merta membuatnya sedih meski dua tokoh utama dalam cerita itu harus berpisah. Karena masing-masing menemukan kebebasannya sendiri.

“Hei, kamu di sini ternyata. Aku nyariin kamu dari tadi.”

Changmin mengangkat wajahnya dan senyumnya seketika mengembang. Ia mengangkat buku di tangannya.

“Bagus banget. Kamu berhasil bikin satu mahakarya lagi.”

Ucapan Changmin melengkapi kebahagiaan Juyeon hari itu. Digenggamnya kedua tangan Changmin erat.

“Buku itu bisa lahir berkat kamu juga.”

“Kok aku?”

“Changmin, kamu inget nggak pertama kali aku dateng ke kafe kamu? Kamu juga pasti sadar beberapa kali kamu liat layar laptop aku bersih tanpa tulisan. Sampe akhirnya kamu ngajak aku ngobrol. Dari situ aku ngerasa dapetin nyawaku lagi. Kamu yang bikin aku sadar kalo aku nggak perlu ngerasa sendirian walaupun ditinggal seseorang yang berharga. Kamu yang selalu ngasih senyum terbaik kamu, kamu yang selalu hapal menu pesenanku, kamu yang bilang kalo aku penulis hebat. Kamu yang bantu aku dan tulisanku buat hidup lagi.”

Changmin ingat semuanya. Ia ingat kapan pertama kali Juyeon muncul di kafenya dan melamun di depan layar laptop sembari menunggu hujan reda. Bercangkir-cangkir kopi yang ia pesan. Juga tulisannya yang membuat hati Changmin tak terasa dingin lagi.

“Juyeon, kenapa bukunya dikasih judul Let You Break My Heart Again?”

To remind myself that I shouldn’t be scared of falling in love again.

Is it worth it?”

With you, it is.”

(fin.)

Sunwoo bertumpu di atas kedua lututnya. Butir keringat mulai bermunculan di sekitar dahinya meski ia belum melakukan apapun. Tapi bagaimana bisa Sunwoo tak gentar melihat pemandangan di depannya.

Bersandar santai dengan kemeja yang tiga kancingnya terbuka adalah Younghoon, senior di kampus Sunwoo yang belakangan ini mengacaukan pikiran Sunwoo. Perkara teman-teman Sunwoo membongkar rahasianya yang ingin mencoba tubuh Younghoon sekali dalam seumur hidupnya, sampailah ia di titik ini. Di kamar ini. Di posisi ini.

“Kenapa diem aja?”

Sunwoo terkesiap. Ia beringsut mendekati ciptaan-Nya yang sempurna itu.

“Bukain kancing baju gue. Atau gue harus buka sendiri?”

“B- Biar gue aja, Kak.”

Sunwoo ingin menampar mulutnya yang gemetar. Ke mana perginya nyali untuk menelanjangi Younghoon seperti yang selalu dikatakannya di akun rahasianya?

Mau liat Kak Younghoon ngerengek sambil gue lucutin pakaiannya satu2 sampe telanjang.

Mau liat selembut dan seputih apa perut sama pahanya.

Mau liat Kak Younghoon nangis di bawah gue.

Cuitan yang sempat dibuatnya itu berkelebat di kepala Sunwoo. Mimpinya ada di depan mata tapi keberaniannya bagai menguap perlahan.

Sunwoo menggosokkan telapak tangannya yang basah pada celana jinsnya sebelum ia mulai mengurai kancing kemeja Younghoon satu persatu. Seniornya itu tak memakai apapun di balik kemeja tipis yang bahkan bisa Sunwoo robek dengan mudah. Napas Sunwoo tertahan kala tangannya sampai pada kancing yang akan menguak perut Younghoon.

Jemari Sunwoo berhenti di udara ketika kemeja itu telah terbuka sempurna. Sunwoo menelan ludah, menikmati keindahan yang selama ini hanya ada di imajinasinya.

“Gue nggak punya banyak waktu, Nu. Habis ini ada rapat divisi. Gue nggak bisa absen.”

“Iya, Kak.”

Younghoon tiba-tiba bangkit dari rebahnya untuk melepas kaus hitam Sunwoo. Kemudian tangannya beralih pada ikat pinggang Sunwoo. Yang lebih muda akhirnya mengimbangi aksinya meski tangannya masih gemetar berusaha membuka resleting celana Younghoon.

Sunwoo mengumpat berkali-kali di dalam hati. Younghoon telanjang sempurna tanpa sehelai kain pun menutupi badannya.

Anjing. Seksi banget nggak ngotak.

Mungkin karena tidak sabar Younghoon akhirnya menarik leher Sunwoo dan mulai mencium bibirnya. Meski sempat kehilangan warasnya, Sunwoo segera mengumpulkan kembali kesadarannya dan balas mencium Younghoon.

Satu hal membawa mereka ke hal lain. Dan sebelum Sunwoo sadar, hal itu sudah berada tepat di depan matanya.

The real deal.

Younghoon mengamati tiap gerak-gerik Sunwoo dan acap kali tingkahnya yang kikuk memunculkan dengusan takjub dari Younghoon. Sebagai seseorang yang cukup banyak memiliki pengalaman, Younghoon bisa menilai hanya dari mengamati.

First time?

Sunwoo mengerjapkan matanya. “Hah?”

“Gue nggak mau buang-buang waktu. I assumed you really wanted to do this, jadi biar gue aja yang pegang kendali.”

Younghoon bangkit untuk mengubah posisinya yang membuat Sunwoo seketika panik.

“Nggak, Kak. Gue bisa.”

(cont.)