purplish

“sunwoo?” tanya changmin memastikan saat ia menemui seseorang berkaos hitam yang bersandar pada pintu mobil.

sunwoo mengawasi changmin yang jalannya hampir tidak benar, menganggukkan kepalanya singkat. “masuk aja, kak.”

changmin mengistirahatkan kepalanya pada jok mobil, rasanya seperti dihantam palu tak kasat mata. setelah menyalakan mesin mobil, sunwoo mulai menjalankan mobilnya menuju jalanan yang padat.

berkali-kali changmin mencoba menghubungi younghoon tapi sia-sia. sunwoo melirik changmin yang berdecak kesal.

“chanhee emang ada acara apaan, sih?” celetuk changmin tiba-tiba. membuat sunwoo menaikkan alisnya kaget.

”...nggak ada acara apa-apa, sih. kenapa emangnya?” tanya sunwoo balik.

“dia bilang lagi ada acara, makanya dia nyuruh lo jemput gue.”

“oh- acara me time kali, sama pacarnya,” cetus sunwoo acuh tak acuh.

changmin serta merta menoleh pada sunwoo, membuat kepalanya kembali diserang rasa sakit. ia mengaduh pelan.

“lo gamau ke rumah sakit, kak? kayaknya sakit banget.”

changmin mengibaskan tangannya. “enggak, tadi lo bilang chanhee sama pacarnya? chanhee punya pacar?”

“eh, nggak tau sih pacar apa temen. tapi di kamar gitu berdua. ya gue bukannya ngintip tapi emang keliatan. kan gue lagi di rumah dia buat setor file kantor.”

changmin termenung. kalau memang pacar kenapa chanhee tidak pernah cerita padanya? tapi toh itu privasi chanhee, dia tidak berhak ikut campur kalau memang chanhee tidak mau bercerita.

“nu,” panggil changmin. “mampir apotek dulu bentar ya. gue mau beli obat.”

“kak.”

sunwoo mendapati changmin yang sedang menaruh kepalanya di atas meja. tangannya masih memegangi sebotol air mineral yang tutupnya terbuka.

changmin mengangkat kepalanya, menyadari kedatangan sunwoo. wajahnya menyiratkan kelegaan di antara kacau. sunwoo mengambil tempat di sebelah changmin, menjatuhkan kunci mobilnya ke atas meja.

“gimana?” tanya sunwoo.

“apanya-” balas changmin lemah.

“lo. udah tenang belum?”

changmin perlahan menegakkan badannya, menyandarkan punggung pada kursi sebelum memijat pelipisnya karena pening.

“nu,” panggil changmin. “lo berapa kali liat kak younghoon di rumah chanhee?”

dihadiahi pertanyaan yang tiba-tiba alih-alih menjawab pertanyaannya lebih dulu, sunwoo tahu changmin sedang tidak dalam kondisi yang stabil. ia menghela napas, melipat tangannya sembari mengingat.

“empat... lima kali, mungkin? gue lumayan sering ke tempat kak chanhee.”

sunwoo melirik changmin yang kini terlihat seperti siap untuk menumpahkan air mata.

“kak,” panggil sunwoo segera. “gue bisa nyamperin mereka kalo lo mau. maksud gue- gue juga lumayan deket sama kak chanhee.”

changmin tidak menjawab.

“tanpa bermaksud ikut campur masalah lo,” tambah sunwoo. “gue bisa nanya ke dia, mungkin? apa gimana? lo mau gue gimana?”

changmin masih menatap botol air mineral di depannya, menggeleng pelan.

“nu, gue apa bego banget ya? mereka padahal orang yang deket sama gue. tapi gue bisa nggak tahu.”

sunwoo membiarkan changmin untuk memproses semuanya, menjernihkan pikirannya terlebih dahulu sebelum memutuskan apa yang harus dilakukan.

sepuluh menit berlalu sebelum changmin membuka suara lagi.

“mana tadi gue pake segala kepleset pas mau ke sini. sialan emang.”

changmin mengusap celana bagian lututnya yang terkena noda tanah. mau tak mau sunwoo tertawa kecil.

“bukan hari baik lo, kayaknya,” celetuk sunwoo. “lo tadi ke sini naik apa? mau gue anterin pulang, nggak?”

changmin mendesah kesal. “lo lagi free, nggak? gue butuh hiburan.”

malam opening taman baca beberapa hari yang lalu.

“siapa?”

younghoon yang sedang menyandarkan dahinya di bahu chanhee mengangkat kepalanya. ingin tahu siapa yang mengirim panggilan ke ponsel chanhee.

“bukan siapa-siapa.” chanhee mengulurkan tangannya, menarik kembali kepala younghoon ke bahunya. sebelah tangannya sibuk mengetik balasan untuk seseorang di seberang sana.

setelah menekan kirim pada kontak bernamakan changmin, chanhee melempar ponselnya ke atas ranjangnya. kembali memfokuskan dirinya pada lelaki yang sedang mencari nyaman dalam pelukannya.

“chan,” panggil younghoon yang dibalas chanhee dengan gumam pelan. “apa gue lepas changmin aja ya, sekarang?”

“lo selalu ngomong gitu. tapi lo sendiri yang masih bertahan.”

younghoon terkekeh samar. “iya emang gue bego. gue kayak masih ngarep dia bisa bener-bener liat gue.”

chanhee menghela napas diam-diam. dan masih aja lo terusin.

“chan.” younghoon mengeratkan kedua lengannya yang melingkari pinggang chanhee. “gue minta maaf banget sama lo, gue selalu merasa bersalah gue harus seek comfort ke lo kayak gini. tapi rasanya capek, gue nggak tau harus lari ke mana lagi.”

chanhee terdiam.

“lo- kenapa sih masih mau gue repotin?”

“lo tau jelas kenapa,” ucap chanhee. younghoon melonggarkan pelukannya, namun sebelum ia sempat melepaskan diri chanhee sudah menariknya kembali dalam pelukan. “udahlah nggak usah dibahas.”

if i didn't care so much about you i also didn't want to do all this shit just for you.

“situ berhenti di situ.” changmin menunjuk ke arah pinggir jalan.

sunwoo mengikuti arah telunjuk changmin. ia tidak menemukan apapun selain tanah lapang dengan pohon-pohon besar menjulang.

“ada apaan di situ?”

“udah berhenti di situ aja.”

sunwoo akhirnya menuruti perintah changmin, membelokkan mobilnya pada jalan kecil menuju tempat yang penuh dengan pohon rimbun. ia mematikan mesin mobilnya setelah berhenti di dekat salah satu lampu jalan.

“sumpah ngapain ke sini, sih?” tanya sunwoo setelah keduanya keluar dari mobil. changmin mendahuluinya melangkah menuju bangku besi panjang yang anehnya tersedia di sana.

“di sini sepi,” jelas changmin setelah ia menghempaskan dirinya ke atas bangku.

sunwoo mengamati sekitar. tidak ada apapun selain pepohonan dan beberapa lampu di setiap sudutnya.

“lebih ke serem, sih.” ia mengikuti changmin duduk di bangku besi.

“gue mau nangis. dari kemarin gue mau nangis tapi susah,” keluh changmin.

sunwoo mengangkat alisnya. “ya- udah? nangis aja.”

changmin menghela napas, menundukkan kepalanya. beberapa detik kemudian terdengar isakan pelan. sunwoo seketika panik.

“kok nangis beneran sih, lo? jangan nangislah. gue nggak tau caranya nenangin orang nangis.”

changmin menoleh cepat ke arah sunwoo, bibirnya sudah mencebik.

“lo tuh ya- ah, udahlah. nggak jadi nangis gue.”

“dih?” sunwoo mengerutkan keningnya bingung. aneh banget sih, nih orang.

changmin menyandarkan punggungnya, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“nu.” suaranya teredam. “lo pernah nggak, nggak bisa move on dari orang lamaaa banget?”

terheran dengan pertanyaan changmin, sunwoo diam sejenak sebelum menjawab. “engga pernah. kenapa emang?”

changmin mendengus. “lucky you. gue... barusan sadar, kalo gue masih stuck sama satu orang yang udah ninggalin gue tiga tahun.”

“wah.” sunwoo menanggapi. “selamat?”

changmin tertawa ironis. “selamat. selamat karena gue telat banget buat sadar.”

sunwoo mengekor changmin untuk menyandarkan punggungnya pada bangku, menatap ke arah langit yang sudah menghitam.

“dan lo pacaran sama younghoon buat lupain dia?”

kalimat sunwoo lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan. changmin menyingkirkan tangannya dari wajah, memandangi langit malam tanpa bintang.

“parahnya lagi, gue nggak sadar udah nyakitin orang selama tiga tahun gue berusaha nyembuhin diri sendiri. i'm such a mess, nu.”

sunwoo bergumam. “but aren't we all?

kalimat sunwoo membuat changmin sedikit tersenyum. “bener sih.”

“jadi, yah- nggak usah terlalu keras sama diri sendiri. nggak ada orang yang sempurna. we fucked up, we failed. makanya kita bisa belajar jadi orang yang lebih baik.”

changmin menolehkan kepalanya ke arah sunwoo. “gue nggak tau lo orangnya bijak juga,” godanya.

“lo sih, belom kenal gue,” balas sunwoo enteng.

“iyaa deh nanti gue kenalan sama lo.” changmin kembali menatap ke arah langit.

hening untuk beberapa saat.

“terus, lo mau ngapain habis ini?” tanya sunwoo. “soal siapapun itu yang lo gamon-in, maksud gue.”

“hmm, apa ya? nggak tau, sih. orangnya udah punya pacar juga.”

sunwoo mengangguk paham. “seenggaknya lo udah bisa nerima perasaan lo sendiri. lebih lega, kan?”

“iya,” jawab changmin pelan.

“gue- kangen sama dia.”

sunwoo menoleh ke arah changmin yang masih bertahan di tempatnya. mobilnya sudah berhenti di depan rumah, namun changmin tak kunjung beranjak. ia mengikuti arah pandang changmin, menemukan seseorang yang bersandar pada kap mobilnya di depan pagar rumah changmin.

ia tahu itu bukan younghoon.

“mau- muter lagi, nggak?” sunwoo mengambil inisiatif.

changmin menggeleng. “nggak usah, nu. udah malem.” ia kemudian bergegas melepaskan sabuk pengaman, helaan napasnya kentara.

“gue anterin sampe pager?” tanyanya lagi yang dibalas dengan senyum tipis oleh changmin.

“gue nggak papa, makasih ya. kasih tau gue kapan lo ada waktu buat gue traktir.” changmin menepuk pelan lengan sunwoo.

“yaelah, gampang itu sih.”

setelah turun dari mobil sunwoo, changmin melambaikan tangannya sekilas. “udah sana buruan balik. hati-hati.”

sunwoo memandangi changmin dan seseorang yang sedang menunggu di depan rumahnya bergantian, memastikan sesuatu sebelum akhirnya ia menghidupkan kembali mobilnya.

changmin menatap mobil sunwoo hingga akhirnya hilang di ujung jalan. menghela napas pelan, ia berbalik menuju pagar rumahnya.

“ada apa, ju?” tanya changmin setelah satu tarikan napas untuk mengendalikan dirinya sendiri.

juyeon menegakkan punggungnya saat changmin datang menghampirinya.

“sori gue langsung ke sini. lo nggak bisa gue hubungin, chat gue juga nggak lo bales.”

changmin tidak yakin harus memberi tanggapan seperti apa. seharusnya juyeon sudah tahu.

“lo ngapain ke sini?” changmin berusaha untuk tidak terdengar terlalu dingin. tapi ini bukan waktu yang tepat, setelah semua yang changmin alami. ia hanya ingin sedikit waktu untuk menenangkan diri.

“gue cuma-” juyeon tampak ragu dengan kalimat yang akan ia ucapkan, berkali-kali ia mencoba membuka mulutnya. “changmin, gue perlu ngomongin apa yang udah terjadi waktu gue pergi. gue nggak tau apa itu yang bikin lo bersikap kayak gini ke gue sekarang. gue... mau minta maaf ke lo. for everything that happened back then, i really am sorry.

changmin menggigit bibirnya, ia tidak menyangka juyeon akhirnya akan membahas masalah ini. it actually triggers something in him.

“sebelum lo pergi kita juga bukan apa-apa kan, ju. jadi nggak usah minta maaf,” ucap changmin.

bohong.

i thought we were something, changmin. terus kenapa lo marah sama gue? lo bener-bener nggak mau ngasih kabar ke gue, kenapa?”

changmin memejamkan matanya sejenak. “juyeon, masalah ini masih penting ya buat lo?”

“masih,” sahut juyeon.

“ju, inget lo udah ada orang lain. masih penting?”

“iya.”

“kalo gue bilang gue masih stuck di tiga tahun lalu, lo mau apa?”

akhirnya terkatakan. juyeon sudah tahu dari chanhee, tapi mendengarnya langsung dari mulut changmin rasanya lebih memberi perih.

“kenapa lo nggak bilang...” ucap juyeon pelan.

“nggak penting gue bilang apa enggak.”

“penting, changmin,” bantah juyeon. “i still liked you but you were avoiding me, so i thought that maybe you hated me. and i have to move on with my life too. project taman baca itu, semuanya buat lo changmin. gue ngelakuin itu semata-mata buat lo, gue kira seenggaknya gue bisa ngumpulin sedikit harapan buat kita. tapi gue baru tau lo udah ada younghoon. lo beneran nggak mau ngeliat gue lagi.”

changmin menekan kedua matanya dengan telapak tangan, tidak sanggup mendengarkan kalimat yang dilontarkan juyeon. ia menahan sekuat tenaga tangis yang beberapa hari ini sulit untuk diluapkan.

“kenapa sih, ju- timing kita selalu nggak pas?” changmin berbisik lirih. “gue putus sama kak younghoon... tapi gue nggak mau lo ninggalin kak hyunjae. gue juga nggak minta lo buat ngelakuin itu.”

juyeon mengusap wajahnya lelah, mendengar setiap kata yang terucap dari changmin seperti menorehkan sayatan pada hatinya pelan dan dalam.

“sekalipun kita mau balik kayak dulu lagi rasanya nggak bakal sama. udah terlalu lama, ju. gue udah banyak berubah dan lo nggak tau. gue juga nggak tau gimana lo sekarang, gue cuma punya memori lo tiga tahun lalu.”

angin malam yang berhembus menusuk kulit mengingatkan keduanya akan malam yang sama tiga tahun silam. dan kali ini keduanya kembali harus menerima kekalahan untuk kedua kalinya. tapi siapa yang harus mereka salahkan?

hening untuk waktu yang sangat lama karena batin juyeon bertengkar dengan dirinya sendiri. seberapa besar inginnya untuk kembali pada changmin namun ia sadar ia tidak bisa melakukannya sekarang.

changmin merasa seseorang meremas hatinya saat juyeon akhirnya berucap di antara dinginnya malam yang memeluk erat keduanya. menyesakkan.

okay, i guess we have to really end it here. everything.

ada yang bilang, kalau seseorang hanya memikirkan konsep kebahagiaan tanpa pernah benar-benar berusaha untuk mengejarnya. dan itu egois.

kamu tidak bisa menunggu kebahagiaan datang jika kamu hanya terfokus pada ide bahagiamu tanpa kamu mengusahakannya. bahagia bisa datang di sela-sela kamu mengejarnya.

serta tidak ada kebetulan di hidup ini, hanya orang-orang yang saling mengambil keputusan. satu keputusan yang bisa mengubah jalan hidup yang lain. semuanya berhubungan. semuanya kembali lagi pada diri kita.

jadi di sinilah changmin, berusaha mengejar apa yang menurutnya benar. karena lebih baik ia gagal untuk meraih, daripada menerka-nerka hal yang tidak sempat ia lakukan.

ponselnya menunjukkan pukul sepuluh lebih beberapa menit. changmin hampir putus asa, langkah kakinya cepat ke sana kemari namun ia tidak menemukan yang dicarinya.

ia mencoba menghubungi, namun tidak ada jawaban. begitupun saat ia menghubungi chanhee dan kevin.

sepuluh lebih lima belas menit.

saat asa akhirnya terkikis dan menyusut perlahan, langkah kakinya pun melambat. changmin akhirnya terduduk di pinggiran area yang sepi. melesakkan wajahnya pada lengan yang terlipat.

lo bilang lo bakal nungguin.

cukup lama changmin berdiam. suara sayup-sayup yang memanggilnya tidak tertangkap telinga atas pikirannya yang gaduh.

“hei.” diiringi usapan pada bahu, membuat changmin mengangkat wajahnya. matanya mengerjap beberapa kali, berusaha mengembalikan fokus pikirannya.

”...juyeon?” gumamnya pelan. lebih kepada diri sendiri. ia mengecek lagi ponselnya yang menunjukkan pukul setengah sebelas.

“ini jam setengah sebelas...” ucapnya seakan juyeon tidak mempunyai jam sendiri.

yang sedari tadi berdiri di hadapannya mengulurkan tangan, mengajak changmin untuk berdiri. kemudian ia merengkuh tubuh kecilnya dalam dekapan.

“makasih udah dateng. makasih...” berkali-kali ucapan terima kasih dibisikkan juyeon pada telinga changmin.

changmin tidak mengerti apa maksud perkataan juyeon. ia hanya membiarkan lelaki itu mengurungnya dalam kedua lengan.

segera setelah juyeon menarik diri, ia berucap lagi. “gue cuma nganter hyunjae balik ke new york. dia dapet panggilan kerjaan di sana.”

“hah?” tidak ada respon lain yang bisa changmin berikan. pikirannya masih susah payah memproses satu persatu hal yang terjadi.

“changmin,” panggil juyeon, meraih tangan changmin untuk digenggam. “i can't lose you this way, gue belum bener-bener berusaha.”

changmin makin dibuat bingung namun ia juga tidak dapat memberi tanggapan yang berarti. jadi ia hanya mendengarkan.

“lo bilang, kalo lo udah berubah dan gue nggak ngenalin lo. karena udah terlalu lama. tapi, changmin-” juyeon menarik napasnya. “gue mau mulai lagi dari awal. gue mau kenalan lagi sama lo, gue mau lo kasih tau apa yang gue lewatin selama gue nggak ada. gue mau kenalan sama dunia lo yang sekarang, changmin.”

kalau dunia sebelumnya adalah hal yang mengerikan bagi changmin, mungkin karena ia belum cukup menyadari hal-hal kecil di sekitarnya. hal terkecil yang membuatnya masih membuka mata di esok hari, melakukan sesuatu yang disenangi, dan kembali menutup mata untuk menunggu hari esok.

harapan.

“jadi-” changmin menatap uluran tangan juyeon di hadapannya. “halo, kenalin nama gue lee juyeon.”

changmin memainkan gelas minumannya, berusaha mencerna informasi yang dilontarkan seseorang yang duduk di depannya. ia hampir bertanya kenapa juyeon sudah tidak bersama hyunjae tapi rasanya tidak pantas. bukan urusannya memang, tapi ia hanya berharap dirinya tidak terlibat.

“bukan gara-gara lo, kok.” seakan bisa membaca pikiran changmin, juyeon berucap. “pas dikabarin kalo dia harus ke new york buat kerjaan, dia bilang kalo gabisa harus ldr sama gue. he broke me up a month ago.”

i'm sorry,” ujar changmin pelan. juyeon mengibaskan tangannya, mengisyaratkan kalau dirinya baik-baik saja.

“tapi, lo- masih sayang sama kak hyunjae?”

pertanyaan mudah namun juga sulit untuk dijawab. changmin tidak mengerti, juyeon bisa saja belajar menyayangi hyunjae. atau siapapun di luar sana yang mungkin dalam konsep “kebetulan” akan menjadi pasangannya. juyeon menyayangi hyunjae, pada saat itu. pada masa mereka masih bersama.

tapi changmin lupa, dari awal juyeon berusaha mendatanginya kembali. dan saat inipun ia masih datang pada changmin. juyeon bisa belajar menyayangi orang lain, tapi kepada changmin ia tidak perlu melakukan itu. karena sedari awal changmin sudah menggenggam keseluruhan hati dan perasaannya.

sayang pada changmin itu perkara mudah. semuanya telah terjadi bahkan sebelum ia menyadarinya. bertahun-tahun yang lalu. belum berubah.

“changmin, masih inget kan omongan gue tadi?” enggan menjawab pertanyaan changmin, juyeon balik bertanya kepadanya. “gue mau kenalan sama dunia lo yang sekarang. tapi lo ngizinin nggak, gue masuk ke dunia lo?”

changmin tahu pertanyaan itu tak semudah kedengarannya. mengizinkan juyeon kembali masuk ke kisah hidupnya berarti mengizinkannya juga untuk mengukir memori pada lembaran ceritanya. but is he ready for that again?

namun changmin sadar, kalau ia tidak mau juyeon datang kembali ke kehidupannya seharusnya ia tidak datang ke bandara hari ini untuk menemuinya. dan di sinilah ia sekarang.

udara yang mengembun menjadi titik-titik air di permukaan gelas minuman changmin, mulai luruh membasahi meja. mengiringi keterdiaman changmin hingga akhirnya ia membuka suara.

“ju, dari lo liat gue di bandara tadi harusnya lo juga udah tau sih, kenapa gue mutusin buat dateng.”

dear, sunshine.

i wonder how many times i get so much happiness from merely seeing your smile. i wonder how many times i sent gratitude to the God for allowing you come into my life. maybe i took it for granted, for when you were away it finally hit me.

those three years were never easy for me. longing feeling sucks, but did you know that i was more afraid thinking about you never wanted to see me again? it is still scary even now. thinking about how you don't wanna hear my name is scary.

just like childhood memories, you too are precious to me. something that i don't want to lose, even if i am given bigger things. because you are the little happiness that all i have. one of many reasons i'm grateful to be born in this world, to meet you in the middle.

if you read past this, maybe you're already mine. maybe i can finally have you in my arms. and that only means i'll never lose my little happiness again. because i promise to myself not to make you sad anymore. but if i did, i want myself the one who will heal you. so you don't have to wander around looking for a shoulder to cry on. you can lean on me.

nothing last forever, that's one thing i know. but one thing you have to know, that i'm not one to give up easily. not on you. never on you. so i hope you will do the same. because i wanna be in this for a long time, i wanna be with you for the longest time.

you can read this letter again every time you feel anxious, to remind you how we start it all.

to the stars of my dark night sky, rainbow after the rain, sunlight to my sunflower

i love you.

opening taman baca, that night.

setelah mengirimkan pesan balasan pada changmin, sunwoo melepas sabuk pengamannya dan beranjak keluar dari mobil. saat ia mendorong pintu mobilnya, sebuah seruan terdengar dari luar.

“ah!”

sunwoo buru-buru turun dan mengecek siapa yang baru saja tak sengaja menabrak pintu mobil yang didorongnya tiba-tiba. seorang lelaki dengan kemeja warna kelabu kotak-kotak, dan semangkuk bakso di tangan. sebagian kuahnya sudah berpindah ke lengan dan bagian bawah kemejanya.

sunwoo tidak segera membantunya atau apapun, ia masih sibuk memandangi lelaki yang lebih pendek darinya itu. jujur saja sunwoo bukan tipe orang yang mudah tertarik pada penampilan seseorang, but this guy right here. this guy in front of him is definitely one of the most attractive men ever.

baru setelah sunwoo bertemu pandang dengannya, ia buru-buru meminta maaf.

“eh- sori, sori. gue nggak liat ada yang lewat tadi.”

walaupun terlihat agak kesal, mungkin karena baksonya yang tidak lagi utuh, lelaki itu melempar senyum pada sunwoo.

“nggak papa. lo mau ke taman baca, ya? tapi acaranya udah mau selesai.”

“engga, gue cuma mau jemput orang.”

“oh- siapa? siapa tau aja gue kenal.”

“changmin. lo kenal?”

“kak changmin? tau. dia yang main piano, kan?”

sunwoo tidak yakin soal itu jadi ia hanya mengangguk pelan.

“mau gue panggilin orangnya?” tawarnya.

“dia bilang udah mau ke sini, kok.”

“oke deh. kalo gitu gue ke dalem dulu, ya!”

sunwoo menatap punggung lelaki itu yang kian menjauh, kemudian ia berseru tiba-tiba.

“sori ya, udah bikin tumpah kuah bakso lo!”

yang diteriaki menoleh sebentar, memberikan tanda baik-baik saja dengan tangannya.

“gapapa!”

sebenarnya eric sudah tidak ingat bagaimana tampang sunwoo, jadi ia akhirnya datang ke sini hanya sekedar gambling. ia bahkan tidak yakin kalau sunwoo masih bertahan di situ.

namun baru saja ia menginjakkan kaki di lokasi, matanya sudah menemukan seorang lelaki yang duduk sendirian dengan dagu yang diletakkan di atas meja, bermain dengan ponselnya. eric perlu memastikan itu benar-benar sunwoo sebelum mendekatinya, jadi ia menghubungi nomor sunwoo dan melihat lelaki itu melebarkan matanya saat menerima panggilan dari eric.

“sunwoo.” eric sudah berdiri di depan sunwoo, memutus panggilan yang masih tersambung. kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.

yang dipanggil terlihat kaget, karena kalau ditelusur lagi ini pertama kalinya ia bertemu dengan eric setelah berbulan-bulan yang lalu. he's obviously nervous.

“eh, ric. gue kira lo nggak jadi ke sini.”

tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan sirat bahagia, eric jadi sedikit merasa bersalah. ia mengambil tempat untuk duduk di hadapan sunwoo.

“iya. sori ya, gue pikir lo nggak bakal beneran ke sini abis kemarin gue nggak dateng.”

“kan gue mau ketemu lo, sama ngasih ini.” sunwoo mengambil bungkusan rapi dari dalam tasnya, memberikannya pada eric.

eric menerima bungkusan tipis yang ia yakini berisi kemeja sebagai ganti kemejanya dulu yang terkena kuah bakso. ia tertawa geli dalam hati. ada ada aja sih nih orang.

thanks.”

sunwoo mengangguk singkat. tidak ada percakapan lagi di antara keduanya, jadi sunwoo dengan canggung angkat bicara.

“lo nggak pesen minum?”

“hmm, lo cuma mau ngasih ini doang kan? gue mau langsung balik aja sih.”

jangan balik dulu! keluh sunwoo dalam hati tapi semua skenario percakapan yang sudah direncanakannya juga seakan lenyap dari ingatan. menangkap ekspresi sunwoo, eric menyeringai geli. akhirnya ia mendesah pelan, bangkit dari kursinya.

“ya udah tunggu, gue pesen dulu.”

“oh, oke.” sunwoo menjawab singkat. baru setelah eric berbalik, ia mengepalkan tangannya sambil berseru pelan.

biasanya eric hanya sekedar lewat, atau memandangi warung-warung yang berjajar di pinggir jalan tiap malam saat ia kembali dari berkumpul dengan teman-temannya. pernah ia mengajak mereka untuk mampir, tapi sebagian besar temannya menolak dengan alasan kebersihan yang tidak terjamin atau tidak cocok dengan pilihan menunya. jadi eric juga terpaksa mengurungkan niatnya.

“pesen apa aja sesuka lo, ric,” ujar sunwoo.

eric memberi anggukan singkat pada sunwoo yang beranjak menyapa si pemilik warung. agaknya mereka sudah akrab karena pemilik warung yang mungkin hanya berbeda beberapa tahun dari sunwoo mulai membercandainya, menggoda sunwoo yang biasanya datang hanya seorang diri.

sunwoo menjatuhkan dirinya di sebelah eric yang sudah duduk di gelaran tikar, menaruh dua gelas es teh.

“lo nggak papa minum dingin?” tanya sunwoo. “ada jahe anget loh, kalo mau.”

eric menggeleng. “nggak papa, rasanya kurang kalo nggak minum es.”

sunwoo mengangkat bahunya enteng, mulai membuka nasi bungkusnya. eric yang sudah memakan setengah porsi nasinya diam memandangi sunwoo.

“kenapa?” tanya sunwoo. “nggak enak, ya?”

“enak kok,” sahut eric. “gue malah pengen nambah.”

sunwoo tertawa kecil. “nambah aja, gue ini yang bayar.”

“nu, lo sering ya ke sini?”

“hmm- lumayan. seminggu sekali dua kali pasti gue mampir ke sini, sih,” jawab sunwoo. “kenapa emangnya?”

“pantesan aja lo akrab sama masnya yang jual,” celetuk eric.

“ooh, iya temen gue sih itu.”

eric membulatkan bibirnya, mengangguk kecil. sebelum mulai melanjutkan makannya kembali.

memang benar si pemilik warung adalah teman sunwoo, karena saat mereka pamit untuk pulang ia berkomentar pada eric.

“oalah ini toh gandengannya sunwoo. eh, mas kok mau sih sama sunwoo?”

yang tak sempat eric tanggapi karena sunwoo sudah menyuruh temannya untuk diam dan menarik eric keluar menuju motornya.

hari itu eric bahagia. paling bahagia di beberapa hari terakhir, mungkin. walaupun ia masih belum bisa membaca apa yang terselubung, namun ia ingin mengabaikannya sekali ini saja.

“nu, kapan-kapan ke situ lagi ya?” pinta eric pada sunwoo yang fokus mengendarai motornya, diam-diam tersenyum dari balik helmnya.