purplish

“Ada urusan apa cari saya?”

Baru saja Juyeon menjatuhkan dirinya di atas kursi, lelaki di depannya itu sudah menodongnya dengan pertanyaan.

“Nggak mau pesen minum dulu, apa?” protes Juyeon sambil membolak-balik buku menu. Mencari minuman dengan harga paling minimum.

“Udah saya pesenin. Langsung ke intinya aja, Juyeon,” desak Sangyeon tidak sabar. “Saya nggak punya banyak waktu.”

Juyeon mendenguskan kekesalannya. Sok sibuk amat.

“Lo pasti gini juga ke Changmin. Nggak pernah ada waktu,” gumam Juyeon tanpa menyadari sepasang mata Sangyeon yang menyipit tajam mendengar celetukan Juyeon.

“Oke, deh. Gini.” Juyeon memukul pelan permukaan meja dengan telapak tangannya. “Lo kemarin yang nyuruh buat nutup studio, kan?”

Sangyeon memilih untuk tidak menjawab pertanyaan retoris itu, membiarkan Juyeon untuk melanjutkan ucapannya.

“Ngerti, nggak, itu bukan hak lo?”

“Jelas sepenuhnya hak saya.” Kali ini Sangyeon menanggapi dengan tandas. “Nggak usah pura-pura bodoh, kamu mengganggu apa yang jadi milik saya. Saya jelas punya hak buat bertindak sesuatu. Itu studio yang kalian pake, ada duit saya juga di situ. Walaupun emang Hyunjae yang ngasih semuanya ke kalian.”

Juyeon mengangguk-angguk lambat mendengar penuturan Sangyeon, merasa geli sekaligus heran. Ia lalu melipat kedua tangannya sembari menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi.

You are so pathetic. Lo pernah mikir, nggak, kenapa Changmin deket sama gue? Kenapa dia ngerasa nyaman sama gue?” tanya Juyeon.

Sangyeon menarik senyum tipis seakan-akan kebanggaan yang dilontarkan Juyeon hanyalah seperti kesombongan oleh anak kecil. Ia terpaksa menjeda kalimatnya saat pesanan minuman datang ke meja, lalu mengisyaratkan Juyeon untuk minum.

“Changmin itu...” ucap Sangyeon setelah dirinya menyeruput sedikit minumannya. “Gampang luluh sama orang-orang yang baik sama dia. Diperlakuin manis dikit juga dia udah tunduk. You are not special, Juyeon.”

Ada rasa marah yang mulai membakar hati Juyeon. Tidak sudi Changmin dianggap seperti itu oleh orang yang statusnya adalah pacar Changmin sendiri. Bagaimana bisa kalimat yang merendahkan itu muncul dari mulutnya?

“Lo jangan ngomong sembarangan soal Changmin, bangsat,” desis Juyeon geram. Tangannya sudah mengepal siap untuk melayangkan hantaman kalau saja dirinya tidak bisa menahan diri.

“Terserah kamu aja kalo memang masih nganggep Changmin bener-bener ada rasa sama kamu. Coba kamu pikir, kenapa dia nggak milih sama kamu aja waktu saya minta dia buat nggak ketemu lagi sama kamu?”

“Lo ngancem buat nutup studio, bego! Changmin itu nggak egois, nggak kayak lo.” Emosi yang ditahan Juyeon akhirnya tumpah. “Tau, nggak, siapa yang nyuruh gue buat mertahanin studio? Changmin lebih milih mikirin gue daripada perasaannya sendiri. Padahal gue nggak perlu studio dari adek lo itu. Bukan gara-gara dia lebih milih lo!”

Sangyeon tak bergeming saat cowok di depannya itu meledak. Namun ekspresinya cukup menyiratkan ada sesuatu yang berputar dalam pikirannya.

“Kenapa lo nggak mutusin Changmin aja, sih? Hah?” cecar Juyeon. “Dari cara lo memperlakukan Changmin kayaknya lo udah nggak sayang, tuh, sama dia?”

“Saya masih butuh Changmin,” sahut Sangyeon cepat. Juyeon menautkan alisnya rapat-rapat semakin tidak mengerti. “Saya butuh seseorang yang bisa bikin saya inget kalo saya masih punya kebebasan. Dan orang itu Changmin.”

“Kebebasan as in lo bisa ngelakuin apa aja ke Changmin sebagai objek lo?” Juyeon menggeram murka, dan semakin hebat rasa marahnya ketika Sangyeon tak memberi jawaban. Seakan membenarkan dugaan Juyeon.

“Lo bajingan banget,” desis Juyeon dengan suaranya yang rendah. “Lo liat aja, gue pastiin Changmin bakal lepas dari orang manipulatif kayak lo.”

Sangyeon mengangkat bahunya enteng. “Silahkan. Tapi saya nggak yakin Changmin bisa minta putus ke saya.”

Juyeon bangkit dengan cepat dari duduknya, menatap tajam pada Sangyeon dengan napasnya yang memburu. Sesaat sebelum ia membawa langkah kakinya pergi meninggalkan tempat itu, ada satu hal yang diucapkannya.

“Nanti saat lo kehilangan Changmin, lo juga bakal kehilangan semuanya yang nggak akan bisa digantiin sama apa yang lo punya sekarang. And when that time comes, you will fucking understand.

“Juyeon, ngapain ke sini?” Changmin berbisik rendah sambil berusaha membukakan pintu gerbang kosnya untuk cowok yang datang dengan sepeda motornya itu.

Juyeon hanya menurut ketika Changmin menariknya cepat menuju kamarnya dan mengunci pintunya. Baru setelah sampai di dalam, Juyeon mendudukkan diri ke atas kasur Changmin yang terletak di lantai kamar. Changmin menatapnya dengan bingung.

“Ju? Lo nggak pa- astaga, tangan lo kenapa??”

Terkesiap Changmin langsung bersimpuh di hadapan Juyeon yang membiarkan kedua telapak tangannya diraih oleh Changmin. Goresan luka serta lecet kemerahan menghiasi buku-buku jarinya. Melihat luka-luka itu Changmin menghela napas.

“Gue abis main drum,” ujar Juyeon singkat.

“Latihan buat acara besok? Tapi nggak usah sampe kayak gitu juga, Ju,” komentar Changmin yang kini sedang sibuk menggeledah raknya untuk mencari plester luka. Begitu ia menemukannya, ia kembali pada Juyeon untuk segera merawat tangannya.

“Bukan buat latihan.”

“Terus?” tanya Changmin sembari membalutkan satu persatu plester pada tiap ruas jari Juyeon yang terluka dengan telaten.

“Lo tau film Whiplash, nggak?”

Changmin menggelengkan kepalanya, masih terfokus merawat tangan Juyeon. Namun tetap dilontarkannya tanggapan basa-basi. “Itu film apa?”

Juyeon mengamati bagaimana Changmin dengan hati-hati sekali membalut lukanya dengan plester. Ia lalu menjawab.

“Karakter utama di film itu pengen jadi drummer yang hebat. Dia ketemu sama seorang mentor yang cara ngajarnya nggak biasa. Maksa dia buat melebihi batasan. Even destroying him psychologically.

Changmin perlahan mengangkat wajahnya setelah ia selesai membalut semua luka di tangan Juyeon. Ia baru menyadari betapa sepasang mata Juyeon memancarkan sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.

“Gue ngegebuk drum selama mungkin, sekuat mungkin. Sama kayak yang dilakuin karakter utama di film itu,” lanjut Juyeon. “Dia ngelakuin itu atas dasar kesempurnaan. Tapi gue- gue main gila-gilaan karena gue nggak tau gimana cara nyalurin rasa marah gue tanpa bikin hancur orang lain.”

Tangan yang penuh dengan plester luka itu sudah menggenggam kedua tangan Changmin dengan begitu kuat. Ia menatap ke dalam mata Changmin tajam.

“Changmin... lo tau kalo gue bakal selalu ada buat lo, kan? Apapun yang terjadi, gue bakal selalu di sini.”

Meski dipenuhi perasaan bingung dan was-was atas kalimat Juyeon, dengan sedikit ragu Changmin mulai menganggukkan kepalanya.

Juyeon menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Diketatkannya sekali lagi genggaman tangannya pada Changmin sebelum mengucap sesuatu yang dengan sungguh-sungguh ia pertimbangkan sebelumnya.

“Yang lo takutin waktu itu bener... I'm sorry, Changmin...”

Butuh beberapa detik bagi Changmin untuk bisa benar-benar memahami ucapan Juyeon. Keningnya berkerut pada awalnya, lalu sepasang matanya perlahan melebar seiring informasi yang mulai dicerna otaknya semakin jelas.

Kemudian ia merasa kosong.

Juyeon menarik Changmin ke dalam pelukannya dan mendekapnya erat. Diusapnya kepala Changmin berkali-kali dan pada saat itulah ia baru mendapatkan jiwanya kembali. Sebutir air mata akhirnya meluncur turun.

Menit demi menit terlewat tanpa ada yang memecah suara. Hanya Sangyeon yang masih setia menunggu Changmin untuk mengucap sesuatu. Saat pacarnya itu tak kunjung membuka mulut, Sangyeon berdecak pelan sebelum mendekatkan wajahnya pada Changmin.

“Mau ngomong apa nggak?” desak Sangyeon. “Kalo kamu nangis terus begini, sampe besok juga nggak bakal selesai.”

Changmin semakin menautkan kesepuluh jarinya lantaran rasa takut dan sesak yang memenuhi dadanya. Ia mencoba membuka mulutnya untuk melontarkan kalimat meskipun dengan volume suara yang amat pelan.

“Aku udah bilang... aku mau putus...”

“Iya, aku tau.” Sangyeon menyahut dengan cepat, membuat tubuh Changmin tersentak kecil tiap kali cowok itu meninggikan suaranya. “Terus aku tanya alasannya apa? Dari tadi aku mau denger jawabannya dari kamu.”

Entah mengapa rasanya begitu susah untuk mengucapkannya. Mungkin akan terasa sangat sakit saat Changmin berhasil melontarkannya dan menangkap sekilas reaksi dari Sangyeon yang akan membenarkan semuanya. Changmin takut menerima kenyataan di depan matanya sendiri.

“Kalo kamu nggak bisa jawab berarti kamu sendiri nggak yakin. I won't take this seriously if you take back what you said. Kamu masih sayang sama aku, kan? Hm?”

Changmin terisak lagi ketika Sangyeon mengelus pipinya lembut.

You're cheating on me.

Tangan Sangyeon yang bergerak untuk mengelus pipi Changmin seketika terhenti. Ia menghela napas pendek menunjukkan rasa kesalnya atas tuduhan yang tiba-tiba dilemparkan padanya.

“Ngomong sekali lagi,” perintah Sangyeon.

“Kakak... punya pacar selain aku...” ucap Changmin terbata-bata.

Brakkk!!!

Suara benda-benda yang terjatuh ke lantai lantaran tangan Sangyeon yang menyapu seluruh permukaan meja dengan cepat. Beberapa hampir mengenai Changmin jika ia tak segera menghindar.

“Lancang banget kamu ngomong kayak gitu!?” bentak Sangyeon. “Kamu pikir pantes nuduh Kakak sembarangan??”

Changmin menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menangis keras di sana.

“Aku selingkuh?” sindir Sangyeon tajam. “Sama siapa, Changmin? Bukannya kamu yang selingkuh terang-terangan sama Juyeon?”

“Kak Jacob!!” Changmin akhirnya memekik kencang. Sesak di dadanya tak dapat ditahannya lagi. Sesak yang harus ditanggungnya sendiri selama beberapa tahun ini.

Sangyeon berdecak keras atas satu nama yang terucap dari mulut Changmin. Secepat kilat ia menarik tangan Changmin agar terbebas dari menutupi wajahnya, dicengkramnya kuat-kuat.

“Udah berapa kali, sih, aku bilang sama kamu kalo Jacob itu partner kerja aku? Sampe bosen aku bilangnya! Kamu nuduh kayak gitu padahal kamu nggak punya bukti, kan!?”

Changmin berusaha meloloskan tangannya yang masih ditahan dengan kuat, namun usahanya gagal. Isakannya semakin menjadi.

“Sebutin! Sebutin kenapa kamu bisa ngira aku selingkuh sama Jacob?” lontar Sangyeon nyaring, cengkramannya menguat.

“Kak- sakit...” lirih Changmin. Satu tangannya berusaha melepas genggaman kuat tangan Sangyeon pada pergelangan tangannya.

“Kasih tau aku dulu alesannya,” desak Sangyeon. “Atau nggak bakal aku lepasin.”

Changmin menggelengkan kepalanya pelan. “Mama Kakak selalu ngomongin Kak Jacob di depanku, dia pasti lebih pengen Kakak jadinya sama Kak Jacob. Bukan sama aku. Kakak juga sering salah nyebut namaku, Kakak bilang itu nggak sengaja. Tapi sebenernya itu karena Kakak udah kebiasa sama Kak Jacob, kan?”

Rahang Sangyeon mengeras seiring kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Changmin. Sepasang matanya mulai memerah.

“Kalo Kakak udah nggak sayang sama aku,” lanjut Changmin. “Kenapa masih pacaran sama aku?”

Mengucapkannya sama saja memberi torehan luka pada hatinya sendiri. Namun Changmin tidak bisa lagi terus menutup mata. Mungkin memang sudah lama Changmin kehilangan Sangyeon, dan ia terlambat untuk menyadarinya. Ia terlambat untuk mengakuinya.

Suara gedoran pintu yang keras berkali-kali membuat keduanya menolehkan kepalanya cepat ke arah pintu kamar Changmin yang dikunci dari dalam.

“Buka pintunya, Changmin! Ini gue.”

Jantung Changmin rasanya memompa berkali lipat lebih cepat saat ia mengenali suara itu. Kenapa cowok itu kemari?

“Itu siapa?” desis Sangyeon melihat perubahan pada raut wajah Changmin.

Changmin menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Suruh dia pergi,” perintah Sangyeon lantas melepaskan cekalan tangannya. Terburu-buru Changmin bangkit menuju pintu untuk membukanya.

“Ju-” Rupanya tak hanya Juyeon namun juga Sunwoo sudah ada di depan pintu kamarnya. Changmin melebarkan matanya resah.

Tanpa meminta izin pemilik kamar, Juyeon membuka daun pintu lebar-lebar dan merangsek masuk. Ia menemukan Sangyeon yang sudah berdiri di sudut dengan tatapan yang menyimpan murka melihat siapa yang datang.

Tanpa aba-aba, satu pukulan kencang menghantam bagian depan wajah Sangyeon hingga cowok itu terhuyung dan menabrak tembok di belakangnya.

“Juyeon!” pekik Changmin keras. Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan tak menyangka atas aksi yang baru saja dilakukan cowok itu dengan nekat. Changmin hampir melangkahkan kakinya untuk menghampiri mereka berdua saat dirinya ditahan oleh Sunwoo.

“Kak, jangan ke sana. Biarin aja.”

Pukulan yang diayunkan Juyeon rupanya cukup kencang hingga darah segar menetes dari hidung Sangyeon, segera diseka dengan kasar sembari dirinya bangkit dan sebelum Juyeon sempat membaca gerak-geriknya cowok itu langsung membalasnya dengan hantaman kuat yang mengenai rahang.

Tidak hanya sekali, dua kali, tiga kali. Berkali-kali. Juyeon tersungkur di lantai sambil berusaha melindungi kepalanya dengan lengan.

“Kak, udah!” Changmin akhirnya berlari menghampiri Sangyeon dan menahan tangannya kuat-kuat agar tak lagi memukuli Juyeon.

Sangyeon berbalik menatap Changmin dengan matanya yang nyalang. “Kamu yang nyuruh dia ke sini!?”

“Nggak, Kak... Udah... Juyeon nggak salah apa-apa, jangan dipukul lagi...” pinta Changmin sungguh-sungguh.

Sunwoo menarik Juyeon hingga bangkit dan menopangnya berdiri sebelum Sangyeon kembali menyerangnya. Yang dibantu berdiri serta-merta membebaskan dirinya, kembali mendekat pada Sangyeon dan menatap wajahnya lekat-lekat.

“Lo lepasin Changmin,” bisik Juyeon rendah. “Atau gue nggak segan ngabisin lo di sini juga.”

“Juyeon!” Sekuat tenaga Changmin mendorong Juyeon mundur. “Ini urusan gue sama Kak Sangyeon. Lo nggak usah ikut campur!”

Juyeon berusaha menetralkan emosinya, suaranya melunak saat ia bertanya pada Changmin. “Lo nggak papa? Lo diapain aja sama dia?”

“Gue nggak papa,” jawab Changmin cepat. “Lo balik aja, please...”

Tubuh Changmin terdorong ke samping seiring Sangyeon yang melangkah semakin dekat ke arah Juyeon. Changmin tahu cowok itu sudah sangat marah dan ia tidak mau Juyeon menjadi sasarannya. Tapi Juyeon benar-benar keras kepala.

“Apa?” tantang Juyeon. “Lo denger nggak, tadi? Lepasin Changmin. Cheater motherfucker.

Kening Sangyeon seketika berkerut dalam mendengar umpatan yang dilemparkan Juyeon.

“Bilang apa kamu!?”

Juyeon segera menyenggol Sunwoo untuk mengeluarkan ponselnya. Gelagapan Sunwoo merogoh ponselnya dari saku belakang celana lalu buru-buru dibukanya percakapan dengan pacarnya tempo hari.

“Pacar gue. Chanhee. Dia sepupunya Jacob,” ucap Sunwoo tegas sambil menunjukkan layar ponselnya pada Sangyeon. “Ring a bell?

Juyeon tahu kemenangan ada di pihaknya saat ditangkapnya ekspresi Sangyeon yang sekilas menampilkan panik.

“Lo mungkin nggak kenal sama gue, Bang. Tapi lo pasti kenal sama Chanhee, kan? Mau gue telfonin sekarang?”

Sangyeon menguatkan rahangnya, giginya bergemeretak menahan amarah yang semakin membumbung di dadanya. Ia sangat mengenal Chanhee. Beberapa kali ia pergi bersama Jacob ia pasti sempat bertemu sepupunya itu dan akhirnya Jacob mengenalkannya juga.

“Changmin, aku nggak ada apa-apa sama Jacob. Percaya sama aku.” Sangyeon tiba-tiba berusaha meyakinkan Changmin yang tentu saja sudah kehilangan kepercayaannya, hanya bisa menatap Sangyeon dengan pilu di matanya.

“Buruan cabut dari sini dan jangan pernah gangguin Changmin lagi. Atau gue panggil Chanhee sekarang juga ke sini,” ancam Juyeon.

Merasa situasinya tidak menguntungkan, Sangyeon akhirnya memilih untuk tidak membela dirinya lebih lanjut. Sebagai gantinya ia berbisik tajam pada Juyeon tepat pada satu telinganya.

“Saya tutup permanen studio latihan kamu. Dan saya bakal pastiin karir band kamu hancur.”

Setelah mengucapkan itu, Sangyeon menoleh ke arah Changmin sekali lagi sebelum benar-benar pergi meninggalkan kos Changmin. Helaan napas dihembuskan oleh ketiga orang yang masih tersisa di dalam kamar.

Changmin seketika ambruk ke lantai lantaran badannya yang terasa lemas seperti nyawanya dicabut paksa. Ia kemudian ditarik ke dalam kungkungan dua lengan Juyeon yang terus-terusan mengusap punggungnya dan menciumi puncak kepalanya.

It's over... It's all okay now...

Younghoon tak luput memperhatikan Juyeon yang terlihat lebih gugup selang beberapa saat giliran mereka untuk tampil di atas panggung. Dan ia sangat tahu apa yang membuat temannya seperti itu.

“Udah, nanti juga pasti dateng,” tenang Younghoon, merangkul Juyeon dengan sebelah tangannya. “Telat dikit mungkin.”

Juyeon menarik napas lalu menghembuskannya cepat melalui mulutnya sebelum mengangguk untuk meyakinkan dirinya sendiri. Namun ucapan Younghoon maupun pikirannya yang berusaha meyakinkan bahwa Changmin hanya sedikit terlambat tidak mampu menenangkan batinnya kala sepasang matanya tetap tak menangkap sosok Changmin di antara penonton yang masih bisa dihitung itu.

Mungkin karena hari ini adalah hari yang begitu penting bagi Juyeon, absennya Changmin dapat membuatnya begitu kecewa. Tetapi konyolkah alasannya untuk merasa kesal hanya karena Changmin tidak dapat datang hari ini?

Butterfly Effect menyelesaikan lagu kedua dan Juyeon tetap tak menemukan wajah Changmin di antara wajah-wajah yang dihiasi senyum lebar menonton aksi panggung mereka. Harapannya sudah semakin pupus.

Suara Sunwoo yang memberitahukan penonton bahwa mereka akan menutup penampilan kali ini dengan lagu ketiga terdengar samar di balik kerasnya suara-suara dalam kepala Juyeon, menyuruhnya untuk menelan kekecewaan. Dalam hitungan ketiga tangan Juyeon kembali menggebuk drum, memulai lagu penutup mereka hari ini. Dan merelakan ketidakhadiran seseorang yang amat sangat diharapkannya.

Hold up Hold on Don't be scared You'll never change what's been and gone

May your smile Shine on Don't be scared Your destiny may keep you warm

'Cause all of the stars are fading away Just try not to worry, you'll see them someday Take what you need, and be on your way And stop crying your heart out


Efek yang masih sama seperti terakhir kali Changmin melihat cowok itu. Gemetar yang tiba-tiba menyelimuti badannya saat sosok yang baru turun dari mobil melangkah semakin dekat ke arahnya.

Suaranya hampir tak terdengar saat Changmin memohon dengan sangat, kedua tangannya mencengkram tali tasnya dengan erat. “Kak, aku mau pergi...”

Kali ini Sangyeon tidak berusaha mengulurkan tangannya untuk menyentuh Changmin. Ia masih teringat pesan dari Jacob semalam.

Only talking.

“Sebentar aja.”

“Aku udah telat banget, Kak.” Changmin melirik ke arah kamar Kevin yang masih tertutup rapat. Tidak dapat meminta bantuan.

Sangyeon menunggu hingga Changmin benar-benar melihat ke arahnya dan mengunci tatapannya dengan sepasang iris matanya. Seakan memohon melalui sorotnya.

Just this once, and I won't disturb you again. Ever.

Kalimat itu terasa sulit terlontar dari bibir Sangyeon. Ini pertama kalinya ia merasa sangat gelisah berbicara dengan Changmin. Dan mungkin Changmin merasakan perbedaan itu pada mantan pacarnya hingga akhirnya ia menyerah dan memberikan cowok itu kesempatan untuk berbicara.

Entah apa yang membuat Sangyeon perlu mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan ini pada Changmin. Kenyataan bahwa ia mungkin benar-benar telah kehilangan Changmin menikamnya tepat di ulu hati.

“Aku mau minta maaf dulu sama kamu,” ucap Sangyeon pelan. “Aku bener-bener minta maaf. Aku bahkan nggak tau mau mulai dari mana tapi aku udah banyak nyakitin kamu, kan, Changmin?”

Hati Changmin serasa diremas dengan kuat. Ia tidak ingin menumpahkan air mata di sini, di depan seseorang yang sudah menghancurkannya.

“Aku sadar sikapku ke kamu berubah beberapa tahun belakangan dan itu karena aku semakin yakin aku bener-bener nggak bisa ngebantah perintah Papa sama Mama. Pada akhirnya aku nyerah sama kenyataan kalo aku memang salah satu dari mereka, aku nggak bisa lepas dari itu. Lebih gampang buat nyerah dan ngejalanin apa yang disebut normal oleh mereka daripada berusaha keluar dari kurungan, Changmin.”

Changmin memperhatikan Sangyeon yang menekan keningnya dengan kuat, berusaha menumpahkan semuanya. Melihat rapuhnya dengan kedua matanya sendiri seperti ini rasanya aneh. Biasanya ia yang selalu merasa lemah dan rendah di hadapan Sangyeon.

“Kamu tau kenapa aku sering sama Jacob di saat seharusnya aku ngasih waktu aku buat kamu?” Sangyeon melempar tanya yang kemudian ia beri jawaban yang selama ini berusaha Changmin cari. “Aku pengen lupa kalo aku punya kamu. Aku pengen lupa kalo aku pernah ketemu sama kamu dan ngelakuin hal-hal yang aku pengen.”

“Terus kenapa kamu nggak mutusin-”

Because I'm so freaking selfish, Changmin,” sahut Sangyeon tajam. “Udah berkali-kali Jacob bilang ke aku buat mutusin kamu kalo aku terus-terusan memperlakukan kamu kayak gitu. Tapi aku belum bisa, aku nggak bisa. Aku pengen nahan kamu sampe tanganku udah bener-bener gabisa megangin kamu lagi.”

Changmin mengerjapkan matanya yang mulai terasa panas. “You should've treated me better.

Sangyeon tak menjawab apapun, tak mampu menatap Changmin tepat di manik matanya lagi. Penyesalan dan rasa bersalah semakin membebani pundaknya.

“Walaupun kamu tahu kita nggak bakal berakhir bareng-bareng, harusnya kamu tetep memperlakukan aku dengan baik. Harusnya waktu yang kamu punya itu bisa dipake buat ngelakuin hal-hal yang kamu pengen, yang nantinya nggak bisa kamu lakuin lagi setelah nggak ada aku. Kamu, tuh, cuma nyakitin diri sendiri pelan-pelan, Kak. Dan ngebiarin aku buat ngerasain sakit itu juga.”

Sangyeon menyadari itu semua dari bawah sadarnya namun ia memilih mengabaikannya. Karena menurutnya akan lebih mudah untuk segera menyerahkan diri pada keadaan yang menuntut hidupnya untuk mematuhi aturan yang sudah ada ketimbang membiarkan dirinya bebas memilih jalan hidupnya sendiri. Masih ada rasa berat untuk memilih orang lain daripada keluarganya.

“Kakak beneran sama Kak Jacob, kan?” cetus Changmin beberapa saat kemudian. “Karena dia yang dapet persetujuan dari orangtua Kakak. Dan menurut Kakak itu jalan yang paling gampang buat hidup Kakak.”

Diamnya Sangyeon sudah cukup memberi jawaban untuk Changmin, ia tidak perlu penjelasan apapun lagi. Sekarang semua risau dan tanya yang selalu menghantui pikirannya telah bertemu jalan pulangnya. Meski rasanya tentu saja sakit mengetahui kenyataan bahwa alasan Sangyeon melakukan ini semua adalah untuk melindungi egonya sendiri, tanpa mempedulikan perasaan Changmin namun ia tahu setiap orang memiliki pertarungannya masing-masing. Changmin bersyukur ia telah bertemu seseorang yang menariknya dari lingkaran rumit yang tak berkesudahan itu.

Dan ia harus menemui seseorang itu sekarang.

Sangyeon akhirnya memutuskan untuk kembali setelah ia yakin sudah mengatakan apa yang perlu ia sampaikan pada Changmin. Kalimatnya sebelum ia benar-benar melangkah meninggalkan Changmin sempat membuat cowok itu membeku di tempatnya.

I never really dated Jacob, Changmin. And I did love you at some point in our relationship. I think you deserved to know that.


Last Stage: Nyium pacar-wait, scratch-mantan orang

Menuruni satu persatu tangga yang menghubungkan panggung dengan backstage, kaki Juyeon terhenti pada anak tangga terakhir. Penyebabnya adalah seseorang yang berdiri di depan sana, lengkap dengan senyum manis dan lesung pipi yang membuat Juyeon menjatuhkan pemukul drumnya tanpa sadar.

Perlahan Juyeon melanjutkan langkahnya untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan sekedar khayalannya semata atas rasa kecewanya yang mendalam. Hingga ia benar-benar bisa menatap lekat wajah yang ia harap untuk dilihatnya di antara penonton hari ini itu, Juyeon membuka suaranya.

“Kamu dateng...”

Changmin tertawa kecil melihat ekspresi Juyeon yang masih kebingungan.

“Dateng, lah. Aku nggak ingkar janji.”

“Tapi aku nggak liat kamu di barisan penonton.”

“Kamu bilang suruh ke backstage, kan?” Changmin mengerling lucu pada Juyeon. “Dulu kamu pernah ngeluh kalo aku nggak liat kamu soalnya drummer posisinya di belakang. Tapi tadi aku bisa liat kamu jelas dari sini.”

“Jadi kamu liat aku main?” Kali ini Juyeon mulai terlihat senang, matanya memancarkan binar yang tak dapat disembunyikannya.

Changmin mengangguk cepat. “Stop Crying Your Heart Out, lagu yang jadi ending di film Butterfly Effect. Keren juga kalian pilih lagunya.”

Senyum mulai tersungging di bibir Juyeon. Tak menyadari Changmin memperhatikan keringat yang membasahi dahinya dan segera merogoh ke dalam tasnya untuk mengambil tisu. Disekanya bulir-bulir keringat yang menghiasi wajah Juyeon dengan seksama.

Juyeon menahan pergelangan tangan Changmin lalu menurunkannya pelan-pelan. “Katanya kamu mau ngomong sesuatu sama aku?”

Changmin membulatkan matanya mengingat salah satu tujuannya menemui Juyeon selain untuk melihat penampilannya. Tiba-tiba rasa gugup menyergapnya.

“Oh, iya-”

“Mau ngomong apa?” Juyeon memiringkan kepalanya menunggu Changmin untuk menyampaikan sesuatu padanya.

Cowok mungil di depannya itu sempat melihat ke sekeliling sebelum mengatur napasnya berulang kali. Membuat Juyeon semakin penasaran mengapa Changmin terlihat begitu gugup.

“Changmin?” panggil Juyeon untuk mencuri perhatian Changmin padanya lagi.

Akhirnya dengan satu tarikan cepat pada bagian depan kaos Juyeon yang membuat cowok jangkung itu terpaksa merendahkan badannya, Changmin mendaratkan ciuman pada pipinya lalu membisikkan sesuatu pada telinga Juyeon.

“Ayo jadian!”

Juyeon mengerjapkan matanya berkali-kali setelah ia berhasil menegakkan punggungnya kembali. Membiarkan dua kata yang meluncur dari bibir Changmin dicerna oleh otaknya dengan benar. Wajah Changmin yang dihiasi senyum dan sepasang matanya yang menyimpan harap sama sekali tak membantunya.

Hal berikutnya yang dilakukan Juyeon adalah mendorong dirinya untuk memeluk Changmin kuat-kuat. Tak dapat menahan rasa bahagianya yang seketika memenuhi dadanya. Kalau ia bisa menangis mungkin ia akan menangis saat itu juga lantaran terlalu bahagia.

“Changmin, makasih,” ucap Juyeon sambil menahan Changmin dalam dekapannya.

“Kok makasih?”

“Nggak tau pokoknya pengen bilang makasih. Aku seneng banget.”

Changmin menahan tawanya lalu menganggukkan kepalanya. Ia membiarkan Juyeon memeluknya meskipun beberapa pasang mata sempat mencuri pandang ke arah mereka.

“Changmin.”

“Hm?”

“Aku boleh nyium kamu nggak, sih?”

Seketika Changmin mengangkat alisnya atas permintaan spontan dari Juyeon, yang sekarang secara resmi sudah berubah status menjadi pacarnya itu.

“Yah, tadi aku juga udah nyium kamu, kan-” balas Changmin ragu.

Mendengar jawaban dari Changmin, Juyeon menarik dirinya untuk kemudian menangkup kedua pipi Changmin. Yang tidak disangka Changmin adalah Juyeon tidak menjadikan pipinya sebagai target seperti apa yang telah dilakukannya tadi, melainkan cowok itu menjadikan bibir Changmin sebagai target ciumannya.

“Ju-”

Protes dari Changmin tertahan tanpa bisa tersampaikan karena Juyeon sudah membungkam suaranya. Kini tak hanya beberapa pasang mata saja yang memperhatikan mereka, namun seluruh penghuni backstage termasuk anggota Butterfly Effect yang sedari tadi mengawasi mereka dari sudut ruangan.

Juga satu orang lagi yang berani membuka suara di tengah ketercengangan itu.

“Emang nggak berubah dari dulu suka ciuman di backstage.”


Get up Come on Why're you scared? You'll never change what's been and gone

'Cause all of the stars are fading away Just try not to worry, you'll see them someday Take what you need, and be on your way And stop crying your heart out

We're all of the stars, we're fading away Just try not to worry, you'll see us some day Just take what you need, and be on your way And stop crying your heart out Stop crying your heart out

(Oasis – Stop Crying Your Heart Out)

Life begins when we start learning colors.

Hari itu ruang kelas juga dipenuhi oleh gaduh yang menemani setiap hari. Tak lagi mengganggu, layaknya suara radio yang dibiarkan berbunyi untuk mengiringi kesibukanmu. Kepala kecilnya bergoyang ke kanan dan ke kiri, kakinya yang menggantung di udara sebab kursi yang terlampau tinggi untuk tubuh mungilnya ia ayunkan sesuai irama lantunan lagu yang ia ciptakan sendiri pagi itu. Ia meletakkan pensil warna setelah berhasil mengisi laut dengan warna biru tua, tersenyum puas. Sekarang waktunya bagian terakhir yang ia tunggu-tunggu. Mengisi warna langit yang luas.

“Pinjam, ya!”

Seorang anak dengan tangan gempalnya menyerobot pensil warna biru muda yang hampir digunakannya untuk mewarnai langitnya yang luas.

“Ah-” Terlambat. Anak itu sudah mengambilnya dan membawanya lari bersamanya. Merasa sedih ayunan kakinya berhenti. Ia melihat sekeliling namun semuanya sibuk dengan gambar masing-masing. Siapa punya pensil warna biru muda?

“Hei, gambarmu bagus! Kenapa langitnya tidak diwarna?”

Mendongak untuk mendapati seorang anak laki-laki yang membawa buku gambarnya dalam dekapan, ia menjawab ragu-ragu.

“Aku nggak punya warna biru muda…”

Anak lelaki itu mengangkat alisnya heran. “Kan tidak harus biru muda?”

Namun ia tidak mengerti apa maksud ucapan anak itu. Langit harusnya warna biru, kan?

“Ayo, ke mejaku! Aku punya banyak sekali warna!”

Benar saja, begitu sampai di mejanya berbagai jenis pensil warna berserakan memenuhi permukaan mejanya. Matanya berbinar, mulutnya ternganga. Karena pensil warna miliknya hanya mempunyai dua belas warna saja. Di sini sepertinya ada berjuta-juta warna.

Oke, itu berlebihan.

“Aku boleh pinjam?” tanyanya hati-hati. Sedari tadi matanya sudah mengincar berbagai jenis warna biru.

“Boleh.”

Dengan semangat ia mengulurkan tangan kecilnya untuk menjangkau pensil warna biru sebelum anak itu menghentikan aksinya dengan pertanyaannya.

“Kamu beneran nggak mau coba warna lain?” tanyanya. “Apa warna kesukaan kamu?”

Berpikir sejenak untuk mengamati satu persatu pensil warna di atas meja, ia akhirnya menunjuk satu buah pensil dengan warna ungu muda. Anak itu mengambil dan menyerahkan untuknya.

“Ini? Kamu suka warna ungu?”

Mengangguk pelan sambil menerima pensil warna itu, ia tersenyum. Anak itu lalu menyuruhnya untuk mewarnai langitnya dengan warna ungu. Meskipun ragu karena bagaimana bisa langit memiliki warna ungu, namun ia tetap mencobanya. Lagipula ia tahu siapa anak ini. Namanya Kevin. Ia yang gambarannya selalu bagus di kelas. Jadi ia percaya saja padanya.

“Bagus, kan?” tanya Kevin setelah beberapa saat ia memenuhi kertasnya dengan warna kesukaannya.

“Bagus.”

Ia memandang takjub pada gambarannya sendiri. Ternyata langit tetap indah meski tidak harus berwarna biru.


Our eyes are attracted to the brighter ones.

“Changmin, cepetan! Bus-nya udah mau berangkat!”

“Iya, iya. Sebentar!”

Tergesa-gesa Changmin membawa toast-nya dalam gigitan lalu menyambar tasnya dan pontang-panting keluar dari rumahnya. Ia membagi toast miliknya dan menjejalkannya ke mulut Kevin yang terpaksa menerimanya dengan susah payah. Berlarian keduanya ke halte bus di mana pengemudinya sudah mengawasi mereka dengan wajah tak sabar.

Menghempaskan badan ke kursi bus, dua anak yang hampir kena marah itu menghela napas lega lalu tertawa cekikikan. Kevin mengeluarkan pemutar musiknya dan mulai menyumpal kedua telinganya. Kalau sudah begini biasanya Kevin akan sibuk dengan dunianya sendiri, jadi Changmin mencuri satu earbud-nya dan memasangnya ke telinga kiri. Lantunan musik mulai terdengar, menemani Changmin yang melemparkan pandangannya untuk menikmati pemandangan di luar jendela. Sesekali ia tersenyum melihat burung-burung yang terbang dan hinggap di pepohonan yang bunganya mulai bersemi. Warna merah muda yang indah.

Di sampingnya, Kevin juga menarik senyum. Namun pemandangan yang dilihatnya adalah sisi wajah Changmin yang tersenyum cerah.

*

Changmin selalu penasaran bagaimana rasanya jatuh cinta. Katanya hatimu akan berbunga-bunga, perutmu akan dipenuhi kupu-kupu. Tapi Changmin tidak mengerti itu semua. Menanyakannya pada Kevin juga sama saja, anak itu belum pernah jatuh cinta.

“Nggak tau, lah, Changmin. Aku belum pernah naksir orang,” ucap Kevin kala itu ketika Changmin mengganggunya yang sedang asyik membaca entah buku apa. Changmin hanya merengut lalu ikut merebahkan diri di sampingnya. Diamatinya awan dan langit dari sela-sela jari tangan yang diulurkannya.

“Tapi.” Kevin mulai menutup bukunya. “Katanya nggak semua orang mengalami itu kalau lagi jatuh cinta. Ada yang tiba-tiba merasa senang dan nyaman aja di sekitar orang itu.”

Changmin menolehkan kepalanya pada Kevin yang rupanya sudah lebih dulu menatap ke arahnya. “Kayak… gimana?”

“Kayak… kalau ada di deket orang itu, dia bisa ngerasa seneng dan pengen berlama-lama,” ucap Kevin sementara kedua pasang mata mereka bertemu untuk saling berkonversasi. Kevin melanjutkan ucapannya dengan suaranya yang semakin pelan sebab ia hanya bisa melihat wajah Changmin yang terfokus padanya. “Kayak- kalau liat ke dalam mata orang itu, dia bisa ikutan hanyut di dalamnya…”

Changmin dapat merasakan hembusan napas Kevin yang lembut menampar pipinya. Ia baru menyadari betapa Kevin terlihat sangat indah dari jarak sedekat ini. Tidak, Kevin selalu indah. Kevin selalu bertutur kata yang indah, gambarannya pun indah. Dari dulu Changmin selalu mengagumi Kevin. Itu sebabnya mengapa jantungnya saat ini tiba-tiba berdetak lebih kencang, kan?

*

Kevin tahu Changmin menyukai bunga matahari. Warna kuning dan oranye membuatnya bahagia, begitu kata Changmin. Ia memberikan biji bunga matahari yang kemudian berusaha Changmin tanam dan rawat hingga berbunga. Awalnya gagal karena Changmin terlambat menyiraminya, namun ia mencobanya lagi. Kevin memberinya segenggam biji bunga matahari lagi. Ada yang dimakan ulat, dan Changmin tetap tidak menyerah. Ia ingin menunjukkan bunga mataharinya nanti pada Kevin. Kevin seperti bunga matahari, kata Changmin.

Bagi Kevin, melihat Changmin setiap hari seperti melihat bunga matahari dari kecil hingga tumbuh bermekaran.

Hingga bunga matahari pertama Changmin mekar, ia memberikan itu pada Kevin. Hadiah ulang tahun. Changmin tidak tahu menyerahkan bunga matahari itu pada Kevin berarti ia menyerahkan hatinya juga. Karena di sepanjang waktu ia merawat bunga matahari itu, hanya ada Kevin dalam kepalanya. Ia ingin memberikan seluruh perasaan yang digunakan untuk merawat bunga itu hingga tumbuh kepada Kevin.

Sepertinya Changmin telah jatuh cinta.

*

Ternyata memang benar tidak semua orang merasakan kupu-kupu beterbangan di perut kala mereka sedang jatuh cinta. Alih-alih kupu-kupu, Changmin merasa dadanya berdesir aneh ketika anak kelas lain datang pada Kevin untuk meminta diajari sesuatu. Changmin tidak menyukainya.

“Kenapa diem aja?” Kevin akhirnya bertanya setelah sedari tadi ia hanya memperhatikan Changmin dari sudut matanya.

“Nggak apa-apa. Kenapa emangnya?” Changmin balas bertanya, nadanya ketus. “Kamu sibuk terus dari tadi.”

Kevin tersenyum geli. “Kan bantuin belajar masa nggak boleh?”

“Aku dicuekinnn,” keluh Changmin panjang-panjang.

Changmin itu mudah, Kevin hanya perlu memberinya hal-hal yang disukainya lalu ia akan kembali cerah. Kevin selalu tahu apa yang disukai Changmin. Hari ini adalah es krim vanila.

Kedai es krim berjarak satu blok dari sekolah selalu memberi mereka satu sekop lebih banyak karena mereka sering membeli es krim di sana. Tiga sekop untuk Changmin dan dua sekop untuk Kevin. Kevin tidak terlalu suka es krim.

“Ngajarin apa, sih, tadi?” celetuk Changmin dengan kerucut es krim di tangan. Ujung sepatunya membentuk garis-garis di tanah akibat badannya yang terayun pelan di atas ayunan taman.

“Bahasa,” balas Kevin singkat.

“Emangnya nggak bisa belajar sendiri?”

Kevin menatap ujung-ujung sepatunya yang terkena lelehan es krim. Jika tidak segera dibersihkan pasti akan meninggalkan noda. Tapi kepalanya lebih sibuk memikirkan sesuatu yang belakangan ini mengganggunya. Ia lalu menoleh pada Changmin yang masih berayun.

“Changmin, kamu naksir aku, ya?”

Tolehan cepat Changmin yang hampir membuat es krimnya terlempar malah membuat Kevin ingin tertawa. Ia hanya asal menebak. Namun reaksi Changmin membuatnya yakin kalo tebakannya benar.

Kalau dia beneran kaget berarti dia memang naksir kamu. Begitu kata teman-temannya.

Changmin bergumam pelan, tidak menjawab pertanyaan Kevin. Namun telinganya benar-benar merah. Seketika Kevin merutuk dalam hati. Sial.

“Itu es krimnya belepotan,” komentar Kevin beberapa saat kemudian. Ia bangkit dari ayunannya dan berjalan ke hadapan Changmin. Sedikit merendahkan badannya, tangan Kevin terulur untuk menyeka es krim di sudut bibir Changmin dengan ibu jarinya.

“Kevin, aku bisa bersihin sendi-”

A sudden kiss.

Rasanya tentu saja manis karena jejak es krim yang masih membekas di bibir mereka. Sensasi panas dan dingin bercampur menjadi satu. Kali ini Changmin benar-benar paham apa yang dimaksud mereka mengenai kupu-kupu yang terbang dalam perutmu. Kupu-kupu dengan sayap yang paling besar.


Ignoring the bleak colors because they don’t seem pretty.

Jatuh cinta lalu menjalani hubungan dengan seseorang yang disayang rupanya tak selalu indah. Changmin pikir menjadi pacar Kevin adalah keinginan terbesarnya. Ternyata itu hanyalah awal dari inginnya yang selalu lebih dan lebih. Menginginkan seluruh perhatian Kevin padanya adalah awal dari rasa sakit yang diciptakannya sendiri.

Awan mendung berwarna abu-abu pekat. Langit pun semakin gelap. Hujan sebentar lagi akan turun. Tapi kaki Kevin masih sibuk melangkah untuk membawanya menemukan seseorang yang dicarinya. Khawatir yang bergelayut di pikirannya tak henti-hentinya membuat Kevin menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi.

Changmin hanya ingin pulang bersama. Berbagai klub kegiatan belajar yang diikutinya tak mengizinkannya untuk pulang lebih cepat. Ia terpaksa menyuruh Changmin untuk meninggalkannya, yang tentu saja ditolak. Anak itu memaksa untuk menunggu.

“Aku masih lama, Changmin. Kamu pulang aja.”

“Nggak mau. Kemarin-kemarin kamu pulang telat terus padahal kita udah rencana mau pergi beli peralatan melukis bareng. Aku tungguin kamu sampe selesai.”

“Ya, udah. Terserah. Aku pokoknya pulang sore banget.”

Kevin tak menemukan Changmin di manapun. Gerimis mulai turun membasahi seragam dan juga tasnya. Menyerah akhirnya ia berlari kecil menuju halte bus untuk pulang ke rumah. Mungkin Changmin juga sudah pulang.

Ia melihat anak itu di sana. Berteduh di dalam toko buku sambil mendekap kanvas juga sekantong alat lukis. Kevin terpaksa membawa badannya yang hampir basah kuyup ke dalam toko buku. Pendingin ruangan itu semakin membuatnya menggigil.

“Aku nyariin kamu ke mana-mana,” tegur Kevin saat ia sampai di dekat Changmin. Anak itu tak membalasnya, hanya sibuk memandangi hujan yang turun semakin deras di luar.

“Denger nggak, sih? Katanya mau nungguin, tapi malah pergi duluan.” Kevin melanjutkan lebih tajam. Ia menunggu Changmin untuk membuka suara tapi anak itu tetap bungkam. Hujan sore itu menemani hening keduanya.

Hingga tinggal titik-titik air hujan yang turun dengan jarang tersisa, Changmin memutar badannya. Barang yang ada dalam dekapannya ia jejalkan semuanya pada Kevin yang dengan sigap menerimanya.

“Buat klub gambar kamu.”

Setelahnya Changmin pergi meninggalkannya dengan semua peralatan lukis yang kini berpindah tangan. Kevin baru sadar ia memang membutuhkan barang-barang itu untuk kegiatan akhir minggu. Namun Kevin tidak sadar akan luka di siku Changmin hasil jatuh untuk berlomba lari dengan hujan mencapai toko buku.

Kevin semakin sibuk dengan segala kegiatan dan lomba yang diikutinya. Teman-teman dari klub belajarnya juga selalu menariknya ke perpustakaan saat jam istirahat tiba. Changmin terpaksa harus sendirian lagi.

Bunga matahari pemberian dari Changmin semakin pudar warnanya karena hampir layu. Tak sempat terurus oleh Kevin. Beberapa kali ia mencoba menyelamatkannya namun pada akhirnya bunga itu gugur juga.

Tak sampai seminggu setelahnya, hubungannya dengan Changmin yang kemudian harus ikut mati.


But there is always a reason why bright and bleak coexist, it makes life complete.

Menghirup udara di kota yang telah ditinggalkannya bertahun-tahun membawa kembali semua memori yang menguap dari kepalanya. Jalanan sudah banyak berubah. Tetapi bangunannya masih terlihat sama. Kedai es krim di dekat sekolahnya dulu telah menjadi bangunan bertingkat satu, catnya masih sama. Warna merah muda.

Jalan menuju sekolah sudah banyak diperbaiki menjadi jauh lebih halus dari sebelumnya yang banyak rusak di sana-sini. Sepasang kakinya membawanya menyusuri jalanan itu menuju bangunan sekolahnya yang masih berdiri kokoh seperti beberapa tahun silam. Lagi-lagi hujan memori memenuhi kepalanya. Pelajaran menggambar setiap hari Rabu. Berlarian ke kantin begitu bel istirahat berbunyi untuk berebut makan siang. Ruang kelas yang tak pernah sepi kecuali saat hari libur. Bangku di dekat jendela di mana ia selalu duduk sambil melihat anak-anak kelas lain bermain bola di lapangan. Di depannya adalah punggung seseorang yang selalu menghabiskan waktunya membaca buku atau mencoret-coret buku gambarnya.

Mengembalikan sadarnya pada realita, ia berjalan mendekat ke ruang kelas yang ditempatinya dulu. Kali ini juga penuh dengan anak-anak berseragam seperti dulu. Ia hanya mengintip melalui sisi luar jendela paling jauh dari papan tulis.

Saat itu pelajaran menggambar juga. Ada anak yang menggambar lautan luas beserta burung-burung yang menggantung di langit jingganya. Sang guru mendekati anak itu dan menanyakan tentang gambarnya yang dijawab dengan antusias. Tanpa sadar ia ikut merekahkan senyum. Rasanya seperti melihat dirinya dahulu.

Dan Kevin yang kemudian menolehkan kepalanya ke arah jendela seusai menanyai muridnya tentang gambar lautnya. Tidak ada siapapun di sana.

Semenjak putusnya hubungannya dengan Changmin saat itu, tak sehari pun terlewat tanpa Kevin memikirkan Changmin. Karena itu juga terakhir kalinya ia melihat Changmin. Ia tidak tahu ke mana perginya anak itu. Semua orang yang ditanyainya hanya menjawab Changmin sudah pindah ke kota lain. Ditinggalkan seperti itu memberi sedih dan sesal yang begitu mendalam pada Kevin. Dan meski tempat ini selalu penuh dengan kenangannya bersama Changmin, Kevin tidak pernah ingin pergi. Ia yakin suatu saat Changmin akan kembali. Padanya, ke tempat ini.

Entah mengapa hari itu meskipun mendung Kevin ingin pergi ke kedai es krim setelah sekian lama. Dan meski ia tidak terlalu suka es krim, tetap dipesannya es krim rasa vanila. Kesukaan Changmin.

Kevin duduk di salah satu kursinya untuk menikmati es krimnya. Matanya yang hanya memandang kosong ke meja seketika kembali menemukan fokus akan sesuatu. Terkesiap Kevin bangkit dari duduknya secepat kilat, menyambar satu benda yang ditemukannya di atas meja itu lalu segera keluar dari kedai.

Langkah kakinya tak pernah berhenti hingga ia sampai di satu tempat. Taman dengan dua ayunan yang tak pernah diganti, dibiarkan menua hingga besinya berkarat dan berbunyi setiap ayunan itu bergerak. Kevin hampir menjatuhkan es krimnya.

Seseorang itu di sana. Mengayunkan kakinya seiring ayunannya bergerak pelan ke depan dan ke belakang. Memakai mantel juga syal tebal hingga setengah wajahnya tenggelam. Tapi Kevin tetap mengenalnya. Kakinya terasa berat ketika ia berusaha melangkah mendekati sosok itu.

Hingga ia tiba tepat di hadapannya. Tangannya terulur untuk mengangsurkan benda yang ditemukannya di kedai es krim tadi. Sebuah kertas gambar yang dihiasi pemandangan langit warna ungu.

“Punya kamu, kan?”

Benda itu diterima dengan senyum yang terpantul dari sorot matanya.

“Makasih, Kevin.”

Kevin membiarkan es krim miliknya jatuh ke tanah sebelum dirinya merengkuh seseorang itu kuat-kuat. Seakan takut ini hanyalah salah satu dari delusinya menunggu orang itu kembali.

Namun yang berada dalam dekapannya ini nyata. Hangat napasnya terasa di lehernya. Ia kembali mengeratkan peluknya.

“Changmin, bunga mataharinya tumbuh lagi. Warnanya bagus kayak yang selalu kamu bilang.”

Changmin mengangguk. Ia tahu bunga mataharinya pasti akan kembali mekar. Karena bunga itu tumbuh dari seseorang yang menghidupinya dengan seluruh perasaan.

ㅡfin.

“Sampe jam berapa?” Changmin berbicara melalui ponsel yang diapit oleh kepala dan bahunya. “Ya udah, aku tunggu di taman baca aja, ya? Iya, ini aku lagi di sini. He em, hati-hati… Eh, bentar! Sekalian nitip beliin pampers ya, Ju? Tadi aku lupa bawa cadangan dari rumah. Makasihhh!”

Sebelum Changmin sempat memutus sambungan, sepasang tangan mungil berusaha meraih ponsel itu dari Changmin.

“Adek mau ngomong sama Papa Juyo?” tanya Changmin dengan senyum yang merekah lebar. Seorang anak laki-laki dengan mata bulat sempurna dan pipi tembam bersemu merah itu mengangguk-angguk dalam gendongan Changmin. Segera Changmin meletakkan ponselnya di salah satu telinga mungilnya.

“Papa… Papa…” celoteh anak itu. Tangannya mulai menepuk dengan semangat saat seseorang di seberang sana menjawab panggilannya.

“Minnie, lagi di taman baca sama Papa Camin, ya?” tanya Juyeon.

“Iya, Papa.” Changmin berbisik pelan agar anak itu dapat menirukannya.

“Pa… Ya… Minnie… Main… Papa!”

“Minnie mau main sama Papa nanti?” tanya Juyeon lagi, berusaha menangkap maksud dari anak yang usianya sebentar lagi menginjak angka dua itu.

“Main… Papa… Minnie… Camin…”

Changmin tidak dapat menahan tawanya mendengar celotehan anaknya yang masih berusaha merangkai kalimat itu. Diciuminya pipi gembulnya hingga anak itu merengek minta dibebaskan dari gendongan.

“Iya, nanti Minnie main sama Papa Juyo, sama Papa Camin, ya? Tungguin Papa Juyo ke situ, ya?”

Anak yang diberi nama Minyeon itu mengangguk-angguk dengan semangat meskipun Juyeon tidak dapat melihatnya. Sesaat kemudian Changmin mengakhiri sambungannya dan membawa Minyeon ke ruang bermain yang saat itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa anak berumur enam tahun yang membawa buku untuk dibaca di ruangan itu.

Changmin menurunkan Minyeon hingga anak itu dapat duduk di kursi kecil sementara dirinya mendudukkan diri di atas karpet berhadapan dengan Minyeon yang langsung sibuk membuka-buka halaman buku untuk melihat gambar yang menarik perhatiannya. Melihat anak itu membuat Changmin teringat akan dirinya saat ia masih kecil dulu. Sama-sama pemalu dan lebih banyak diam jika berada di tengah-tengah banyak orang asing. Tetapi ketertarikannya dengan buku sangat mirip dengan Juyeon. Pertama kali mereka membawanya ke taman baca, anak itu meminta untuk diambilkan berbagai macam buku dan bisa menghabiskan waktu berlama-lama hanya untuk melihat tiap lembaran bukunya. Sejak saat itu Minyeon minta hampir setiap hari untuk berkunjung ke taman baca. Kadang-kadang beberapa anak yang menjadi pengunjung tetap di taman baca itu ikut menjaga Minyeon dan senang sekali tiap Minyeon datang. Mereka akan berseru “Minyeonnie, Minyeonnie!” dan Minyeon akan menatap mereka dengan tatapannya yang lucu sembari berucap pelan “Minnie…”.

Memiliki Minyeon setelah mengikat janji dengan Juyeon dua tahun lalu selalu membuat Changmin ingin terus-menerus bersyukur. Mungkin beberapa tahun sebelumnya Changmin tidak pernah atau bahkan tidak memiliki nyali untuk sekedar membayangkan hidup bersama Juyeon. Mungkin ia akan memaksakan diri berakhir dengan Younghoon, mungkin ia akan memilih untuk hidup sendiri. Namun Juyeon datang kembali untuk memperjuangkan hubungan mereka yang harus terhenti di tengah jalan, Juyeon tidak menyerah hingga kini mereka tak hanya menjalani hidup berdua. Hadirnya Minyeon melengkapi kebahagiaan Changmin yang sebenarnya sudah lebih dari cukup.

“Papa…”

Changmin mengerjapkan matanya saat ia merasakan sentuhan pada wajahnya. Minyeon ternyata sudah berdiri tepat di hadapannya. Wajahnya terlihat khawatir.

“Papa…”

Changmin baru sadar dirinya telah membiarkan butir air mata lolos membasahi wajahnya. Buru-buru disekanya dengan telapak tangan. Kemudian dipeluknya Minyeon hingga anak itu tenggelam dalam dekapannya.

“Akit…?” tanya Minyeon pelan.

“Nggak, Sayang. Papa nggak sakit,” jawab Changmin menenangkan Minyeon yang rupanya sangat mengkhawatirkan keadaannya. “Papa seneng ada Minnie di sini sekarang.”

“Minnie…?”

“Iyaa, Minnie udah bikin Papa Juyo sama Papa Camin seneng. Makasih, ya?”

Minyeon meloncat-loncat kecil dalam pelukan Changmin, membuat lelaki itu akhirnya memecah tawa. Anak itu selalu dapat membawa bahagia untuknya yang tidak bisa digantikan oleh apapun.

“Kak, suami lu udah dateng, tuh!”

Suara seseorang di pintu mengalihkan perhatian Changmin. Ia kembali menggendong Minyeon dan melangkah menuju pintu.

“Gantian jaga di sini ya, Nu?” pinta Changmin pada cowok yang memberitahu kedatangan Juyeon itu.

“Oke!” sahut Sunwoo sebelum kemudian mengulurkan sebelah tangannya untuk menoel kepala Minyeon. “Minyeon Minyeon bantetttt~ Minyeon bantet bantettt~”

“Aaaaaaa!!!!!” teriak Minyeon sambil berusaha melayangkan tangan pendeknya untuk menyerang Sunwoo yang sukses berkelit sembari tertawa puas.

“Nu, ah! Kalo Minyeon nangis, lo yang gue suruh gendong sampe dia diem,” ancam Changmin. Sunwoo masih terkekeh sambil sesekali menjulurkan lidahnya pada Minyeon yang menatapnya dengan kening berkerut tajam. Namun anak mungil itu tidak dapat membalas apa-apa sebab Changmin sudah melangkahkan kakinya menjauh dan membawanya serta untuk menemui Juyeon.

“Minnieee!!!” Seruan Juyeon membuat Minyeon secepat kilat menolehkan kepalanya ke arah sumber suara dan ekspresi marahnya yang sebelumnya ditujukan pada Sunwoo seketika berganti dengan senyum lebar.

Juyeon mengambil alih Minyeon dari gendongan Changmin lalu mulai menyerang wajah anak laki-lakinya itu dengan ciuman-ciuman singkat. Minyeon tertawa sambil berusaha menjauhkan kepalanya dari lelaki itu.

“Paa! Papa!” Tangan Minyeon terulur untuk menahan wajah Juyeon agar tak lagi mendekat. “Papa… Camin… Akit…”

Juyeon mengangkat alisnya mendengar celoteh dari anaknya. “Siapa yang sakit?”

Minyeon mengarahkan telunjuknya pada Changmin, membuat Juyeon seketika mendekatkan dirinya pada Changmin lalu mengelus kepalanya dengan lembut.

“Kamu sakit?”

Changmin buru-buru menggeleng. “Enggaa-”

“Papa! Ais…. Huhuhu…” Minyeon menirukan suara tangis untuk menunjukkan bahwa ia melihat Changmin yang sedang menangis tadi.

Juyeon kembali memperhatikan Changmin, kali ini ada gurat kekhawatiran dalam ekspresi wajahnya. “Changmin, kamu nangis? Kenapa?”

Changmin tersenyum dalam hela napasnya. Ia meraih satu tangan Juyeon dan menggenggamnya untuk meyakinkannya bahwa ia baik-baik saja.

“Tadi aku lagi keinget sama sesuatu aja. Jadi nangis, deh, diliat sama Minyeon.” Changmin buru-buru menambahkan. “Nangis bahagiaaa bukan nangis sedih!”

“Bener?” Juyeon masih mencoba memastikan. Ia hanya khawatir Changmin menyimpan masalah untuk dirinya sendiri lantaran ia yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tak tahu-menahu mengenai apa yang sedang dialami Changmin.

“Iyaaa!” Changmin berjinjit untuk memberikan satu kecupan singkat pada pipi Juyeon agar suaminya itu tidak khawatir lagi. Yang kemudian dibalas Juyeon dengan ciuman berkali-kali pada puncak kepalanya.

“Ju, Minyeon belum mau makan dari tadi siang, loh. Cuman makan sedikit.”

“Hayo, Minnie? Papa Juyo pesen apa tadi pagi? Harus makan sebelum main-main,” ucap Juyeon pada Minyeon yang langsung memasang wajah cemberut yang lucu. Bibirnya mengerucut membuat Juyeon tak kuasa menahan untuk menciumnya cepat.

“Disuapin Papa Juyo, ya? Nanti baru mainan lagi,” bujuk Changmin.

Meski kepala mungilnya masih terus bergoyang dan enggan untuk menjawab namun akhirnya Juyeon berhasil menyuapi Minyeon pelan-pelan. Ditemani oleh sebuah boneka hamster kesukaannya yang dulunya adalah milik Changmin.

Juyeon menggerakkan sendok di udara layaknya pesawat terbang sebelum mengarahkannya ke mulut Minyeon yang sudah terbuka lebar. Tiap anak itu berhasil melahap satu sendok, Juyeon akan menghadiahinya dengan satu cium yang mendarat di dahinya. Meskipun Changmin harus menahan tawa karena Minyeon terus-terusan mengelap dahinya setelah itu.

“Oh, iya, Ju. Tadi aku nitip pampers jadi kamu beliin?”

“Iya, itu aku taruh di meja.”

Changmin bangkit untuk membuka plastik yang diletakkan di atas meja dan matanya seketika melebar.

“Juyeonnn, ini mah pampers buat lansiaaa!!”

“Hah???”

“Kamu nggak liat bungkusnya ada gambar orang tua??”

“Yah, mana aku tau- kirain cuma logonya aja.”

“Aduuuh, masa Minyeon disuruh pake pampers lansia, sih!??”

“Paa! Papa!”

“Iya, iya ini mam lagi- syungggg pesawatnya datenggg!!”

“Minnie habis ini jangan berak dulu, ya?? Biar aku suruh Om Sunwoo beliin pampers buat kamu.”

“...Pa???”


Teruntuk Langit Hari Ini


cw // kissing

-

Tak henti-hentinya Biru menyuruh Arka untuk memacu mesin mobilnya lebih cepat. Kepalanya sudah penuh dengan kemungkinan terburuk yang mungkin akan dihadapinya dan Biru tidak siap.

“Rumah sakit mana, sih? Kok jauh banget?” tanya Biru gusar ketika mobil masih melaju meskipun mereka sudah cukup jauh jaraknya dari rumah Biru.

“Dia kecelakaannya pas udah deket lokasi tujuan, Ru. Emang agak jauh tempatnya,” jelas Hanan dari kursi depan.

Biru berdecak pelan. “Ini idenya siapa? Kalo jauh kenapa dibiarin berangkat sendirian? Ka, lo biasanya yang paling perhitungan masalah kaya gini. Kenapa nggak nganterin Bintang?”

Tidak berani menghadapi Biru secara langsung Arka hanya melihat sekilas dari spion depan sebelum menanggapi. “Maaf, ya, Ru. Gue juga nggak tau bakalan ada kejadian kayak gini.”

Biru memperhatikan Arka dan Hanan yang sempat bertukar pandang dengan sorot mata penyesalan. Tapi tidak ada gunanya lagi untuk berdebat. Semuanya sudah terjadi.

“Keluarganya Bintang udah dikabarin belum?” Serentak Biru merogoh ponselnya dari saku celana. “Ck, bundanya pasti kaget banget kalo gue kabarin. Gue telfon kakaknya aja, kali, ya?”

“Eh, udah dikabarin, kok!” sahut Hanan. “Tadi Arka udah ngabarin mereka juga, katanya mau otewe.”

“Oh- iya, Ru. Tadi udah dikabarin juga… kakaknya.”

Mendengar penjelasan dari temannya Biru tak jadi menghubungi Bulan dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. Kemudian ia menyuruh Arka untuk mempercepat laju mobilnya lagi.


Biru memicingkan matanya ketika mobil mulai melamban dan akhirnya berbelok ke suatu pelataran luas yang Biru yakini bukan seperti area rumah sakit. Keningnya semakin berkerut ketika Arka benar-benar menghentikan mobilnya di sana dan mematikan mesinnya.

“Kok berhenti di sini? Mana rumah sakitnya?” tanya Biru langsung.

“Gue haus, Ru. Beli minum bentar, ya?”

“Hah? Apaan, sih, Nan? Lagi genting begini sempet-sempetnya lo beli minum?” protes Biru. “Ka, langsung ke rumah sakit aja.”

“Gue… juga haus, sih. Turun bentar beli minum, ya?” pinta Arka sembari membuka pintu mobilnya dan beranjak keluar.

Biru semakin gusar dibuatnya. Ia ikut turun dari mobil dan berusaha mengejar kedua temannya yang sudah jauh meninggalkannya.

“Ka, siniin kuncinya!” seru Biru. “Biar gue berangkat sendiri aja kalo kalian nggak mau ke sana. Bintang di rumah sakit ap-”

Kalimat Biru terputus bersamaan dengan dirinya yang terpental beberapa langkah ke belakang sebab menabrak punggung temannya yang berhenti tiba-tiba. Ia mengumpat pelan di balik napasnya.

“Ngapain, sih!?” seru Biru lagi.

Hanan dan Arka membalikkan badan untuk menghadapi Biru yang sudah semakin terlihat kesal. Arka berdiri di tempatnya dengan canggung sementara di sebelahnya Hanan hanya cengengesan.

“Maaf, ya, Ru.”

“Maaf kenapa-”

Hanan tak memberikan Biru kesempatan untuk melanjutkan ucapannya saat ia menarik Arka ke arahnya dan membiarkan apa yang ada di belakang mereka terlihat oleh Biru. Baru disadarinya bahwa tempat yang dimasukinya ini adalah sebuah kedai minuman yang memiliki nuansa laut biru yang teduh dipandang oleh mata. Bahkan Biru baru sadar di bagian belakang kedai yang tempatnya terbuka itu terhampar pantai sejauh mata memandang.

Seketika fokus mata Biru kembali pada apa yang ada di hadapannya. Balon-balon beraneka bentuk dan warna memenuhi penglihatannya. Kemudian satu wajah yang tak disangkanya menyembul di antara balon-balon itu. Tersenyum lebar padanya.

HAPPY BIRTHDAY, BIRU!!!

Kepala Biru terasa pening untuk sepersekian detik. Ia terpaksa bertumpu pada kedua lututnya untuk menopang dirinya.

“Eh, Biru kenapa??” seru Bintang panik.

Arka dan Hanan buru-buru menghampiri temannya itu.

“Ru, lo nggak papa?” tanya Hanan.

“Jangan nanya ke gue, tanya ke Bintang,” sahut Biru tajam. “Apaan, sih, maksudnya?”

“Kenapa…” ucap Bintang pelan, mulai merasa khawatir atas reaksi Biru yang berada di luar dugaannya.

Alih-alih menjawab, Biru malah sibuk memeriksa keadaan Bintang dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bintang semakin kebingungan.

“Ada apa-”

“Kamu nggak papa?” sela Biru.

Bintang hanya mengangguk lambat sebagai jawaban. Ia melempar pandangan memelas ke arah Hanan dan Arka untuk meminta bantuan, mulai merasa bahwa Biru mungkin tidak menyukai kejutan darinya.

Setelah memastikan bahwa Bintang benar-benar utuh tanpa ada lecet sedikitpun, Biru baru dapat menghela napas keras. Namun tatapannya masih tajam tertuju pada pacarnya yang semakin menciutkan badannya.

“Sumpah nggak lucu, Bin. Ngapain sih harus bohong soal kecelakaan kayak gitu?”

“Hah? Kecelakaan?” Bintang balik bertanya penuh kebingungan.

Decakan pelan muncul dari mulut Arka sebelum ia memutuskan untuk menengahi dua orang yang sama-sama tidak tahu-menahu tentang apa yang sedang terjadi.

“Biru, tadi tuh kerjaannya si Hanan,” beber Arka akhirnya. “Dia yang tiba-tiba ngide tanpa ngasih tau Bintang atau gue. Dan gue terpaksa playing along karena si kampret satu ini udah terlanjur boongin lo. Gue minta maaf banget.”

Hanan menyembulkan kepalanya dari balik badan Arka, meringis canggung.

“Sori, ya, Ru. Sumpah gue nggak tau lo bakal segini keselnya. Lo tau sendiri gue kalo berbuat suka nggak mikir dulu. Beneran spontan aja tadi, tuh. Biar kejutannya makin berkesan,” jelas Hanan. “Bintang nggak tau apa-apa, kok. Dia cuman pengen ngasih kejutan ulang tahun biasa. Yang masalah kecelakaan itu ide gue. Sori, Ru.”

“Hanan…” bisik Bintang gemas. Ia menghentakkan kakinya pelan akibat tindakan Hanan yang selalu membuatnya sebal. Kejutan ulang tahun untuk Biru jadi berantakan gara-gara cowok itu.

“Jangan marah sama Bintang, Ru,” tambah Hanan lagi.

Biru menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan candaan temannya yang telah membuatnya panik setengah mati.

“Gue nggak tau lagi mau ngomong apa,” ucap Biru lelah.

“Ya, udah. Lo gue tinggal sama Bintang, ya? Gue sama Arka cabut dulu daripada lo makin kesel liat kita,” pamit Hanan sembari perlahan menarik Arka sebelum kena semprot lagi oleh Biru.

Tersisa Bintang yang masih berdiri canggung sambil menggenggam tali balon di kedua tangannya. Juga Biru yang tak tahu harus berbuat apa setelah semua kekacauan yang terjadi barusan.

Satu tangan Bintang terulur untuk memberikan balon yang dibawanya kepada Biru, yang kemudian diterima oleh Biru juga akhirnya. Perlahan Bintang mengaitkan lengannya pada Biru dan mengajaknya untuk menuju tempat yang sudah disiapkannya. Sepanjang langkah yang mereka ambil, Bintang terus memeluk satu lengan Biru dengan erat sambil menyandarkan kepalanya pada Biru. Tidak ada percakapan yang muncul hingga mereka tiba di salah satu tempat yang berbatasan langsung dengan area pantai.

Bintang menyuruh Biru untuk duduk sementara dirinya mengikatkan balon-balon di tangannya pada salah satu tiang penyangga. Hembusan angin membuat balon-balon itu bergoyang pelan dan bertabrakan bahkan menampar wajah Bintang dan membuatnya memekik pelan.

Selesai berkutat dengan balon, Bintang kembali menghampiri Biru dan merendahkan badannya di depan cowok itu. Wajah pacarnya masih belum cerah hingga Bintang mengulurkan kedua tangannya untuk menangkup sisi wajah Biru, diusapnya pelan dengan ibu jarinya.

“Maaf, ya…” ucap Bintang. “Kejutan ulang tahunnya jadi kayak gini. Nanti aku marahin si Hanan, deh.”

Biru menarik napas dalam-dalam kemudian dihembuskannya keras. Berkali-kali hingga ia merasa dapat menguasai dirinya kembali.

“Kamu tau, kan, aku paling takut denger kata rumah sakit?”

Biru mulai membuka suara. Bintang menanggapinya dengan anggukan cepat.

“Iya, aku tau.” Bintang menyisir helai rambut Biru yang terjuntai menutupi dahinya dengan jemari tangannya. “Tapi aku di sini sekarang, kan? Nggak kenapa-kenapa.”

“Bintang…” Biru menarik tubuh Bintang hingga ia bangkit berdiri lagi lalu memeluk pinggangnya dengan kedua lengan. “Kemarin-kemarin aku sibuk buat ngejar nilai sampe nggak sempet buat cek keadaan kamu. Kamu yang selalu ngehubungin aku duluan. Terus dapet kabar dari Hanan soal kamu kayak tadi, aku ngerasa ketampar banget.”

“Biru…”

“Pertama kali aku dapet kabar soal Ayah di rumah sakit, itu juga waktu aku lagi sibuk-sibuknya ngurus organisasi. Aku terlalu fokus sama duniaku sendiri sampe lupa ada orang-orang di sekitar aku yang harus aku perhatiin juga. Orang-orang yang aku sayang.” Biru menengadah menatap wajah Bintang yang masih mendengarkan ucapannya dengan seksama. “Aku nggak mau ada kejadian kayak gitu lagi, Bin. Aku beneran takut.”

Bintang akhirnya menempelkan dahinya pada Biru, memejamkan matanya seiring Biru yang juga melakukan hal serupa.

“Semuanya bukan salah kamu,” lirih Bintang. “It happened because God said so.

Dikecupnya ujung hidung Biru sebelum ia berucap kembali. “Kalo kamu udah mulai sibuk sampe lupa sama sekitar kamu, aku yang bakal ngingetin. Aku bakal bawelin kamu terus biar kamu nggak lupa kalo masih ada aku, Ibu, Dinda, Hanan, Arka. Semuanya.”

Biru mengulas senyum tipis mendengar kalimat Bintang. “Please. Please do. Bawelin aku sampe aku tua, ya?”

Bintang tertawa kecil sebelum melepas dirinya dari Biru.

“Capek di akunya, dong? Kamu, mah, tinggal dengerin doang aku ngebawel.”

“Dengerin bawelan kamu, tuh, memperpanjang umur aku.” Biru meluncurkan kekehan pelan. “Nih, kamu bawelin aku sekarang udah nambahin satu lagi perayaan ulang tahun yang harus kamu siapin.”

“Oke, nggak papa. Aku bawelin kamu terus sampe kamu bosennn!!” Bintang menenggelamkan kepala Biru dalam dekapannya kuat sebelum membebaskannya kembali saat dirinya teringat akan sesuatu. “Eh, lupa kuenya!”

Biru mengangkat alisnya penasaran melihat Bintang yang tergesa bergegas mengambil kotak berukuran sedang dari atas meja tak jauh dari mereka. Dibukanya tutup kotak itu yang rupanya berisi kue ulang tahun untuk Biru. Ada tulisan 'Selamat Ulang Tahun, Langit Biru.' yang menghiasi permukaan kue berwarna biru cerah itu. Di pinggirannya ada kumpulan awan putih yang melingkari. Tak luput mata Biru menangkap satu buah bintang kecil berwarna kuning di bawah namanya.

“Ini apa? Kok ada bintang nyasar di sini?” canda Biru.

“Itu akuuu! Sengaja cuman satu bintangnya karena nggak boleh ada bintang yang lain lagi.”

Biru tidak kuasa menahan gemas akibat kelakuan pacarnya itu. Diraihnya kepala Bintang dengan satu tangannya lalu diberinya satu ciuman kuat pada dahinya.

“Biru, tiup lilin duluuu.” Bintang berusaha membebaskan dirinya kemudian mengambil pemantik api untuk diserahkan kepada Biru. “Biru, nyalain sendiri, ya? Aku takut nyalainnya.”

“Yah, gimana, sih? Masa yang ulang tahun disuruh nyalain lilin?”

Namun tetap diambilnya pemantik api dari tangan Bintang dan menyalakannya untuk membakar lilin yang sudah Bintang tancapkan di atas kue ulang tahunnya. Setelahnya ia meraih tangan Bintang untuk dirangkum dalam genggaman tangannya sendiri dan mulai memanjatkan doa.

“Tiup lilin!” seru Bintang usai Biru membuka matanya kembali. Biru meniup kedua lilin yang menyala dalam sekali hembusan napasnya.

“Biru.”

“Hm?”

“Aku ada sesuatu buat kamu.”

Biru tersenyum penuh ekspektasi melihat Bintang yang berusaha menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.

“Hadiah buat aku, ya?”

Bintang mengangguk dengan semangat.

“Asikk! Aku perlu tutup mata, nggak?”

“Boleh, deh. Tutup mata dulu.”

Perlahan Bintang menaruh benda yang dibungkusnya rapi dalam tas kecil itu di hadapan Biru. Lalu ditariknya satu tangan Biru hingga menyentuh bungkusan hadiahnya. Cowok di hadapannya itu meraba-raba untuk menebak apa isinya.

“Boleh diliat sekarang, nggak?” tanya Biru tak sabar.

Bintang menggigit bibirnya menahan rasa gugup sekaligus senang atas hadiah yang diberikannya pada Biru. “Boleh buka mata sekarang.”

Begitu kelopak mata Biru terbuka, cowok itu merogoh ke dalam tas kecil di hadapannya dan merasakan benda yang cukup berat di tangannya. Hati-hati sekali dikeluarkannya benda itu dan mulutnya seketika ternganga melihat apa yang ada di tangannya.

“Bin, ini-”

“Arka yang bantuin aku buat nyari,” jelas Bintang sebelum Biru sempat merangkai kalimat. Ia masih takjub memandangi benda berwarna gelap yang kini ada di tangannya itu. Sebuah kamera keluaran lawas yang sangat mirip dengan milik ayahnya dulu. Yang sempat membuat Biru kecil harus memohon untuk dibelikan kamera dengan model yang sama.

“Ini…” Biru masih kehilangan kata-katanya.

“Katanya kamu pengen nyobain motret pake kamera kayak punya ayah kamu, kan? Tapi punya ayah kamu udah rusak dan nggak bisa diperbaikin lagi. Jadi aku minta tolong Arka yang lebih ngerti soal kamera buat bantuin aku cari yang mirip sama kamera punya ayah kamu.”

Pandangan Biru mengabur tertutup lapisan bening yang mulai merebak di matanya. Kamera ayahnya itu menyimpan banyak sekali memori untuknya semenjak ia masih kecil dan mulai diajak sang ayah untuk berburu objek foto. Maka hatinya sedih sekali saat kamera itu sudah tidak berfungsi lagi beberapa saat setelah kepergian ayahnya. Dan melihat kamera yang sama meski bukan milik ayahnya di tangannya sekarang ini, membuat Biru kembali dipenuhi kenangan yang sempat tertinggal di belakang.

“Makasih, ya, Bintang. Aku makasih banget,” ucap Biru tulus. Matanya masih belum dapat lepas dari benda yang berulang kali diusapnya di tangan itu.

“Cobain, dong,” ujar Bintang.

Biru mengangguk lalu mengangkat kamera itu untuk membidikkan lensanya ke arah Bintang.

“Mau motret aku?” tanya Bintang kaget.

Biru hanya menjawab dengan gumaman sebelum menekan tombol pembidik pada kameranya. Wajah Bintang yang dihiasi dengan senyum lebar memenuhi lensanya.

Click.


Menghabiskan kue ulang tahun hingga tersisa setengahnya, menikmati menu yang mereka pesan dari kedai, keduanya kini duduk di gazebo mini yang menghadap langsung ke arah pantai. Menyaksikan ombak yang bergulung kemudian pecah bertemu putih pasir pantai menjadi buih.

Obrolan tanpa henti yang dilemparkan keduanya membuat mereka tidak sadar matahari sudah mulai turun ke arah barat. Bias warnanya kali ini tidak menjadikan langitnya jingga, tetapi semburat keunguan yang lembut. Berkali-kali Bintang mengambil gambarnya.

“Bintang.”

“Iya?”

“Makasih, ya, buat hari ini.”

Bintang mengangguk ringan. Kakinya berayun kecil seirama dengan senandung nada yang diciptakan bibir mungilnya.

“Sebenernya aku pengen ngajak kamu ke itu, Ru. Pantai yang dulu kamu pertama kali ngajakin aku buat hunting foto,” ungkap Bintang. “Tapi ke sananya jauh dan susah.”

“Kenapa pengen ke sana?”

“Pengen. Banyak kenangannya.”

What kind of memories?

“Yaa, banyak.” Bintang berhenti sejenak untuk berpikir. “Tapi kebanyakan kenangan soal kamu, sih.”

“Waktu itu pikiran kamu masih kebagi, tuh.”

“Kebagi apa?”

“Sama orang yang satu lagi. Inisialnya B-”

“Iyaa.” Bintang memotong kalimat Biru dengan tawa. “Kamu pasti kesel, deh, waktu itu aku ajakin pulang tiba-tiba. Iya, kan?”

“Bukan kesel karena kamu ngajak pulang. Tapi karena ada yang lebih kamu prioritasin yang nggak mau kamu bagi ke aku. Aku jadi tau posisi aku di situ gimana.”

“Ih, Biruuu.” Seketika Bintang mencondongkan tubuhnya untuk bergelayut memeluk Biru. “Tapi aku beneran nikmatin waktu aku di situ sama kamu, loh. Serius.”

“Iya, percaya.” Biru mengusak rambut Bintang pelan. “Kamu lari-larian kesana-kemari buat motret apa aja yang kamu temuin. Lucu banget. Untung kita belom deket-deket amat waktu itu, kalo nggak kamu udah aku pelukin sama aku unyel-unyel saking gemesnya.”

“Berarti kamu emang udah ada niat begitu, ya, dari awal?” Bintang menyipitkan matanya jenaka pada Biru, mendorong wajahnya lebih dekat ke arah cowok itu hingga ia menerima satu ciuman kilat tepat di bibir yang tidak diduganya.

“Biru!” pekik Bintang pelan sambil memukul lengan pacarnya. “Ini di tempat umum.”

“Nggak keliatan, kok,” balas Biru tak mau kalah. “Udah mau gelap juga, tuh.”

Bintang mencebikkan bibirnya karena ucapan Biru ada benarnya. Tidak terlalu banyak orang yang berada di deretan gazebo mini itu, juga langit yang semakin meredup membuat suasana di sekitar hanya terlihat remang-remang dengan pencahayaan yang sangat minim.

“Ya udah, ulang,” ucap Bintang cepat.

“Yah, dia minta nambah.”

“Hih, berisik??”

Biru mengaduh pelan karena Bintang menyerang pinggangnya dengan cubitan tanpa ampun.

“Iya, iya. Sini deketan makanya,” suruh Biru sambil menarik tangan Bintang agar merapat ke arahnya. Bintang menurut untuk mendekatkan dirinya pada Biru yang kemudian malah membahas hal lain. “Eh, tadi udah bilang ke Arka belum-”

Bintang mendesis kesal karena Biru masih juga mengoceh yang akhirnya membuat Bintang harus mengambil tindakan pertama untuk menghentikan ocehan dari mulut Biru. Serentak Biru terdiam namun tak ayal bibirnya juga menyimpan senyum tatkala Bintang menyerangnya lebih dulu dengan ciuman. Tangan Biru merengkuh tengkuk pacarnya sebelum ia membalas ciuman itu lebih dalam, membuat Bintang terpaksa limbung ke belakang jika tak segera ditahan oleh tangan Biru yang lain.

Suara obrolan manusia yang masih sempat terdengar di telinga seketika lenyap tergantikan oleh debur ombak yang merdu menggema di balik hangat dan lembutnya rasa yang menyentuh juga menyelimuti bilah bibir keduanya. Ketika perasaan sayang semakin besar maka semakin terasa pula makna sentuhan yang menyapu permukaan hangat itu. Bukan hanya sekedar bertaut dan merasa. Ada bahagia, percaya, rapuh, dan berserah yang saling dibagikan dengan sama banyak untuk masing-masing.

Bintang menangkup satu sisi wajah Biru selagi ia mengecup, menyesap, menyalurkan rasa teruntuk seseorang di hadapannya ini hingga lidahnya merasakan sesuatu yang asing. Perlahan Bintang menarik kepalanya untuk memperhatikan wajah Biru.

“Biru, kenapa nangis?” bisiknya halus. Ibu jarinya mengusap jejak air mata di wajah Biru. “Hari ini ulang tahun kamu. No more tears, please.

Biru menggeleng pelan. Membiarkan wajahnya dibelai dengan lembut oleh Bintang.

“Aku sayang banget sama Bintang,” balas Biru dengan bisikan pula. Biar hanya didengar oleh keduanya.

Kalimat Biru membuat Bintang ingin merebakkan air mata yang berhasil ditahannya meski masih memaksa muncul di sudut-sudut matanya.

“Bintang juga sayang sama Biru. Nol koma satu lebih banyak dari sayangnya Biru.”

“Kenapa cuma nol koma satu?”

“Biar tetep seimbang tapi porsi sayangnya Bintang lebih banyak. Aku nggak mau kelebihannya terlalu banyak dari punya Biru karena aku mau disayang Biru sama banyaknya.”

Biru memejamkan matanya beberapa saat sebelum merengkuh tubuh Bintang dalam dekapannya. “Stop gemes atau aku harus sembunyiin kamu kayak gini terus dari orang-orang. Bahaya.”

“Aku cuma begitu sama kamu doang, kok. Tapi kalo kamu mau simpen aku di sini terus juga nggak papa. Betah akunya.”

Biru terkekeh geli atas komentar lucu yang dilontarkan pacarnya itu. Diciuminya puncak kepala Bintang tiada henti.

“Biru, are you happy today?

Mhm. Very.

“Selamat ulang tahun, Biru.”


Amarah itu nyata terasa. Seperti seseorang memukul bagian belakang kepalanya hingga terasa nyeri lalu pergi melarikan diri. Pun juga kabar dari Arka malam itu bagaikan sodoran kayu berujung api untuk Biru.

“Dia tadi udah dibawa balik sama orang, Ru.”

“Siapa?”

“Sori, gue nggak merhatiin. Gue-”

“Nggak papa, Ka. Gue paham. Makasih.”

Tiada satupun kabar dari Bintang malam itu, seperti tanda bahwa Biru belum boleh menjangkaunya saat itu juga meskipun ia ingin. Tetapi batin dan pikirannya sama sekali tak bisa tenang.

Apakah Bintang-nya baik-baik saja?

Dengan terpaksa ia telan bulat-bulat amarah malam itu dan menunggu esok hari hingga ia melihat Bintang lagi. Meski Biru tidak tahu apakah ia sanggup.

Bahkan hingga pagi menjemput, Bintang tetap tak mengungkap apapun pada Biru. Membuat Biru menerka-nerka sudah sejauh dan separah apa kejadian itu mempengaruhi pacarnya. Pada akhirnya Biru tak dapat menahan pertanyaannya.

“Hanan ngapain aja ke kamu?”

Amarah yang sudah ditekannya sejak semalam lepas kembali ke permukaan. Terlebih setelah menyaksikan bagaimana seseorang yang begitu dijaganya terluka oleh perbuatan seseorang yang sangat dikenalnya. Atau mungkin Biru tak benar-benar mengenal Hanan.

Biru tidak sanggup mendengar ucapan Bintang yang menyalahkan dirinya sendiri. Karena Biru merasa ialah yang paling patut disalahkan. Ia yang menjadi jembatan perkenalan Bintang dan Hanan.

Namun apabila Hanan tak pernah mengenal Bintang, apakah kejadian semalam dapat terhindarkan?

Semuanya sudah terjadi dan tak ada yang bisa Biru lakukan. Hanya sesal yang tak menemui jalan keluar.

Apa yang terjadi dengan Hanan serta pipi lebamnya menjadi sesuatu yang tidak Biru katakan kepada Bintang. Biru tahu meskipun pacarnya itu merasa sedih, takut, dan marah, ia pasti tetap tidak mengizinkan Biru untuk melakukan tindakan itu pada Hanan. Dan itu yang membuat Biru semakin merasa tidak berdaya.

Maaf, Bin. Aku nggak selapang dada seperti kamu. Apalagi soal kamu.

Sore itu diajaknya Bintang pergi ke tempat yang dapat menenangkan hatinya. Biru seharusnya sudah tahu bahwa tempat itu adalah dirinya sendiri. Bintang hanya ingin dipeluk Biru dengan erat. Tak bisa dibendungnya air mata yang meleleh acap kali ia teringat kejadian malam itu.

“Nggak papa, nangis aja. Nangis sampe hati kamu lega. Atau kalo kamu mau marah. Silahkan pukul aku yang kenceng.”

“Hati aku sakit, Ru. Tapi aku nggak mau mukul kamu. Aku juga nggak mau mukul temen kamu, aku nggak mau liat dia.”

Detik itu juga rasanya Biru ingin meremukkan Hanan. Pukulan yang diberikannya tadi siang sangat jauh dari kata sepadan. Biru masih memakai akal sehat dan hati nuraninya untuk memperlakukan Hanan sebagai teman dekatnya. Tetapi melihat keadaan Bintang yang seperti ini, Biru ingin mengatakan persetan dengan persahabatan dan segala omong kosongnya. Hanan tak hanya menyakiti Bintang namun juga dirinya!

“Aku harus gimana biar kamu nggak sakit lagi?” tanya Biru pelan.

Bintang menggeleng karena ia memang tidak tahu bagaimana menyembuhkan sakit hati yang seperti ini.

“Bintang.” Biru meraih sisi wajah pacarnya agar ia melihat ke arahnya. Sepasang matanya masih memancarkan sedih yang mendalam. “Aku nggak pernah mikir lain tentang kamu setelah aku dapet kabar waktu itu.”

“Bohong.”

Biru menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak bohong. Aku percaya sama kamu, Bintang. Mungkin sempet aku kaget, tapi aku nggak pernah mikir kamu sengaja-”

“Biru, aku nggak akan pernah,” sahut Bintang menyela kalimat Biru.

“Iya, Bintang. Aku bilang aku nggak pernah mikir kayak gitu tentang kamu,” yakin Biru. “Kamu jangan ngerasa bersalah lagi sama aku. Itu yang masih ngebebanin hati kamu, kan?”

Bintang mengerjapkan bulir air matanya. Dan Biru memeluknya lagi lebih erat.

“Udah berapa kali aku nyakitin kamu, sih, Ru… Masalah Bara, terus ini.”

“Bintang…” sela Biru tak suka. “Jangan samain yang dulu sama sekarang. Beda, Bin. Kamu beneran nggak ada kendali sama apa yang terjadi kemarin malem. Kamu cuma kebetulan ketemu sama Hanan. Iya, kan?”

Bintang hanya diam.

“Iya, aku marah. Tapi bukan sama kamu. Sama Hanan.” Biru berpikir sejenak sebelum ia melanjutkan ucapannya. “Aku pukul dia tadi.”

Mata Bintang melebar. “Apa?”

“Iya, maaf, kamu udah bilang jangan ada berantem fisik. Tapi aku mukulnya sekali doang, kok.”

“Kenceng?”

“Lumayan.”

“Bagus, deh.”

Biru akhirnya dapat menyunggingkan senyum mendengar komentar dari Bintang. Senyum itu juga dibalas Bintang.

“Udah sekali aja,” pesan Bintang. Ia lalu meraih tangan Biru dan mulai memeriksanya. “Kamu luka, nggak?”

“Ngilu dikit, sih. Tapi nggak apa-apa.”

Biru membebaskan tangannya dan kembali meraih sisi wajah Bintang. Kemudian ia menjatuhkan ciuman-ciuman lembut yang singkat pada bibir cowok manis itu.

“Biar nggak ada lagi bekasnya,” komentar Biru.

Perlakuan Biru tak ayal membuat Bintang tersenyum geli. Meski sebenarnya Bintang tak benar-benar mendapat ciuman itu tepat di bibir, tapi ia membiarkan Biru melanjutkan ciuman-ciuman kecilnya.

“Kemarin kamu dianterin balik sama siapa?” tanya Biru kemudian. “Aku harus bilang makasih sama dia.”

Bintang langsung mencelos lagi. Hela napasnya sangat kentara.

“Kenapa?” tanya Biru lagi.

“Ck, kayaknya kamu nggak usah tanya itu, deh, Ru,” balas Bintang dengan bibirnya yang mengerucut.

“Kok?”

“Kamu pasti kesel lagi.”

“Kenapa harus kesel?”

“Yah, soalnyaaa-”

“Siapa, ih? Bukan kesel aku malah penasaran.”

“Janji jangan kesel!”

“Enggak, astaga.”

“Kak Edgar…”

“Siapa??”

“Tuh, kan, kesel!”

“Nggak kesel?”

“Nadanya begitu. Pasti kesel, kan??”

“Nggak, Bintang. Aku cuman kaget- soalnya… Lho, lho, kok nangis lagi…”

“Tau, ah, Biru. Tadi harusnya nggak usah nanya.”

“Ya, udah, iya. Maaf. Jangan nangis lagi.”

Aneh bagi Biru karena ia sama sekali tak merasa cemburu pada Edgar. Mungkin karena saat ini ia sudah yakin akan perasaan Bintang sehingga untuk masalah seperti Edgar tak lagi mengganggunya seperti dulu.

Ya, Biru tidak lagi terganggu soal Edgar. Tidak, kan? Tetapi Biru ingin bertanya sedikit apakah Edgar melakukan sesuatu untuk menenangkan Bintang malam itu. Hanya ingin bertanya sedikit saja. Tidak cemburu, kan?


Jaehyun terpaksa keluar dari ruangan setelah ia berkali-kali mengatakan bahwa ia tidak memiliki janji apapun dengan siapapun hari ini. Namun staf resepsionis kembali mengganggunya dengan meyakinkan bahwa tamunya tidak bersedia untuk pergi sebelum bertemu dengannya.

Decakan keras yang diciptakan Jaehyun mengiringi keterkejutannya kemudian begitu ia menemui seseorang yang mengaku sudah membuat janji dengannya siang itu.

“Changmin?”

Yang disebut namanya seketika berdiri dengan wajah ditekuk karena menunggu terlalu lama. Jaehyun langsung menghampirinya.

“Ngapain ke sini?” bisik Jaehyun seraya menggandeng lengan Changmin untuk membawanya pergi keluar dari area kantor.

“Nggak boleh?” tanya Changmin, membiarkan dirinya mengikuti langkah cepat Jaehyun entah ke mana.

“Kamu nggak bilang dulu ke aku kalo mau ke sini.”

Changmin menyentakkan tangannya dari cekalan Jaehyun. Keduanya berhenti di tepian jalan yang masih ramai.

“Lo nggak bakal ngizinin kalo gue bilang mau ke sini.”

Tak bisa dibantah. Selain karena Jaehyun tak mempunyai alasan yang bagus, ia juga menangkap kekesalan pada kalimat Changmin. Ia kemudian menyerah dan membawa Changmin untuk masuk ke salah satu kafe sederhana di mana tidak banyak orang yang mengenal Jaehyun. Cowok itu hanya tidak ingin mengundang perhatian atas percakapannya dengan Changmin.

“Pesen minum dulu aja, ya?” bujuk Jaehyun setelah mereka duduk berhadapan di dalam kafe.

“Gue ke sini mau ngomong, bukan mau minum!” gerutu Changmin kesal. Sepertinya kepala anak itu sudah panas dan siap untuk meledak.

Brown sugar boba iced coffee dua, Mas. Yang large.”

Jaehyun tetap menyebutkan pesanannya pada karyawan kafe yang sudah menghampiri meja mereka.

Medium aja, Mas,” sahut Changmin sebelum karyawan itu pergi, lalu bergumam pelan. “Diabetes lo minum boba banyak-banyak.”

Sepeninggal karyawan kafe itu, Jaehyun menarik napas dan menghelanya dengan berat. Changmin masih menatapnya dengan raut wajah kesal, tetapi kali ini cowok itu tak mengucap apapun lagi. Mungkin menunggu Jaehyun untuk menyadari tujuannya datang secara langsung menemuinya.

Jaehyun memeriksa arloji di pergelangan tangan kirinya dan saat itulah Changmin akhirnya membuka suara lagi.

“Sibuk, ya? Makanya gue mau langsung ngomong aja biar lo nggak kehilangan banyak waktu buat ngurusin kerjaan lo.”

Sindiran dalam ucapan Changmin bisa ditangkap oleh Jaehyun. Ia menggerakkan tangannya untuk mempersilahkan cowok di depannya itu berbicara. Changmin segera membenarkan posisi duduknya sebelum buka mulut.

“Gue mau bahas yang kemarin di chat. Kenapa lo nggak bilang ke Mama kalo kita udah putus?”

“Kan aku udah bilang, Mama waktu itu masih sakit.”

“Sekarang udah sembuh.”

Helaan napas lagi. Jaehyun menekan pangkal hidungnya dengan ibu jari, memutar otak untuk mencari cara menanggapi Changmin tanpa harus adu mulut di tempat umum. Kemungkinannya sangat kecil karena Changmin sudah memendam dan menahan semua kekesalannya untuk dilepaskan hari ini juga.

“Emangnya kenapa kamu pengen banget Mama tau?” tanya Jaehyun sehalus mungkin. “Kamu masih ketemu Mama lumayan sering, nanti kalo intensitas kamu ketemu Mama udah berkurang banget pasti juga Mama bakal paham sendiri, kok.”

Changmin mendesis gemas. “Masalahnya lo masih suka nyuruh gue buat ketemu Mama! Yang anaknya itu lo, Kak. Bukan gue.”

“Aku minta tolong, Changmin. Bukan nyuruh. Lagian aku kemarin-kemarin itu juga lagi sibuk.”

“Kapan, sih, lo nggak sibuknya?” sahut Changmin. “Dari masih pacaran sama gue sampe sekarang alasan lo itu mulu. Apa, sih, yang sebenernya lo cari, Kak? Padahal udah ada gue sama Mama di deket lo, yang selalu apresiasi lo apapun yang lo lakuin. Tapi kenapa lo nggak pernah liat ke kita?”

Jaehyun terhenyak. Mendengar isi hati Changmin yang paling jujur seperti ini membuatnya serasa ditampar.

“Mama, tuh, sering banget sedih mikirin lo. Mikirin kerjaan kantor lo yang kayak nggak ada habisnya, dia khawatir sama lo. Mama juga sering cerita soal masa kecil lo, waktu lo masih suka main sama Mama. Gue bahkan lebih banyak denger Mama cerita soal masa kecil lo daripada lo yang sekarang, yang selalu Mama sedihin. Mungkin Mama akhirnya jatuh sakit itu juga karena terlalu banyak khawatirin lo, Kak.”

“Tapi aku kerja juga buat Mama...”

“Nggak, lo kerja buat diri lo sendiri,” sela Changmin. “Mama nggak butuh pencapaian lo yang tinggi itu, Kak. Mama cuma pengen dikasih waktu lo yang mahal harganya itu.”

Percakapan mereka terhenti ketika pesanan datang. Dua buah gelas berukuran sedang tersaji di atas meja. Jaehyun meminta Changmin untuk menikmati minumannya dulu.

Changmin menyeruput minumannya melalui sedotan berlubang besar. Manis terasa di lidahnya. Changmin mengeluh dalam hati.

Minumannya enak, tapi Changmin merasa sedih.


“Aku banting tulang begini buat Mama,” ucap Jaehyun. “Juga buat kamu...”

Changmin menaikkan alisnya bingung. “Buat gue?”

Jaehyun mengusap wajahnya yang terlihat letih akibat beban kerja dan juga apa yang dihadapinya sekarang.

“Ada niat buat hidup sama kamu, Changmin. Sebenernya.”

“M-maksudnya?”

“Nikah sama kamu.”

Kali ini Changmin benar-benar terkesiap. Tak ada sepatah kata yang dapat disuarakannya. Pikirannya mendadak kosong untuk sepersekian detik hingga suara Jaehyun membuatnya kembali tersadar.

“Aku mikir aku harus kerja ekstra keras biar bisa menuhin hal itu. Aku terlalu fokus sama target yang aku bikin sendiri sampe kamu tiba-tiba minta putus. Waktu itu aku bener-bener bingung, aku udah berbuat apa sampe kamu pengen udahan. Kamu bilang kamu capek karena aku terlalu sibuk. Padahal aku juga capek kerja, buat kamu juga.”

Tenggorokan Changmin tiba-tiba terasa sakit. Tapi ia harus menahannya.

“Rasanya semua yang udah aku kejar jadi sia-sia. Tapi aku nggak bisa berhenti, karena itu akhirnya jadi pelarian aku. Kamu minta udahan itu ternyata bikin aku terpukul banget, Changmin. Aku nggak bilang sama kamu. Karena ego aku juga, maaf.”

“Gue sebel banget sama lo, Kak...” lirih Changmin.

“Maaf...”

Changmin menatap gelas di depannya dan pandangannya mulai mengabur. Ia terisak pelan. Jaehyun seketika terkesiap. Tidak menyangka Changmin akan menangis di hadapannya.

“Changmin, kenapa nangis?”

Mengabaikan pertanyaan Jaehyun, Changmin mendorong gelasnya ke tengah meja.

“Kakak kenapa pesen ini?”

Jaehyun mengerutkan keningnya bingung atas pertanyaan Changmin yang tiba-tiba, namun tetap dijawabnya.

“Kamu suka brown sugar boba, kan?”

Jawaban Jaehyun membuat Changmin mencebikkan bibirnya kemudian menelungkupkan kepalanya di atas lengannya yang terlipat di atas meja, terisak lebih keras. Jaehyun langsung kelabakan. Diusapnya pundak Changmin, lalu kepalanya.

“Kenapa nangis, sih?” bisiknya. “Jangan nangis di sini.”

Changmin menggelengkan kepalanya, kemudian mengucap sesuatu meski tak terlalu jelas karena suaranya teredam. Jaehyun terpaksa bangkit dari kursinya untuk berjongkok di sebelah Changmin. Diraihnya satu tangan Changmin untuk digenggam.

“Kenapa?” tanyanya lagi.

Changmin mengucek matanya yang terasa pedih. “Kakak tau gue suka brown sugar, kakak juga tau gue suka martabak. Tapi kenapa dulu nggak pernah nyenengin gue pake hal-hal kecil kayak gini? Gue selalu mikir lo nggak peduli apapun tentang gue, Kak.”

Seandainya Jaehyun tahu bahwa semudah itu untuk membuat Changmin bahagia. Semudah itu membuat Changmin merasa diperhatikan. Tetapi ia hanya melihat dan mengejar hal-hal besar, mengabaikan kebahagiaan yang sederhana.

Mata Jaehyun kemudian menangkap gelang yang tersemat di pergelangan tangan Changmin yang kini digenggamnya. Napasnya tercekat.

Kenapa Changmin masih memakai gelang pemberian darinya?


Night will always feel quiet and safe when he's in between those arms.

Wajah Arka selalu terlihat damai saat matanya terpejam, terlelap dalam balutan peluk Hanan dan sinar rembulan yang menyusup melalui celah tirai. Deru nafasnya halus terdengar. Arka-nya tidur dengan lelap.

Kantuk belum juga menghampiri Hanan meski ia sudah menemani Arka yang tertidur selama berjam-jam. Mungkin ia lebih memilih untuk terjaga, agar ia dapat menyaksikan wajah yang damai itu lebih lama. Agar ia dapat menghalau mimpi buruk yang berniat mendatangi tidurnya.

Jemari Hanan menyingkirkan helai rambut yang terjatuh menutupi wajah Arka. Membiarkan dirinya melihat wajahnya dengan lebih jelas.

“Ka, lo kalo tidur kenapa mirip banget sama bayi, ya?” bisik Hanan dalam gelap dan hening kamarnya. “Bedanya lo nggak ngisep jempol aja.”

Hanan mengusap pelan pipi Arka. Sayang. Tetap bergeming dan tak terbangun dari tidurnya. Ia kemudian kembali memeluk erat, menjatuhkan ciuman pada puncak kepala dan tak melepas.

Gundah pada hati Hanan karena untuk dapat melihat damainya Arka seperti ini, ada tangis yang harus tumpah. Arka datang padanya untuk mengadu. Dan Hanan yang selalu membuka kedua lengan lebar-lebar.

“Nggak papa, nangis aja. Gue masih punya banyak stok baju kalo baju gue basah. Gue masih punya dua lengan yang bakal meluk lo terus. Gue masih Hanan yang selalu ada kalo lo butuh.”

Hanan mengerjapkan mata kala ia merasa tubuh dalam pelukannya bergerak.

”...Nan?”

Suara serak Arka memanggilnya.

“Hm?”

“Gerah…”

“Oh, sori.”

Hanan segera melonggarkan dekapannya untuk memberi Arka ruang. Tetapi cowok itu tetap menempel padanya. Tak ingin melepas.

“Kencengin aja AC-nya,” pinta Arka, masih terpejam sembari memeluk Hanan.

Menyimpan senyum tipis, Hanan meraih remot AC dan menekan tombolnya sebanyak dua kali. Udara dingin yang tercipta seketika mengisi ruangan.

“Udah?” tanya Hanan.

Arka mengangguk kecil sambil tersenyum sebelum kembali terlelap.

Diletakkan kembali remot AC di atas nakas kemudian Hanan menarik tubuh Arka dalam pelukan yang lebih erat. Kali ini ia mencoba memejamkan matanya juga.

Samar-samar ia mendengar gumaman Arka dalam pelukannya.

“Makasih, Hanan.”

Setelahnya Hanan dapat tertidur dengan lelap, menyusul Arka ke dalam mimpi yang hanya tercipta untuk berdua.