purplish

Bagi Bintang, hidup yang dijalaninya saat ini sudah cukup. Beberapa orang mungkin memiliki hal-hal yang ingin digapai. Tetapi Bintang merasa apa yang didapatnya setiap hari telah cukup untuk membuatnya bahagia. Bintang tidak mencari-cari.

Terlebih ada Bara yang hadir di dalamnya.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih. Bintang berdiri di depan gerbang rumahnya sambil sesekali menaruh ponselnya di telinga. Seseorang yang ditunggunya tak kunjung datang. Ia hampir menyerah dan memutuskan untuk memesan ojol ketika suara motor terdengar dari kejauhan. Bintang menurunkan ponselnya dan menghela nafas lega.

“Lama banget, sih, Bar!” keluh Bintang sambil memukul pelan punggung Bara begitu cowok itu tiba.

Bara mengangsurkan helm yang segera diterima Bintang.

“Nganter Adis dulu tadi. Dia bawa prakarya ke sekolah.”

“Hih, bilang, dong? Kan, gue bisa berangkat sendiri nggak usah nungguin lo.”

“Belom telat juga ini. Buruan naik.”

“Gue ada kelas pagi, Baraaa!” protes Bintang sambil kepayahan naik ke atas motor Bara.

“Iya udah, bawel, ini juga berangkat. Pegangan.”

Meski masih menggerutu Bintang tetap menuruti perintah Bara sebelum cowok itu melajukan motornya dengan kecepatan penuh.


“Bar, Bar, mampir nge-print bentar!” seru Bintang ketika motor Bara hampir mengambil belokan menuju gerbang kampus.

“Lah, katanya udah telat?” komentar Bara sembari memutar arah menuju kios fotokopi.

Bintang meloncat turun begitu Bara menghentikan motornya. Masih dengan helm yang terpasang di kepalanya, Bintang menghampiri pemilik kios sambil merogoh flashdisk miliknya dari dalam tas.

“Jangan lama-lama!” pesan Bara. Ia memarkirkan motornya agar tak menghalangi orang-orang yang lewat di sekitar kios fotokopi itu. Kemudian dilangkahkan kakinya menuju kios dan menyandarkan punggungnya di bagian luar kios sambil menunggu Bintang.

Tak berapa lama Bintang menghampirinya. “Eh, Bar, masih ada antrian. Lo buru-buru, nggak?”

“Lo yang masuk pagi, kan?” tanya Bara. “Gue palingan mau mampir kantin dulu. Belom sarapan.”

“Aduh, gimana, ya??”

“Nggak gimana-gimana. Buruan.”

Bintang menghentakkan kakinya bingung lalu kembali masuk ke kios. Bara masih setia bertahan di tempatnya untuk menanti sambil melihat ramainya jalanan di depan kampus.

“Bar.”

Suara Bintang kembali mengusiknya.

“Apa lagi? Jadi antri nggak, sih?”

“Jadiii. Tapi lo gimana belom sarapan?” Ekspresi wajah Bintang terlihat khawatir. “Apa lo duluan aja, deh.”

“Terus lo gue tinggal?” Bara mengangkat alisnya samar. “Yakin? Jalan dari gerbang depan ke gedung lo jauh, lho.”

Bintang melempar pandangannya ke arah gerbang kampus yang ramai oleh mahasiswa berkendaraan memasuki area kampus. Bibirnya mengerucut bimbang. Evan sudah pasti sampai di kampus lebih dulu dan malas menjemput Bintang kalau diminta mendadak.

“Udah sana antri. Gue tungguin.”

Seakan dapat membaca kebimbangan Bintang, Bara menyuruhnya untuk kembali masuk ke dalam. Bintang akhirnya mengangguk cepat lalu membalikkan badannya meninggalkan Bara. Masih ada tiga orang yang memakai komputer sebelum giliran Bintang tiba.

Bintang mengetukkan ujung sepatunya ke lantai sambil menunggu pengunjung di depannya selesai. Mengedarkan pandangannya ke sekitar, Bintang menangkap figur Bara yang masih menunggu di luar melalui bingkai jendela besar di sisi bangunan kios itu. Bintang tersenyum kecil. Ia membuka tasnya untuk mengambil kamera berukuran mini dan melangkah mendekati kaca jendela.

Cowok dengan jaket hitam yang warnanya sudah pudar dan tas ransel lusuh di punggungnya itu terlihat fokus memandangi padatnya jalanan. Kedua tangannya terlipat di depan dada dan sesekali rahangnya yang tegas bergerak untuk menyenandungkan sesuatu.

Klik. Klik.

Profil samping Bara tertangkap sempurna oleh kamera milik Bintang. Ia lalu menurunkan kameranya untuk mengabadikan memori saat itu dengan lensa mata.

Meski Bintang selalu ragu atas label perasaannya terhadap Bara, tetapi ia tahu bahwa cowok itu membuatnya merasa aman dan nyaman. Berada di sekitar Bara adalah hal yang diinginkan Bintang. Ia tidak merasa perlu untuk segera mencari tahu apa arti perasaannya pada Bara. Bintang hanya ingin berada dekat dengannya.

Kamera mininya dimasukkan kembali ke dalam tas dan Bintang mengingatkan dirinya untuk segera mencetak fotonya nanti malam.


Satu mangkuk penuh soto ayam dan beberapa buah gorengan sudah siap untuk disantap Bara ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Berdecak pelan karena acara makannya yang terganggu, Bara mengeluarkan benda yang masih bergetar itu dari saku jaketnya.

“Ya, Ren?”

Bara memegangi ponsel dengan tangan kiri sementara tangan kanannya mulai bergerak untuk menyendok sambal ke mangkuk sotonya.

“Gimana?” tanya Bara ketika seseorang di seberang memberikan kabar. Tangannya mengaduk kuah soto agar sambalnya tercampur sempurna.

“Lo hari ini jadi pinjem motor, nggak? Soalnya gue ada kerkel nanti sore, biar gue sesuaiin dulu jamnya.”

“Ooh. Mau nugas lo ntar?” Bara menyendokkan sesuap ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah ia berpikir sejenak. “Gue belom tau Bintang selesai ngampus jam berapa. Gue tunggu kabar dari Bintang dulu kayaknya.”

“Ada kemungkinan lo nggak jadi ke sana?”

Bara terdiam. Sudah beberapa minggu belakangan ini ia tak lagi rutin mendatangi tempat itu. Waktunya selalu bentrok dengan Bintang yang minta dijemput atau diantar kesana-kemari. Padahal bisa saja Bara beralasan untuk tak memenuhi permintaan Bintang. Tetapi pada akhirnya ia tetap menaruh Bintang di atas yang lainnya.

“Bar?”

“Eh, sori, Ren. Gue tetep tergantung Bintang. Nggak bisa mastiin.”

“Oke. Kalo gitu kunci garasi gue tinggal aja, ya? Biar lo bisa langsung ambil.”

Bara meletakkan sendoknya lalu mengoper ponselnya ke tangan kanan.

“Jangan, jangan. Tetep lo bawa kuncinya. Jangan ninggal kunci sembarangan. Kalo ketauan orang lain bisa dimaling motor lo. Ngamuk nyokap lo ntar.”

Suara tawa di seberang.

“Nyokap gue mungkin malah lupa kalo gue punya motor itu, Bar. Orang lo terus yang pake.”

Bara menarik sudut bibirnya menyetujui ucapan Rendra.

“Udah, nggak usah. Jangan pernah ninggal kunci sembarangan. Gampang nanti gue pake motor sendiri juga nggak papa.”

“Oke, deh.”

“Hmm.”

“Bar.”

“Ya?”

“Semoga Kak Bintang hari ini butuh dianterin kemana-mana.”

Bara akhirnya melepas tawa pelan. Ia tahu apa maksud sahabatnya itu. Jika Bintang adalah orang yang menentang keras untuk Bara kebut-kebutan di jalan, maka Rendra sebenarnya menginginkan hal yang sama. Hanya saja ia tak seperti Bintang yang dapat membuat Bara takluk.


Sama seperti namanya, Bintang juga suka menikmati pemandangan langit malam yang bertabur bintang. Apalagi ditemani oleh petikan senar gitar yang selalu Bara bawa setiap mereka duduk berdua di atap rumah Bintang.

Bara bersenandung pelan diiringi jemarinya yang memetik senar gitar. Ia biarkan pundaknya terbebani oleh kepala Bintang yang bersandar di sana, melihat ke arah langit dan menghitung rasi bintang.

“Bintang kecil, di langit yang biru…” gumam Bintang. “Kenapa biru, ya? Padahal langit malem itu gelap bukan biru.”

“Biru donker kali, maksudnya,” celetuk Bara di sela-sela senandungnya.

Bintang mengerutkan keningnya tak setuju.

“Bintang nggak muncul di langit biru. Harusnya diganti lirik, bintang kecil di langit yang gelap.”

“Nggak sesuai buat anak-anak, dong, Bin. Kesannya serem.”

“Tapi jadi pembodohan, tauuu! Kalo langitnya biru cerah, kan, nggak ada bintangnya.”

Bara menghentikan petikan gitarnya. Ikut mengamati kumpulan bintang yang berkerlap-kerlip.

“Di langit biru ada bintangnya. Tapi nggak kecil.”

“Mana? Nggak pernah liat, tuh?” ledek Bintang.

“Matahari, kan, termasuk bintang juga.”

Bintang membulatkan bibirnya lalu perlahan berubah menjadi cengiran lebar. Kepalanya mengangguk-angguk setuju.

“Iya, juga, ya?” Ia kemudian tertawa kecil. Telunjuknya berubah arah dari menunjuk bintang-bintang di langit menuju dirinya sendiri. “Bintang kecil…” Lalu ia mengarahkan telunjuknya ke pipi Bara. “Bintang besar!”

Bara tersenyum miring atas sebutan yang diberikan Bintang untuknya. Ibunya memberi nama Baraditya mungkin memang dengan harapan agar dirinya dapat secerah matahari. Meski kenyataannya kini matahari itu sedang redup.

Dan bintang kecil di sampingnya inilah yang menghidupinya.

“Tapi gue suka sama nama lo, deh, Bar,” ucap Bintang tiba-tiba.

Bara bergumam pelan. “Kenapa suka?”

“Suka. Kayak cocok aja sama lo. Bara. Hangat.”

“Hangat?”

Bintang mengangguk cepat. “Iya, keberadaan lo bikin gue ngerasa kayak gitu.”

Kalimat Bintang yang diucap seperti tanpa beban itu membuat Bara tercekat. Entah apa Bintang mengetahui bahwa ucapannya itu memberi efek yang lain pada hati Bara.

Diamnya Bara membuat Bintang menyadari apa yang baru saja dikatakannya.

“Eh, aneh, ya, omongan gue?”

Bara menarik senyum tipis kemudian menggeleng. Kembali ia menekuri gitarnya.

“Dulu ada juga yang pernah ngomong kayak gitu. Persis.”

Bintang melebarkan matanya. “Siapa?”

“Ibu.”

Sinar di mata Bintang perlahan memudar mendengar jawaban Bara. Ia tidak bermaksud membuat Bara teringat kembali akan ibunya. Perlahan ia merapatkan dirinya pada Bara sebelum memeluk lengan cowok itu dengan kedua tangannya.

“Bintang kecil sama bintang besar sama-sama ada di langit. Mungkin nggak pernah saling nyapa, tapi mereka ada di tempat yang sama.”

Bara mendengarkan celotehan Bintang di antara petikan gitarnya yang kembali ia mainkan. Seakan nadanya ikut mengiringi kalimat yang diucapnya.

“Bara sama ibunya Bara juga gitu. Tetap ada di tempat yang sama, walaupun nggak saling sapa.”

Dekat. Itu yang dimaksud oleh Bintang. Dan seperti keberadaan Bintang saat ini yang begitu dekat dengannya, Bara tidak ingin menjadi bintang besar. Bara ingin menjadi langit yang akan selalu melingkupi bintang-bintang. Bara ingin menjaga Bintang selalu di dekatnya.

Celotehan Bintang tak terdengar lagi. Petikan senar gitarnya telah membawa cowok itu ke alam mimpi. Dalam mimpi Bintang merasa hangat. Namun hangat itu asalnya hanya dari Bara yang mengecup puncak kepalanya.

Besok adalah hari kelulusan.

Dan hari ini Younghoon harus melakukan sesuatu sesuai kata hatinya untuk pertama kali setelah tiga tahun ini ia mengesampingkan perasaannya.

Ia harus mengatakannya lebih dulu.

Langkah kakinya cepat menaiki anak tangga menuju rooftop di mana Hyunjae berencana untuk mengungkapkan perasaannya pada seseorang. Kepalan tangannya menguat ketika ia sampai di sana. Dua sahabatnya sudah lebih dulu datang.

Berhadapan satu sama lain dengan jarak yang dapat dikikis dengan satu langkah. Raut wajah Hyunjae adalah hal pertama yang Younghoon perhatikan.

Apakah ia sudah terlambat?

Apakah Jacob menolak Hyunjae?


Besok adalah hari kelulusan.

Hari yang berusaha Jacob abaikan dari kalender. Sebab ada satu hal yang selalu memberatkan hatinya setiap ia mengingat akan datangnya hari itu.

Hari di mana ia harus membuat pengakuan yang disimpannya cukup lama. Mungkin tak hanya Hyunjae yang memendam. Mungkin selama ini ia juga adalah seorang munafik.

Jacob mendorong pintu yang mengarah ke rooftop. Dilihatnya satu sahabatnya ada di sana. Hatinya semakin berat.


Besok adalah hari kelulusan.

Hyunjae sudah bertekad akan melakukan ini karena ia tak tahu apakah ada kesempatan lain. Mencoba mengabaikan resiko apa yang mungkin terjadi setelah pengakuannya.

Karena ia memang telah jatuh pada salah satu sahabatnya.

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Hyunjae yang sampai di rooftop paling awal. Seseorang berjalan ke arah Hyunjae yang kemudian segera melompat turun dari duduknya.

Did I miss it?

Hyunjae menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaannya.

“Nunggu Younghoon dulu.”

Okay.” Jacob mengangguk singkat. Ia mengedarkan pandangan ke area terbuka di tempat paling tinggi di sekolahnya itu. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Jacob menarik nafasnya sebelum bertanya lagi. “Jadi… beneran cuma antara gue sama Younghoon?”

“Maksudnya?”

“Gebetan lo.”

Raut wajah Hyunjae mengeras. Tak ada jawaban yang terucap dari bibirnya.

Jacob sedikit banyak sudah menduganya. Ia hanya berharap orang itu benar-benar bukan dirinya.

“Younghoon, kan?”

“Cob, gue-”

Jacob mengangkat satu tangannya, senyumnya terulas tipis. “Nggak usah dijelasin sekarang. Sebentar lagi gue juga bakal tau, kan?”

Hyunjae mendenguskan tawa pendek. “Iya.”

Desau angin menyapa telinga keduanya. Membuat mereka sesaat disergap suasana yang damai namun juga menyimpan banyak resah.

Jacob memperhatikan Hyunjae yang mengayunkan satu kakinya melawan angin. Hatinya terasa semakin berat berada di sini. Dan tak tahu apakah kedatangan Younghoon nanti akan membuat semuanya semakin sulit untuknya.

“Je.”

“Hm?”

“Gue tau lo hari ini mau bikin pengakuan. Tapi, boleh nggak gue ngelakuin hal yang sama?”

Perhatian Hyunjae mulai terfokus pada Jacob.

“Lo juga mau confess?”

Kind of.

“Lo punya gebetan?”

Jacob tertawa pelan. “Bukan itu. Hal lain.”

Mendapat jawaban seperti itu membuat Hyunjae menjadi lebih was-was.

“Hal lain?” tanyanya pelan.

Jacob mengangguk. “Udah gue pertimbangin dari lama. Gue pikirin bener-bener, sempet maju-mundur juga. Tapi kayaknya harus gue lakuin. Gue-”

“Bentar, bentar,” sela Hyunjae. “Lo nggak mau nunggu Younghoon dulu? Kayaknya ini masalah serius.”

Hela nafas Jacob begitu kentara. Hyunjae jadi semakin khawatir atas kemungkinan hal yang diucap Jacob adalah sesuatu yang membuat remuk hati.

“Mungkin alasannya sama kayak lo dulu. Kenapa lo nggak langsung cerita ke Younghoon, dan lebih dulu cerita ke gue. Karena gue nggak siap liat Younghoon sedih.”

Hyunjae melangkah mendekati Jacob, menatap lurus pada kedua iris matanya.

“Cob, ada apa?”

Setelah menelan ludahnya dengan susah payah, Jacob kembali bersuara. Kali ini terdapat getar dalam suaranya.

“Lo masih inget gue sempet kepikiran apply beasiswa ke luar negeri?”

Suara Jacob hampir tak tertangkap oleh telinga Hyunjae. Di saat yang bersamaan juga terdengar begitu jelas. Hyunjae bagai kehilangan kata-katanya. Ia hanya menggeleng lambat.

“Nggak, Cob. Jangan bilang-”

“Hyunjae, gue ambil kesempatan itu.”

Shit.” Hyunjae mengumpat keras. Ia mencengkeram helai-helai rambutnya dengan kedua tangan, membalikkan badan ke arah lain untuk melontarkan lebih banyak umpatan sebelum menghadap Jacob kembali. “Cob, tapi lo udah janji sama Younghoon buat stay di sini!”

“Makanya!” Jacob membalas tak kalah frustrasi. “Makanya gue nggak tau gimana caranya ngasih tau dia soal ini.”

Hyunjae mengontrol dirinya agar dapat berpikir jernih.

“Cob, gue sama sekali nggak melarang lo buat ngejar cita-cita lo. Tau sendiri gue selalu dukung pilihan lo. Tapi, kenapa lo nggak jujur kalo lo ambil kesempatan itu?”

“Je, gue selalu jadiin kalian berdua prioritas. Bahkan di atas pilihan gue sendiri. Dan gue baru sadar belakangan ini. Gue juga mikir lama soal beasiswa itu. Apakah sepadan ninggalin kalian berdua demi hal yang gue pengenin? Apakah gue egois? Tapi selama ini gue baru sadar kalo gue jarang dengerin diri sendiri. Dan saat kesadaran itu mulai muncul, gue udah terlalu jauh mentingin kalian sampe gue gatau gimana caranya buat jujur soal itu.”

Hyunjae mendecakkan lidahnya. “Gue akan senang hati ngelepas lo demi cita-cita lo, Cobie. Tapi, Younghoon…”

Tak ada yang sanggup untuk melontarkan suara lagi. Keduanya tahu betapa Younghoon selalu menginginkan mereka untuk bersama-sama.

Suara langkah kaki memecah keheningan yang tercipta untuk beberapa saat. Ketika keduanya menoleh untuk melihat seseorang yang datang, ada dua hati pula yang menyimpan kekhawatiran untuk hal yang berbeda.

Dan satu hati yang telah mantap untuk melakukan sesuatu.

“Hyunjae udah confess?”

Pertanyaan Younghoon terasa begitu remeh meski itu adalah hal utama yang seharusnya terjadi hari ini.

Tak ada yang menjawab hingga ia menatap satu persatu wajah sahabatnya. Mulai dari Jacob yang tampak menghindari pandangannya, kemudian Hyunjae yang perlahan menggelengkan kepalanya.

“Belom, Hoon,” jawabnya pelan. “Gue nungguin lo dateng.”

Younghoon mengangguk cepat. “Oke, berhubung lo belom confess. Gue boleh ngomong duluan?”

“Hoon-”

“Hyunjae, sori,” potong Younghoon tak mengizinkan Hyunjae melanjutkan kalimatnya. “Gue juga suka sama Jacob. Mungkin jauh lebih lama daripada lo.”

Ketegangan yang mengisi udara di sekitar mereka sebelumnya kini terasa berkali-kali lipat lebih pekat setelah kata-kata itu meluncur dari bibir Younghoon. Dan Younghoon menyalahartikan kebisuan mereka sebagai reaksi dari dua sahabat yang tak tahu-menahu tentang kenyataan tersebut, meski ada hal lain yang jauh lebih penting daripada itu.

“Sori gue nggak pernah ngomong. Karena gue emang nggak berencana buat itu,” ucap Younghoon. “Gue lebih mentingin persahabatan kita bertiga daripada perasaan gue. Tapi sejak Hyunjae bilang kalo dia mau confess, gue jadi kepikiran. Apa harus gue ngorbanin perasaan gue lagi?”

Penjelasan Younghoon semakin menambah dilema bagi kedua temannya. Namun Younghoon masih belum mengerti.

“Sori…”

Hanya itu yang dapat terucap oleh Younghoon sebab sahabatnya masih terpaku.

“Hoon,” panggil Hyunjae seraya cowok itu mendekatinya, meraih kedua bahunya. “Bukan Jacob.”

Younghoon mengangkat alisnya sekilas. Mencoba mengartikan perkataan Hyunjae.

“Bukan… Jacob?”

Hyunjae menggeleng. “Bukan. Gebetan gue bukan Jacob.”

Setelah melepaskan Younghoon kembali, Hyunjae mengusap wajahnya sembari melangkah menjauh darinya. Younghoon semakin mengerutkan kening atas kebingungan yang melanda.

“Hoon.” Kali ini Jacob yang memanggil dengan hati-hati. Dihampirinya Younghoon yang masih bertahan di tempatnya. “Gue minta maaf.”

“Kenapa minta maaf? Lo nggak salah apa-apa, gue yang harusnya minta maaf udah-”

“Younghoon,” panggil Jacob lagi dengan tegas, menghentikan kalimat Younghoon. “Maaf, gue nggak bisa bales perasaan lo.”

Seketika Younghoon terdiam. Lama.

Jacob menatap jauh pada Hyunjae yang masih memunggungi mereka. Tetapi ia yakin cowok itu mendengarnya.

“Gue juga minta maaf, karena gue nggak bisa nemenin lo di sini.”

Hembusan angin yang meniup helai rambut serta ujung seragam mereka terasa semakin kuat. Dan dingin.

Sedingin perasaan yang tersimpan di dalam masing-masing hati ketiga anak yang mulai beranjak dewasa itu.

Helaan napas terdengar untuk kesekian kalinya dari bibir lelaki yang sedang menimang-nimang ponselnya itu. Tinggal satu ketukan saja pada layarnya, deretan pesan itu akan terkirim ke seseorang di ujung sana.

Kak, lagi sibuk nggak? Aku mau ngomong sesuatu.

Dibacanya berulang-ulang ketikan itu hingga dirinya kaget saat ada panggilan masuk tiba-tiba dari empunya calon penerima pesan. Refleks ia mengetuk ikon berwarna merah.

“Aduh, kok gue reject sih?”

Tidak sampai satu menit panggilan masuk kembali menggetarkan ponselnya. Ia mengetuk ikon yang benar sekarang.

“Halo?”

“Changmin.”

“Iya, Kak?” Lelaki yang dipanggil Changmin itu menggigit bibir bawahnya.

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kamu typing mulu daritadi, ada apa?”

Halah.

Changmin lupa kalau yang lain bisa melihat aktivitas typing-nya dari ruang chat.

Bego banget sih gue. Changmin memijat keningnya sebal.

“Oh, engga Kak. Itu, mau nanya Kak Hyunjae balik kuliah jam berapa?”

“Hmm ini udah selesai kelas sih. Kenapa? Mau minta jemput? Gak bareng Juyeon kamu?”

Akhir-akhir ini memang Changmin meminta Hyunjae untuk tidak mengantar-jemputnya. Alasannya karena ia tidak mau merepotkan Hyunjae yang jarak rumahnya jauh dari tempat Changmin. Juga karena rumah Juyeon searah dengannya, dan mereka sekelas which is it’s easier to match their schedules.

Awalnya Hyunjae memprotes, biasanya juga dia mengantar-jemput Changmin dan lelaki itu tidak pernah mempermasalahkan jarak rumah mereka. Tapi Changmin bilang kalau jadwalnya sedang padat dan tidak menentu, jadi dia tidak mau membuat Hyunjae harus mencocokkan jadwal mereka. Hyunjae agak keberatan tapi akhirnya ia setuju.

“Juyeon udah pulang duluan, ada acara katanya.”

“Yaudah tunggu aku jemput. Jangan kemana-mana.”


Sudah lama juga Changmin tidak duduk di kursi penumpang di sebelah Hyunjae yang sedang menyetir. Hah kalau sudah begini rasanya Changmin tidak mau memikirkan apa-apa lagi dan hanya fokus menikmati waktu bersama kesayangannya itu.

Tapi sayangnya hidup itu memang jahat. Hidup memberikan Changmin seorang Hyunjae yang bisa dikatakan sempurna, terlalu sempurna untuk Changmin. Tapi hidup juga memberikan rasa insecure yang luar biasa pada dirinya. Hingga kadang ia tak bisa melihat jelas keberhargaan dirinya di antara rasa insecure yang selalu menguasai, dan selalu menang.

“Udah makan?” tanya Hyunjae setelah memasang seatbelt-nya. Bersiap untuk meluncur keluar dari halaman sekolah Changmin.

Changmin menggeleng. “Belum. Kamu udah, kak?”

“Belum juga sih. Cari makan dulu, yuk.”

Sepanjang perjalanan Hyunjae mengoceh tentang banyak hal. Tentang tugas kuliahnya, tentang dosennya, tentang Younghoon. Sementara Changmin lebih banyak diam, terdistraksi oleh hal lain.

“Changmin?”

Serta merta Changmin menoleh. “Iya, Kak?”

“Mikirin apa? Daritadi aku ngomong dicuekin.”

“Aku dengerin, kok!”

“Coba aku cerita apa aja tadi?”

“Hmm… soal Kak Younghoon?”

Hyunjae menghela napas. Ia tahu Changmin tidak benar-benar fokus pada obrolannya.

“Kak.” Changmin akhirnya angkat bicara lagi.

“Hm?”

“Aku boleh ngomong sesuatu nggak?”

“Boleh,” jawab Hyunjae cepat, matanya masih tertuju pada jalanan di depannya. “Tapi kalo kamu minta udahan lagi kayak kemaren-kemaren aku gamau denger.”

Changmin langsung menurunkan bahunya lemas.

Hyunjae melirik lelaki di sebelahnya itu. “Bener kan mau minta udahan?”

Yang ditanya hanya bisa diam. Karena Hyunjae menebaknya dengan tepat.

“Kenapa, sih? Aku kan udah bilang kalo kamu aja udah cukup buat aku.”

Tapi rasa insecure gue engga, Kak, batin Changmin.

“Bukan cuman itu…”

“Apa lagi?”

Changmin semakin dibuat mengecil di kursinya. Ia merasa semakin tidak percaya diri. He is so small, he is nowhere near good enough to stand beside Hyunjae, it’s impolite of him for liking Hyunjae and getting his feeling returned, he just wants to hide himself.

“Younghoon?”

Satu nama itu membuat air muka Changmin berubah untuk beberapa detik, dan Hyunjae tidak melewatkan itu. Ia membanting setirnya ke arah tepi jalan. Padahal mereka belum sampai ke tempat makan.

Changmin menoleh ke sekitarnya saat Hyunjae menghentikan mobilnya di tepi jalan yang agak sepi. Kemudian ia berhenti menggerakkan kepalanya saat matanya beradu dengan sepasang mata Hyunjae yang terlihat, entahlah, lelah?

“Kenapa berhenti di sini, Kak?” tanya Changmin pelan.

“Changmin.” Hyunjae menarik badan Changmin agar menghadap kepadanya. “Kamu cemburu sama Younghoon?”

Changmin menggeleng cepat. “Enggak.”

“Terus?”

Terus apa, Kak? Gue insecure parah tiap liat lo sama Kak Younghoon. Lo kenal dia duluan daripada kenal gue. Lo sahabatan udah lama banget sama dia. Kalian klop banget. Temen-temen lo aja heran kenapa kalian berdua gak jadian, malah lo jadian sama gue.

Satu tarikan napas sebelum Hyunjae buka suara lagi, karena Changmin tetap memilih untuk membisu.

“Aku udah bilang kan Younghoon sama aku itu sahabat dari kecil? Kita sebegitu deket karena aku sama dia udah ngelewatin banyak hal bareng. Dia penting buat aku, sama pentingnya kayak kamu. But the feelings are still different, Changmin.”

“Iya, aku tau.” Changmin menjawab pendek. Rasa insecure-nya memang suka tidak masuk akal dan sulit dijelaskan. Terkadang dia hanya ingin menyerah dan tidak mempedulikan apapun, termasuk perasaannya.

“Terus apa? Kamu masih mau udahan?”

“Aku tuh capek, Kak.” Changmin akhirnya mengaku.

“Capek kenapa?”

“Capek selalu ngerasa gak pantes. Capek selalu mikirin kenapa Kakak mau sama aku. Capek sama rasa insecure aku sendiri. Aku capek sama semuanya, Kak.”

Hyunjae menghempaskan kembali punggungnya ke sandaran kursi kemudi, memukul pelan setirnya sambil mengumpat pelan. Jujur Changmin kaget. Selama mereka pacaran ia tidak pernah melihat Hyunjae marah, atau menunjukkan ekspresi kekesalan yang seperti ini. Rasanya Changmin ingin menghilang saja.

Liat kan gue bahkan bisa bikin seorang Hyunjae kesel sama gue? Emang gue beneran gak pantes buat dia. Cuma bisa nyusahin doang.

“Bukan cuma kamu yang capek, aku juga.” Hyunjae mencengkeram roda kemudinya. “Kamu pikir tiap kamu bilang kalo kamu pengen udahan itu, aku gak mikirin aku ada salah apa sampe kamu mutusin buat ngelakuin itu? Aku selalu nanya ke diri sendiri aku kurang gimana ke kamu. Mungkin aku belum cukup ngertiin kamu, mungkin aku emang banyak kurangnya. Rasa insecure yang kamu bilang itu, aku juga punya. Tapi apa pernah aku bilang mau udahan ke kamu hanya karena aku capek?”

Telak. Changmin benar-benar ingin menangis. Perasaannya bagai diacak-acak oleh tangan tak kasat mata.

Perasaan bersalah semakin banyak menimpa dirinya. Tidak pantas. Selalu menyusahkan. Tidak berharga. Hilang saja.

Maka saat Hyunjae melontarkan ‘Yaudah, terserah kamu aja. Aku juga capek.’, Changmin merasa dunianya runtuh. Tidak pernah ada kata terserah sebelumnya. Tidak pernah ada kata capek sebelumnya. Hyunjae pasti akan selalu memperjuangkannya. Bahwasanya Changmin sebenarnya ingin diperjuangkan.

Tapi Changmin lupa, semuanya tidak akan berhasil jika hanya seorang yang berjuang. Changmin lupa kalau Hyunjae juga bisa merasa lelah. Changmin tidak melihat, ia sibuk mengaca pada dirinya sendiri.


Setelah menurunkan Changmin di depan rumahnya, Hyunjae langsung tancap gas. Bukan ke rumahnya, melainkan ke tempat di mana ia biasa melepas penat.

Kafe ramai seperti biasa, apalagi di jam-jam krusial seperti ini. Younghoon menumpukan kedua telapak tangannya di atas meja di balik mesin kasir, memandangi seseorang yang beberapa menit lalu datang memesan satu cup kopi. Ia mendesah pendek sebelum berbalik dan menepuk bahu salah satu temannya yang masih sibuk membuat kopi pesanan pembeli.

“Bang, gue break dulu bentar ya.”

“Oh, iya. Jangan lama-lama, tenaga kita kurang satu takut keteteran.”

Younghoon mengangguk. Hari itu memang temannya izin sakit tiba-tiba, mengharuskan mereka bekerja ekstra daripada biasanya. Ia pergi ke belakang untuk menanggalkan apronnya dan keluar dari pintu belakang, lalu berjalan ke arah meja seseorang yang diawasinya dari tadi.

“Kenapa lo?”

Tanpa basa-basi Younghoon bertanya setelah mendudukkan dirinya di hadapan orang itu. Tidak susah menemukan alasan kenapa Hyunjae mendatangi kafe tempatnya bekerja. Hanya ada dua. Kalau bukan galau urusan percintaan, ya, menumpang untuk mengerjakan tugas tanpa takut bakal diusir. Dan sekarang Hyunjae tidak sedang membuka laptop, jadi sudah jelas apa permasalahannya.

Hyunjae masih setengah melamun saat Younghoon bertanya, sebelum kemudian mengarahkan pandangannya pada teman dekatnya itu. “Hoon, kalo gue nembak lo terus kita pacaran. Gimana?”

Hampir saja Younghoon mengeluarkan nama binatang sebelum tangannya dengan sigap menjitak puncak kepala Hyunjae. Temannya itu mengaduh keras.

“Ngaco banget kalo ngomong!”

“Abisan gue stress!”

“Iya, keliatan.” Younghoon menyandarkan punggungnya di kursi, melipat lengannya. “Changmin, ya?”

Menghela napas keras, Hyunjae mengangguk. “Kenapa sih dia hobi banget minta putus? Hobi tuh yang bagus-bagus, kek. Masak, kek. Menyayangi gue, kek.”

Younghoon tertawa geli, merasa kasihan juga pada sahabatnya.

“Masih jealous dia sama gue?” tanyanya.

“He eh. Gila apa? Masa dari sekian orang yang deket sama gue, dia cemburunya sama lo? Sama Younghoon yang ini?”

Hyunjae menunjuk-nunjuk sahabatnya dengan jarinya yang langsung dihalau oleh Younghoon.

“Dih, sirik amat lo. Tapi gue seneng sih, dikit.”

“Seneng apa?”

“Dicemburuin sama anak sepinter Changmin, HAHAHA.”

“Lah apaan sih lo?” Hyunjae melipat tangannya kesal. “Bukannya bantuin.”

Tawa Younghoon mereda. “Sori, sori. Emangnya dia bilang apa pas minta putus?”

Hyunjae memutar memorinya kembali beberapa jam lalu. Percakapan mereka saat di mobil.

“Ya, gitu. Katanya suka ngerasa gak pantes sama gue.”

“Ya iyalah gak pantes. Changmin pinter, anak baik-baik. Disandinginnya sama lo yang gak jelas ini.”

“Ck, lo tuh mau bantuin gak sih sebenernya?” Hyunjae mulai sewot.

Younghoon melirik jam yang melingkar di tangannya, masih ada waktu beberapa menit sebelum waktu istirahatnya selesai.

“Gue paham sih kenapa Changmin ngerasa kayak gitu. Wajar. Orang khawatirnya kan beda-beda, in his case dia ini sebenernya sayang sama lo, cuma kekhawatiran dia lebih gede dan dia gatau gimana ngatasinnya. Dan menurut dia, putus itu jalan keluarnya. Gue yakin kok dia pas minta putus itu butuh mikir lama.”

Hyunjae terdiam. “Terus gue harus gimana?”

“Yaudah terima aja.”

“Hoon!”

“Haha engga, engga. Ya udah kan lo udah berusaha buat ngeyakinin dia, tapi dia masih belum bisa kan? Sekarang intinya gimana cara dia buat ngeyakinin diri sendiri kalo dia tuh pantes sama lo.”

“Tapi gimana?”

“Pas dia minta putus, lo jawab apa?”

“Gue jawab yaudah terserah?”

“Nah, dia pasti nangkepnya kalian bener udahan.”

Hyunjae menyela. “Tapi maksud gue bukan gitu! Gue kesel aja dia minta putus mulu.”

Younghoon mengangkat tangannya, memberi gestur agar Hyunjae tenang. “Iya, gapapa. Ini biar dia mikir dulu. Lo kasih dia waktu buat mikirin ulang semuanya, buat introspeksi diri juga. Lo jaga jarak dulu dari dia.”

Jaga jarak.

“Kalo dia gak balik gimana?” tanya Hyunjae, nadanya sarat dengan kekhawatiran.

“Ah, elo. Sejak kapan sih lo serius sama orang gini? Dulu juga suka mainin perasaan orang, lo,” sindir Younghoon.

Hyunjae mengacak rambutnya. “Gatau gue juga.”

Beberapa menit sebelum waktu istirahat Younghoon berakhir. Lelaki itu beranjak dari kursinya.

“Udah, ah, gue balik kerja dulu,” pamit Younghoon. “Oh iya, gak usah takut dia gak balik. Gue tau Changmin.”

Hyunjae mungkin belum paham sekarang, tapi Younghoon tahu betul. Kalau memang Changmin berniat untuk pergi dari Hyunjae, pasti sudah dilakukannya dari dulu.


Belum ada dua belas jam mereka putus, tapi Changmin sudah kangen. Di depannya berserakan tisu bekas menangis. Dan Juyeon yang hanya bisa menonton miris. Antara kasihan dan ingin mengatai temannya bodoh atas perbuatannya sendiri.

“Gi-Gimana, Ju? Kak Hyunjae gak ngehubungin gue sama sekali. . . Kayaknya dia beneran udah capek sama gue, deh. Kalo dia move on dari gue gimana? Gue gabisa liat dia sama yang baru,” rengek Changmin.

“Yang baru tuh siapa? Kak Younghoon maksud lo?” tembak Juyeon.

Changmin mencebikkan bibir bawahnya, siap untuk menangis lagi.

“Haaa gue gabisa liat mereka berdua jadian. Sakit banget, Ju.”

Juyeon mengetuk dahi dengan kepalan tangannya pelan, kepalanya ikut sakit.

“Lagian lo kenapa bisa mikir Kak Hyunjae sama Kak Younghoon ada apa-apa, sih?” tanya Juyeon heran.

“Ya liat aja dong mereka deketnya kayak apa. Terus juga kalo ngobrol bisa nyambung banget gitu. Gak mungkin Kak Hyunjae gapernah ada rasa sama Kak Younghoon.”

“Iya pernah naksir, kali.”

“Hih!” Changmin melempar tisu yang digenggamnya ke muka Juyeon.

“Abisan lo nih, suka mengarang indah terus sedih sendiri. Lo tuh bikin skenario sendiri yang belom tentu kejadian, tau nggak?”

Changmin cemberut. It’s not like he wants to do it, he just can’t help it.

“Lo sama gue juga deket, tapi apa Kak Hyunjae ngira lo naksir sama gue?” Juyeon membalikkan situasi.

“Dih, amit-amit.”

“Kan? Beberapa hari belakangan ini bahkan lo berangkat sama pulang bareng gue, apa Kak Hyunjae gak tambah curiga?”

Sekarang Changmin termangu. Iya juga, ya? Selama ini dia tidak pernah memikirkan perasaan Hyunjae. Ia selalu terfokus pada dirinya, dirinya, dan dirinya sendiri. Tidak pernah sebersit pun ia memikirkan bagaimana perasaan Hyunjae saat ia memintanya untuk berhenti menjemputnya, atau saat ia tiba-tiba tidak membalas pesannya untuk waktu yang lama, berkali-kali meminta untuk menyudahi hubungan mereka. Semua dengan alasan rasa insecure Changmin. Semuanya tentang Changmin.

“Gue egois ya, Ju. . .” lirih Changmin.

“Mungkin. Tapi lo begini juga karena lo gak sadar, kan? Baru pas beneran putus lo bisa ngerasain.”

“Gue sayang banget sama dia. Dia juga sayang sama gue nggak, ya?”

Juyeon menggeser duduknya mendekati Changmin, tangannya terulur untuk menepuk-nepuk puncak kepala Changmin pelan.

“Kalo dia nggak sayang, pas pertama kali lo minta putus dia pasti ngeiyain. Coba deh, sekarang lo itung berapa kali lo minta putus sama dia?”

Changmin menggeleng pelan. “Gatau. Banyak.”

“Dan dia masih mertahanin lo, kan?”

“Enggak sekarang.”

“Sekarang titik limitnya dia. Lo kira orang bisa nahan capek berapa lama? Bukan berarti dia gak sayang, gue gatau ya isi hati orang kayak apa. Tapi kalo Kak Hyunjae nyerah sekarang, itu lumrah. Dia capek, gapapa. Aneh kalo dia gak capek.”

Changmin mendongak, menatap Juyeon dengan matanya yang merah.

“Kira-kira dia bakal capek selamanya, nggak?”

Juyeon mengangkat bahu. “Gak ada yang tau, kecuali lo coba cari tau.”

“Gimana?” Changmin terdengar begitu putus asa, membuat Juyeon menggelengkan kepalanya.

Reach out to him, remind him of his worth. Dia pasti sering ngeraguin dirinya sendiri juga, apa yang bikin lo selalu minta putus ke dia. Sekarang stop fokus ke diri lo sendiri, lo sayang sama dia, ya lo perhatiin juga perasaannya.”

Mendengar wejangan dari Juyeon, Changmin menghempaskan badannya memeluk Juyeon.

“Makasih banyak, Juyeon. Gue gatau lo bisa sebijak ini.”

Juyeon tertawa sambil menepuk punggung Changmin. “Sialan lo.”


Tapi nyatanya words easier said than done. Sampai tiga hari kemudian Changmin masih belum menghubungi Hyunjae. Dan sebaliknya, Hyunjae pun tidak berusaha menghubungi Changmin. Semakin hari rasa percaya diri Changmin makin terkikis. Apalagi ia melihat update Instagram Hyunjae yang asik dengan teman-temannya. Termasuk Younghoon.

Namun lagi-lagi Juyeon mengingatkan, tidak ada jaminan apapun untuk tindakan yang akan Changmin lakukan. Juyeon menyuruhnya untuk tidak menaruh harapan apapun karena tujuan awal bukanlah untuk balikan. Tapi untuk menyadari worth masing-masing.

Changmin akhirnya berhasil memantapkan hatinya di hari ketujuh. Ia mengirimkan tiga karakter yang diketiknya selama bermenit-menit dengan hati tidak karuan. Menunggu balasan ternyata lebih parah.

Kak -Iya? Bisa ketemu? -Bisa. Di mana?

Changmin menghela napas yang tanpa sadar selama ini ditahannya. Setelah mengetikkan balasan, ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan beranjak pergi.

Rupanya Hyunjae tidak datang tepat waktu. Baru sepuluh menit kemudian batang hidungnya muncul, berjalan agak tergesa dengan ransel yang disampirkan di satu bahunya. Changmin tiba-tiba merasa oksigen di sekitarnya disedot habis, sulit untuk bernapas.

“Maaf telat. Tadi lagi kumpul sama anak-anak,” ucap Hyunjae saat ia mendudukkan dirinya di depan Changmin.

“Eh, iya gapapa.” Lidah Changmin terasa kelu. Duh, gimana nih? Kenapa tiba-tiba gue ngeblank?

“Udah pesen?” Hyunjae memecah keheningan karena dilihatnya Changmin tidak segera mengatakan sesuatu. Anak itu sibuk memainkan case ponselnya.

“Belum.”

“Yaudah aku pesenin dulu, ya.”

Tanpa menanyakan apa yang ingin Changmin pesan, Hyunjae sudah beranjak dari tempat duduknya. Benar-benar tidak ada yang berubah. Dan itu semakin membuat Changmin kangen, sekaligus sedih. Bagaimana jika ini terakhir kalinya dia bisa merasakan seperti ini?

Changmin menyalakan ponselnya lagi untuk mengecek chat-nya bersama Juyeon. Matanya fokus membaca deretan tulisan yang sudah diketik Juyeon dengan rapi.

-jelasin mau ngomongin apa -minta maaf dulu buat pembukaan, apa yg udh lo lakuin. no excuses. pure minta maaf doang. -jelasin gmn perasaan lo yg sebenernya ke dia, gausah bawa2 rasa insecure lo dulu. it’s all about him now. -…

Changmin buru-buru menelungkupkan ponselnya di atas meja saat ia mendengar suara langkah kaki Hyunjae mendekat.

Ayo, sekarang ngomong. Changmin, lo bisa.

“Kak.”

“Hm?” Hyunjae terlihat begitu santai di depannya.

“Sebenernya aku mau ngomongin sesuatu,” ucap Changmin lambat-lambat.

Hyunjae tersenyum. “Langsung banget, nih? Gamau basa-basi dulu?”

Duh, keburu gue lupa tau Kak! pekik Changmin di dalam hati.

“M-Mau ngomongin masalah kemaren. . .”

“Kemaren kenapa?” tanya Hyunjae santai.

Ih, sengaja banget?!

“Itu… soal aku minta udahan…”

Hyunjae menarik napas, ekspresinya terlihat serius sekarang. Ia menumpukan kedua sikunya di atas meja, menyuruh Changmin untuk melanjutkan ucapannya.

“Aku… mau minta maaf dulu ke Kakak. Aku sadar aku salah, udah bilang kayak gitu. Kakak boleh gak nerima maaf aku, tapi yang jelas aku minta maaf.”

Hyunjae mengangguk singkat.

“Terus…”

Changmin membenarkan posisi duduknya. Aduh apaan sih selanjutnya, gue lupa bangsat. Ia membuka layar ponselnya untuk mengintip poin selanjutnya yang diketik Juyeon.

Melihat itu mau tak mau Hyunjae melepas tawa. Ia meraih ponsel dari tangan Changmin, membuat lelaki di depannya itu kaget.

“Kak, bentar!”

“Oalah, Juyeon.” Hyunjae menggulirkan halaman ruang chat itu ke atas dan ke bawah. “Pinter juga dia bikin template-nya.”

Muka Changmin sudah merah padam. Malu sekali rasanya, ia ingin menghilang dari tempat itu sekarang juga.

Hyunjae meletakkan ponsel Changmin di meja, tersenyum melihat kelakuan “mantan” pacarnya yang bikin gemas. Kalau bukan karena ia yang sedang menahan diri, pasti sekarang dia sudah mencubit pipi Changmin dan mengacak-acak rambutnya.

“Mau ngomong serius kok pake template,” canda Hyunjae. “Changmin.”

Dengan berat Changmin mendongakkan kepalanya, beradu tatap dengan Hyunjae.

“Kamu boleh ngomong apa aja terserah, asal jujur. Aku ga akan tersinggung, ga akan marah.”

Ada jeda waktu cukup lama sebelum Changmin akhirnya angkat bicara.

“Kak, maaf selama ini aku cuma mikirin perasaan aku doang. Aku ga pernah mikirin perasaan Kakak, padahal Kakak selalu berusaha buat nahan aku biar gak pergi. Mungkin karena aku tau Kakak gabakal ngebiarin aku pergi, aku jadi ceroboh nurutin ego. Aku selalu merasa aman karena tau Kakak bakal mertahanin aku. Tapi kemarin waktu Kakak udah nyerah beneran, aku takut. Tiba-tiba aku kepikiran kalo Kakak mungkin gabakal mau balik lagi. Aku takut banget kamu pergi, Kak.”

Hyunjae tertegun. Ada rasa lega di sana. Untuk Changmin yang pertama kalinya membuka hati seperti ini, Hyunjae merasa sangat lega. Seperti setengah bebannya terangkat dari pundaknya.

“Kakak jangan merasa bersalah, karena di sini aku yang salah. Bukan Kakak. Aku udah bikin Kakak ngeraguin value Kakak sendiri, aku salah banget. Demi perasaan aku sendiri, aku egois minta putus tanpa mikirin perasaan Kakak. Aku selalu berasumsi Kakak bakal baik-baik aja. Padahal tiap orang punya perasaan. Aku yang baru diiyain putus sekali aja sedih banget, apalagi Kakak yang selalu denger aku minta putus berkali-kali?”

Changmin tak sadar ada bulir air mata yang melintasi pipinya, buru-buru ia menyekanya. Malu harus menangis di depan Hyunjae.

“Udah?” tanya Hyunjae.

“Hmm ada lagi. Aku ga minta apa-apa, Kak. Aku ngomong gini cuma biar Kakak tau kalo Kakak itu berharga. Buat aku dan buat Kakak sendiri.”

Pesanan datang tepat saat Changmin menyelesaikan kalimatnya.

“Makan dulu, yuk,” ajak Hyunjae.

Changmin sedikit lega karena semua unek-uneknya sudah tersampaikan. Namun sekarang perutnya mulas karena memikirkan bagaimana tanggapan Hyunjae selanjutnya. Jujur Changmin menaruh beberapa persen harapan agar mereka bisa balikan. Tapi kalau itu tidak terjadi, Changmin pun harus bisa terima.

“Changmin,” panggil Hyunjae saat ia sudah menyelesaikan makannya, begitupun dengan Changmin. “Makasih, ya, udah mau jujur sama aku. Aku seneng banget kamu bisa ngomongin ini ke aku. Dari dulu aku pengen kamu sharing juga ke aku, tapi kamu selalu pendem ke diri kamu sendiri. Aku jadi ngerasa berguna kalo kamu bisa cerita-cerita kayak gini. Kamunya juga lega pasti, kan?”

Changmin mengangguk.

“Tapi.” Hyunjae memberi jeda. “Aku gatau habis ini mau gimana. Soalnya tujuh hari, tuh. . .”

Kali ini Changmin menundukkan kepalanya, paham. Tujuh hari memang waktu yang lama untuk ingin kembali ke semula. Tujuh hari mungkin Hyunjae sudah berusaha untuk melanjutkan hidup.

“Iya, gapapa Kak. Aku ngerti,” ucap Changmin pelan meskipun hatinya merasa sangat kecewa.

“Hm? Ngerti apa?”

Kali ini Changmin mendongak karena Hyunjae sudah menarik satu tangannya dan membawanya untuk duduk di sebelahnya. Kemudian ia menangkupkan kedua telapak tangannya ke kedua sisi wajah Changmin, menekan kedua belah pipinya.

“Tujuh hari, tuh lama banget tau! Tiap hari aku nungguin kapan kamu bakal nge-chat. Sampe Younghoon nahan aku tiap aku mau chat duluan. Pas udah lewat lima hari aku udah putus asa, kirain kamu gabakal balik ke aku. Dasar lemot, kenapa musti nungguin tujuh hari coba?”

Changmin hanya bisa menatap Hyunjae yang sedang mengomel, ia tidak bisa mengeluarkan suara karena pipinya tergencet telapak tangan Hyunjae.

“Kak, gabisa ngomong,” ujar Changmin tidak jelas. Barulah Hyunjae sadar muka Changmin sudah seperti bebek. Ia mencuri cium pada bibirnya yang membentuk o bulat, lalu melepaskan tangannya dari pipi anak itu.

Changmin membulatkan matanya syok, membuat Hyunjae tidak tahan untuk memeluknya.

“Kangen banget, tau,” ucap Hyunjae di sela-sela pelukannya. Ia membenamkan wajahnya di leher Changmin. Sedangkan yang dipeluk sudah tidak tahu harus bernapas dulu atau mengatur detak jantungnya dulu.

Setelah Hyunjae mengurai pelukannya, ia memandangi kesayangannya dengan senyum. Merapikan poninya yang berantakan.

“Kak, ini jadinya kita balikan apa engga?” tanya Changmin polos.

Hyunjae tertawa keras. Lucu sekali pacarnya ini.

“Emang pernah putus, ya?”

“Hih, dasar!”

Changmin memukul lengan Hyunjae yang langsung disambut dengan pekikan tertahan. Namun Changmin merasa lega, begitu lega untuk mengetahui ia telah kembali pulang.

ㅡFin.

Dua hal yang memiliki sisi yang begitu berbeda, dua hal yang berlawanan, dua hal yang rasanya mustahil untuk berada di ruang dan waktu yang bersamaan.

Seperti pagi dan malam. Seperti bulan dan matahari. Seperti bumi dan langit. Seperti Biru dan Bara.

Layaknya ia memiliki nama, Biru adalah teduh. Sedang Bara adalah berapi-api. Biru setenang lautan, sedang Bara menyimpan gumpalan perasaan yang siap meledak. Namun nyatanya mereka dapat hadir berdampingan di dunia yang mereka pijak di bawah sepasang kaki.

Bara pertama kali melihatnya di hari pembukaan peserta didik baru. Berjajar rapi di antara anggota OSIS lengkap dengan topi dan dasi abu-abu. Tetapi ia hanya mengingatnya sekilas, terlalu sibuk memikirkan apakah ia akan berada satu kelas dengan Rendra kali ini.

Pertemuan kedua, ketiga, dan seterusnya hanya terjadi ketika keduanya tak sengaja berpapasan di parkiran, koridor, atau kantin. Percakapan pertama yang terjadi adalah ketika Biru muncul di ambang pintu kelasnya, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang kelas yang membuat beberapa temannya tiba-tiba merasa besar kepala. Biru memang cukup banyak dikenal oleh penghuni sekolah.

“Sori, Sekar nggak ada di kelas, ya?” Cowok jangkung itu melempar pertanyaan pada Bara yang tengah menempati bangku paling dekat dengan pintu.

“Eh? Sekar?” Bara sedikit terkejut karena tiba-tiba dilempari pertanyaan tentang keberadaan ketua kelasnya. Ia menjulurkan lehernya untuk melihat bangku milik Sekar yang ditinggalkan oleh pemiliknya. “Keluar kayaknya, Bang. Kalo nggak ke ruang guru mungkin ke perpus.”

Bara tidak terlalu yakin dengan jawabannya. Tapi ia pernah melihat Sekar masuk ke kelas dengan buku pinjaman dari perpustakaan setelah bel selesai istirahat berbunyi.

“Oh, oke. Makasih, ya.”

Biru memberinya senyum singkat sebelum pergi meninggalkan kelas Bara. Tak lama kemudian Rendra datang ke kelas dengan beberapa bungkus jajanan kantin dan sebotol air mineral.

“Dateng juga lo. Laper banget gue,” komentar Bara sembari meraih sebungkus arem-arem dan melahapnya. Ia memang meminta tolong pada Rendra untuk membelikannya makanan dari kantin lantaran kaki kanannya masih sakit hasil dari tertimpa motor.

“Eh, barusan Bang Biru mampir ke kelas?” tanya Rendra heboh. Ia duduk di bangkunya yang berada di sebelah Bara.

Bara menjawab dengan gumaman, mulutnya masih sibuk mengunyah.

“Ngapain?”

“Nyariin Sekar.”

Rendra memukul permukaan meja dengan telapak tangan, mengagetkan Bara yang sedang menelan makanannya.

“Gue bilang juga apa!”

“Apaan, sih?” protes Bara yang hampir tersedak.

“Mereka berdua pasti ada apa-apa. Udah beberapa kali gue liat Sekar sama Bang Biru ngobrol berdua.”

“Urusan OSIS, kali,” tanggap Bara seadanya.

Sejatinya Bara tidak peduli dengan hal semacam itu. Orang-orang seperti Sekar dan Biru adalah kelompok orang yang jauh dari perhatian Bara. Atau lebih tepatnya Bara hindari jika memungkinkan. Hanya berinteraksi jika perlu saja, selebihnya Bara tak mau masuk ke dalamnya untuk alasan tertentu.


Percakapan kedua jatuh di lapangan depan sekolah kala Bara menendang bola terlampau kuat hingga benda bulat itu terpental ke arah parkiran motor. Sudah setengah jalan Bara berniat mengambil bola tersebut ketika Biru muncul dengan benda itu di tangan.

Thanks, Bang.”

Bara mengambil bola sepak itu dari tangan Biru.

“Lo temen sekelasnya Sekar, kan?” tanya Biru kemudian. “Bara?”

“Iya.” Bara memaksakan satu senyum kaku hanya sebagai formalitas kepada kakak kelas.

Hari itu berakhir dengan Biru yang memutuskan untuk ikut bermain futsal bersama Bara dan teman-temannya. Yang kemudian berlanjut hingga ada kesempatan berikutnya dan berikutnya lagi ketika Bara memiliki jadwal untuk bermain futsal di luar area sekolah.

Awalnya Bara mengira mungkin itu salah satu jenis formalitas yang juga diterapkan Biru padanya, mengingat ia adalah teman sekelas Sekar. Bara juga baru menyadari kalau Rendra jauh lebih akrab dengan Biru.

Bara selalu mengambil antara hari Jum’at atau Sabtu untuk bermain futsal. Sebab di penghujung minggu adalah waktunya untuk berada di jalanan.

Hari itu juga Biru datang ke tempat futsal. Kali ini ditemani seseorang yang sudah Bara kenal.

“Lo bener pacaran sama Sekar, ya, Bang?” celetuk Bara saat mereka sedang beristirahat di pinggir lapangan.

Biru mengangkat alisnya terkejut kemudian melempar pandangan ke arah Sekar yang sedang mengobrol dengan beberapa teman Bara di kejauhan.

Pertanyaan Bara sebenarnya hanya basa-basi untuk membuka obrolan. Bara tidak terlalu peduli hubungan di antara keduanya. Namun senyum rikuh yang diulas Biru memberi jawaban yang cukup jelas untuk Bara. Biru bahkan tidak repot-repot mengiyakan.

“Cocok, sih,” komentar Bara kemudian.

“Emang iya?”

“Iya. Kalian setipe.”

Biru mulai memberikan perhatian pada komentar Bara. Alisnya bertaut dan wajahnya memancarkan keingintahuan.

“Setipe gimana?”

“Yaa setipe? Sama-sama anak OSIS, pinter, teladan. Yang kayak gitu-gitu, lah.”

Biru manggut-manggut mendengar penjelasan Bara. Meski sejujurnya Biru tidak pernah memikirkan hal itu. Ia menyukai Sekar bukan karena tiga hal yang disebutkan Bara sebelumnya. Tetapi penuturan Bara membuatnya sadar akan kemungkinan mereka dapat berada di lingkup pertemanan yang sama karena hal-hal tersebut.

Dan itulah yang semakin membuat Bara yakin ia tidak mau terlibat terlalu dalam. Orang-orang seperti Biru dan Sekar, yang hidupnya terlihat begitu tertata dan langkahnya pasti untuk maju ke depan, bukanlah lingkup yang ingin Bara jamah. Sebab Bara adalah semua yang bertolak belakang dengan hal itu. Bersinggungan dengan kehidupan Biru hanya akan memunculkan pahit dan benci yang tidak Bara harapkan.


Setahun menjadi siswa tingkat pertama di sekolah sudah lebih dari cukup untuk Bara melakukan penyesuaian dengan lingkungannya. Jika sebelumnya Bara merasa waktunya di luar rumah sangat terbatas, kini ia merasa lebih memiliki banyak waktu. Jam pelajaran yang berakhir hingga sore hari selalu disyukuri Bara. Karena ia lebih memilih untuk bosan daripada menanggung kemarahan ayahnya.

Hubungannya dengan Biru masih stagnan seperti yang direncanakannya. Kakak kelas yang begitu dikagumi sahabatnya itu hanya cukup menjadi pihak yang jauh berada di luar lingkar kehidupannya. Pacar dari teman sekelas, kakak kelas, kawan bermain futsal. Itu saja.

Bahkan hingga hari kelulusan tiba, Biru tetap dipandang Bara sebagaimana ia menemukan cowok itu di antara barisan anggota OSIS pada hari pertamanya di sekolah. Dan Bara yakin Biru juga beranggapan yang sama tentang dirinya. Teman sekelas pacarnya yang mau tak mau diakrabinya demi hubungan dengan pacarnya agar tetap terjaga pula. Meski Bara tak paham dengan konsep tersebut. Bara tak pernah paham dengan jalan pikiran orang-orang seperti mereka.

“Langgeng sama Sekar.”

Adalah pesan Bara yang ditujukan kepada Biru di hari kelulusan. Masih formalitas.

“Jangan jatoh mulu lo.”

Adalah pesan Biru kepada Bara karena ia kerap menemukan luka di tangan atau wajah Bara.

Bara menarik satu sudut bibirnya sekilas. Tangannya meraba bagian rahangnya yang kini dihiasi plester luka. Dulu luka itu selalu dibiarkannya bebas.

Hanya saja belakangan ini ada yang rajin merawat luka-luka itu. Tetapi Bara rasa Biru tidak perlu tahu. Biar cowok itu menganggap Bara yang menutup lukanya sendiri dengan plester yang dihiasi karakter hewan.

Biar saja. Biru tidak perlu tahu. Toh, orang seperti dia tidak akan peduli.

“Karin.”

Panggilan itu menyita perhatian Karina yang masih berdiri dengan ekspresi kesal di sebelah meja resepsionis. Melihat siapa yang datang, wajah Karina mulai cerah.

Perempuan itu ada di sana. Berdiri tak jauh darinya dengan gaun sesuai dress code yang sebelumnya dikatakan oleh petugas resepsionis. Wajahnya masih cantik seperti dulu, tak banyak berubah. Senyumnya juga masih senyum yang selalu Karina ingat. Senyum yang ditujukan hanya untuknya.

“Reservasi atas nama Giselle, ya, Mbak,” ucap Giselle yang langsung menuju meja resepsionis. Setelah mendapatkan nomor mejanya, ia mengajak Karina untuk masuk ke dalam.

Keduanya diarahkan oleh pramusaji menuju meja yang sudah disiapkan. Begitu keduanya duduk, pramusaji itu memberikan buku menu dan siap untuk mencatat pesanan mereka.

“Kamu mau pesen apa, Rin?”

Karina tergeragap untuk sejenak. “Oh- aku… Aku ngikut kamu aja, deh, Gi.”

“Hmm, kalo gitu pesen Rambutan-Tini, ya, Mas.”

“Rambutan…Tini?”

“Rambutan sama Martini,” bisik Giselle.

“Ya, ampun.” Karina menutup wajahnya untuk menyembunyikan tawa geli.

Setelah mencatat pesanan, pramusaji tersebut meninggalkan keduanya. Ada canggung yang menggantung di sekitar mereka untuk beberapa saat sebelum Giselle membuka suara.

“Kamu apa kabar, Rin?”

“Aku baik. Barusan banget kemarin landing di Jakarta. Masih ada sisa-sisa jetlag but I'm fine.” Karina mengulas senyum manisnya. “Kamu sendiri?”

Giselle menghela napas sebelum menjawab. “Hari ini gila banget. Percaya, nggak, sepatu aku diambil orang waktu aku lagi nge-gym?”

“Serius?”

“Aku cuman bawa running shoes dan nggak mungkin aku pake itu buat ke sini, kan? Akhirnya aku beli sepatu lagi tadi.”

Karina tertawa kecil. “Astaga, Gi. Padahal nggak ada salahnya kamu pake running shoes. Cocok aja, kok, dipaduin sama dress kamu yang ini. Still looking cute.

Seketika raut wajah Giselle membeku. Ia tak segera menanggapi ucapan Karina. Tangannya kemudian meraih ponsel di atas meja dan pura-pura sibuk melihat layarnya.

Tak berapa lama pesanan mereka datang. Karina masih takjub dengan menu Rambutan-Tini yang Giselle pesan. Berkali-kali ia mengomentari minuman dengan sebiji rambutan yang tenggelam di dasar gelas itu.

Tak pelak komentar Karina mengundang tawa geli dari Giselle. Rasanya sudah lama ia tak mendengar ocehan-ocehan random dari perempuan itu. Ada perasaan rindu yang menyelinap di dadanya.

Welcome to Jakarta, Rin,” ucap Giselle untuk menanggapi semua celotehan Karina tentang restoran yang mereka datangi saat ini. “Kamu di sini sampe kapan?”

Pertanyaan Giselle menghentikan ocehan Karina. Ia menggigit bibirnya ragu.

Actually, for good. Aku bakal di sini seterusnya. Selamanya.”

Giselle tak dapat menyembunyikan keterkejutannya dari matanya yang melebar.

Why? Kamu mau nikah?”

Karina mendenguskan tawa. “Kok nikah, sih?”

“Temen-temen aku kebanyakan pada gitu. Pulang ke Indo karena mau nikah.”

“Nggak, lah, Gi. Not me, not you?

Lagi-lagi Giselle terdiam. Ia menyesap minumannya kembali, membiarkan ucapan Karina menggantung tanpa balasan. Karina tampak bingung atas reaksi Giselle, namun ia segera menghalau pikiran buruknya.

“Giselle!”

Suara sekelompok orang menyerukan nama Giselle, membuat perempuan itu menjulurkan kepalanya dan mendapati wajah-wajah familiar di kejauhan.

“Eh, Rin. Itu ada temen-temenku. Gabung sama mereka aja, yuk.”

Belum sempat Karina memberikan respon, Giselle sudah menariknya menuju meja di mana teman-temannya berkumpul.

Untuk beberapa menit lamanya Karina tak angkat bicara. Teman-teman Giselle ini adalah jenis orang yang tidak dapat Karina hadapi. Berada di sekitar mereka saja sudah membuatnya begitu lelah. Bahasan mengenai pernikahan, pasangan orang lain, harta kekayaan, hingga urusan pribadi lainnya yang seharusnya tidak menjadi bahan obrolan maupun urusan mereka.

“Kamu harus jaga penampilan, lho, Gi. Apalagi kalo udah mau nikah, suami kamu bisa batalin pernikahan kalo liat badan kamu nggak kayak dulu.”

Ucapan teman Giselle itu mengirim keresahan pada Giselle yang terdiam di kursinya. Jemarinya bertaut gelisah.

Karina sempat menangkap gelagat Giselle yang terasa lain. Juga saat matanya melihat cincin yang dimainkan Giselle di tangannya.

Obrolan yang didominasi oleh teman-teman Giselle itu terus berlangsung. Karina diam-diam menghela napas berat seraya menanti kapan ia dapat pergi dari sana.

Karina memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah membalas pesan dari ibunya. Ia sekarang berada di dalam mobil Giselle setelah akhirnya mereka dapat membebaskan diri dari teman-teman Giselle yang menahan mereka untuk pulang.

“Dapet salam dari Mama,” ucap Karina.

“Oh? Salam balik buat Tante,” balas Giselle dengan binar di matanya.

“Biasa Mama overprotective banget. Padahal cuman mau jalan-jalan doang.”

“Kan, kamu baru pulang ke sini, Rin. Wajar kalo digituin. Dulu pas aku balik juga nggak boleh ke mana-mana sampe semingguan. Pokoknya harus ngumpul sama keluarga.”

Karina berdecak pelan seraya menggelengkan kepalanya.

“Gi.”

“Hm?”

“Jalan-jalan, yuk?”

Giselle mengerutkan kening heran. “Ini, kan, lagi jalan-jalan?”

“Bukan, maksudnya jalan-jalan beneran. Jalan kaki. Aku sumpek banget dari tadi, kayak ada di dalem akuarium.”

“Jalan kaki? Mau jalan di mana, Karin? Nggak ada tempat buat jalan kaki di sini.”

“Adaaa. Pasti ada. Yuk?”

“Terus supir aku gimana? Disuruh pulang? Lagian ini udah malem, ntar kalo kita kenapa-kenapa gimana?”

“Tuh, kan, kamu mirip Mama aku jadinya. Udah, nggak bakal kenapa-kenapa.”

“Aku nggak mungkin jalan kaki pake dress dan high heels begini dong, Rin? Yang bener aja.”

Karina mengetuk dagunya beberapa kali sebelum teringat sesuatu.

“Tadi kamu bilang habis dari gym, kan? Pake itu aja sama running shoes kamu!”

“Karin…”

Giselle menatap Karina yang masih memberinya senyum penuh harap. Untuk kesekian kalinya Giselle tidak bisa menolak perempuan itu. Sama seperti beberapa tahun silam.


Jalanan yang mereka lewati cukup lengang sebab penghuni rumah kelihatannya lebih memilih berdiam di dalam ketimbang keluyuran di jalan. Ditambah malam yang sudah semakin larut.

Karina mengajak Giselle untuk mencari warung yang dulu sering dikunjunginya sebelum ia pergi ke New York.

Dengan lengannya yang dikaitkan pada Giselle, Karina menyusuri jalanan sepi itu sambil bersenandung pelan.

“Gi, tadi pas ngobrol sama temen-temen kamu, katanya kamu mau buka bisnis kue, ya?”

“Haha, iya, Rin.”

That's so sudden? Kamu nggak mau lanjutin path kamu jadi pelukis?”

Karina tahu bagaimana Giselle amat mencintai melukis. Saat mereka masih di New York dulu, Giselle akan selalu membawa buku sketsa bersamanya dan melukis apapun yang ditemuinya bersama Karina. Entah itu jalanan New York, kafe-kafe kecil, toko kaset tahun 80-an, atau wajah Karina yang selalu ia lukis dalam diam.

Giselle menghirup udara malam sebelum menjawab pertanyaan Karina.

“Habis pulang dari New York dan ngejalanin hari-hari di sini, aku harus realistis, Rin. Seni nggak dihargain di sini. Dan aku butuh uang untuk makan.”

Ucapan Giselle memang benar. Baru sehari Karina kembali ke Jakarta dan ia sudah dihadapkan pada realita bahwa hidupnya tak akan bisa sama seperti di New York. Bahkan hal itu mulai dari rumahnya sendiri. Orang-orang terdekatnya tak mampu memberikan ia kebebasan untuk melakukan hal-hal yang diinginkannya. Selalu ada standar tak kasat mata yang harus dicapainya. Ia masih ingat wajah teman-teman ibunya tempo hari ketika ia mengatakan bahwa ia tidak memiliki rencana untuk menikah atau punya anak. Seolah-olah ia baru saja mengakui sebuah tindak kriminal.

“Rin, kayaknya warung yang kamu maksud udah nggak ada, deh?” Giselle memecahkan lamunan Karina. “Harusnya di sini, kan?”

Keduanya berhenti di penghujung jalan yang bercabang. Tak ada tanda-tanda warung yang bertempat di situ. Karina menurunkan bahunya kecewa. Ia sadar waktu sudah berlalu terlampau lama untuk mengharap beberapa hal masih bertahan seperti semula.

“Mau cari tempat lain aja? Aku cariin di google maps, ya?” usul Giselle.

“Eh, nggak usah, Gi. Kita cari deket-deket sini aja.”

Keduanya lalu berhenti di salah satu pedagang kaki lima yang menjual Indomie goreng. Karina memesan satu porsi Indomie goreng original sedangkan Giselle memesan dengan tambahan topping keju.

“Emang enak pake keju gitu, Gi?” tanya Karina dengan keningnya yang mengernyit.

“Enak! Cobain, deh,” ujar Giselle seraya menggeser mangkuknya ke arah Karina.

“Nggak, ah.”

“Cobain duluuu.”

Dengan enggan Karina menyendokkan sesuap ke mulutnya, mengunyah pelan, lalu terkejut.

“Enak, kan?”

“Ih, iya. Aneh, tapi enak?”

Giselle tertawa. Ia melanjutkan makannya ketika ponselnya berbunyi. Tangannya merogoh ke dalam tas untuk mengambil ponsel dan mengecek notifikasinya.

“Udah jam segini masih aja digangguin?” sindir Karina.

Giselle yang tengah mengetik sesuatu di ponsel seketika mengangkat alisnya, kemudian meletakkan kembali ponselnya dengan senyum yang terulas.

“Dulu sebelum ada smartphone, kita ngapain aja, ya?” tanya Giselle. Matanya menerawang ke langit gelap tanpa bintang.

“Sebelum ada smartphone, hidup kita malah asik banget, lagi. Inget, nggak, dulu suka mainan sama temen-temen?”

“Tiap jam istirahat, ya? Ada yang bawa bola bekel, terus main kartu… apa tuh- yang gambar-gambar.”

“Iya! Kwartet. Terus kadang ada yang bawa monopoli, tapi belom selesai bagiin duitnya udah bel masuk. HAHAHA.”

Keduanya tergelak mengingat kenangan masa kecil mereka yang seakan tanpa beban. Hidup rasanya jauh lebih mudah saat itu.

“Main karet, Rin!”

“Oh, iya, main karet!”

“Bu, Bu, ada karet, nggak?” tanya Giselle tiba-tiba pada ibu penjual. Setelah menerima sebuah karet gelang, Giselle memainkan jemarinya untuk membentuk sesuatu dari karet tersebut.

“Ya, ampun, aku udah lupa mainan gini,” komentar Karina sembari memperhatikan Giselle membentuk karet itu menjadi sesuatu.

“Liat, Rin!” seru Giselle setelah ia berhasil mengaitkan karet tersebut di jemarinya dan membentuk bintang. “Bintang!”

“Wah, iya! Bintang!” Karina menepukkan tangannya layaknya anak kecil yang baru saja menyaksikan sesuatu yang menakjubkan.

Untuk sesaat mereka membiarkan diri kembali ke masa-masa di mana tak ada masalah yang menggelayuti pikiran. Hanya ada canda dan tawa serta semesta yang memeluk hangat.


Perjalan pulang di dalam mobil terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bagaikan ada ucapan tak terbilang bahwa setelah ini takkan ada kali lain lagi. Bahwa setelah ini semua akan kembali ke hidup masing-masing tanpa pernah bersinggungan lagi.

Karina melihat keluar jendela dan menemukan sesuatu yang kemudian baru disadarinya. Bangunan masjid dan gereja yang berseberangan.

“Ternyata itu, tuh, deketan, ya?” gumam Karina.

Giselle ikut melihat ke arah pandang Karina. Istiqlal dan Katedral.

Why's that?” tambah Karina.

“Ceritanya, kan, Bhinneka Tunggal Ika.”

Ceritanya.” Karina tersenyum tipis. “Religion plays such a big role here, ya?”

Giselle menanggapi Karina dengan senyum yang tak mencapai matanya. Ia memalingkan wajahnya ke arah jalanan di depannya.

“Makanya,” ucap Giselle pelan. “There's no place for us here.

Meski pelan, kalimat Giselle memberikan fakta yang tak mampu Karina bantah. Dingin yang mulai menyusup ke dalam hatinya sejak tadi kini makin menguat. Dan Karina tahu itu bukanlah berasal dari angin malam yang hembusannya semakin terasa.

Hening kembali mengisi mobil kala mata Karina menyipit untuk membaca satu tulisan di kejauhan.

“Gi, itu apaan, sih?” tunjuknya pada satu bangunan yang terlihat kumuh.

“Hotel jam-jam-an itu, Rin. Buat orang-orang yang suka…” Kalimat Giselle menggantung di udara ketika disadarinya Karina masih menatap bangunan itu dengan serius. “Rin, kamu nggak mau mampir ke sana, kan?”

“Kenapa nggak?” balas Karina di luar dugaan. “Ayo, Gi. Namanya unik lagi. Lone Star. I think that's a pretty name.”

“Serius kamu, Rin? Ngapain ke tempat jorok kayak gitu?” protes Giselle tak menyetujui.

“Ayolah, it won't be that bad!” desak Karina. “Pak, berhenti di depan kiri itu, ya!”

“Karin!”


Dan di sinilah keduanya. Berbagi ranjang sebab dua ranjang di kamar itu tak dapat digeser dari tempatnya. Karina tidak suka harus jauh-jauhan.

Satu botol alkohol ada di pelukan Karina sementara Giselle duduk di hadapannya dengan tubuh yang tak lagi bisa tegak.

“Kamu, tuh, beneran nggak berubah, ya? Minum dikit langsung ngefek,” komentar Karina. Ia menatap mantan pacarnya itu dengan sorot yang memancarkan rindu, rasa yang terpendam dan terlupakan untuk beberapa tahun lamanya hingga kemarin kembali menyeruak.

“Karinnn,” panggil Giselle dengan senyum yang menempel di wajahnya. Matanya sudah setengah terpejam. “Karin, kamu kenapa balik ke sini?”

Itu adalah pertanyaan sederhana namun sulit untuk dijawab. Jika Karin ingin mengikuti kata hatinya, ia tidak ingin kembali. Namun itu berarti ia juga tidak akan bertemu dengan Giselle lagi.

“Aku nurutin permintaan Mama aja,” jawab Karina akhirnya. “Nggak bisa aku selamanya di New York. Kamu juga ada di sini, aku pengen ketemu kamu.”

Giselle mengayunkan badannya pelan ke depan dan ke belakang. Ia terdiam, namun ia mendengar semua penuturan Karina.

“Gi, waktu kamu balik ke sini, kamu kangen nggak sama New York?”

“Kangen. Sampe sekarang pun masih kangen.”

“Apa yang kamu kangenin?”

Giselle menarik napas dalam-dalam. Ia menengadahkan kepalanya untuk melihat langit-langit kamar yang dihiasi banyak noda rembesan air hujan.

“Pagi-pagi, ngerokok di balkon sambil minum kopi. Nikmatin suasana pagi di sana,” ucap Giselle. Ingatannya melayang pada beberapa tahun lalu saat dirinya masih tinggal di New York bersama Karina. “Terus ada kamu.”

“Gi,” panggil Karina. Suaranya serak. “Dari semua hal yang aku kangenin tentang New York. Actually I missed you the most.”

Ada sensasi panas yang mulai menjalar di mata Giselle. Pandangannya kian mengabur. Bukan karena alkohol yang diteguknya.

Karina mendekatkan dirinya pada Giselle sebelum menyelipkan helai rambut perempuan itu di belakang telinga, lalu mengusap pelan pipinya.

“Aku baru sadar segitu kangennya aku sama kamu setelah aku nemuin kotak yang isinya barang-barang selama kita pacaran dulu. Tiket bioskop, struk restoran, semua foto-foto kita juga masih ada. Lama banget aku nggak nyentuh kotak itu lagi karena aku takut ngerasa sakit. Tapi rasa kangen ke kamu memang nggak pernah hilang.”

Setetes air mata Giselle meluncur turun. Karina mengusapnya dengan ibu jari. Ia rindu sekali perempuan yang terisak di depannya ini. Jarak yang tercipta saat itu memaksanya untuk lupa, untuk menelan perasaannya mentah-mentah. Namun ia kini ada di depan mata. Begitu dekat oleh jangkauan. Begitu dekat untuk direngkuh.

I'm getting married, Karin.”

Dengung menusuk tajam ke dalam telinga Karin hingga ia hampir kehilangan keseimbangan. Tangannya harus menapak di permukaan ranjang agar tubuhnya tak oleng.

Ia tidak mengerti. Tidak tentang dirinya, tidak tentang Giselle.

Do you love him?” tanya Karina lirih. Sebagian dirinya ingin mendengar jawaban, namun sebagian lainnya hanya ingin menjadi tuli.

Gelengan kepala Giselle tak menjadi jawaban yang mampu melegakan hati Karina.

I don't know, Rin. I'm just so scared.

Karina tak mampu menahan dirinya hingga ia menarik Giselle ke dalam pelukan. Ia memeluk dengan seluruh raga dan luka perasaan.

“Giselle… Listen to me. Kita bisa mulai lagi dari awal. Ya? Just like video game, you know?

Giselle menggeleng dalam pelukan Karina. “Nggak semudah itu, Karin. Aku bukan lagi Giselle yang punya harapan dan hidup bebas di New York. Kamu juga sama.”

“Giselle.”

I can't. I'm sorry.

Giselle menarik dirinya dari pelukan Karina. Diamatinya paras perempuan itu yang membuatnya takluk sejak pertama kali ia mengenalnya. Karina yang selalu menyapanya dengan senyum, Karina yang selalu membuat hari-harinya berwarna, tak ada sehari pun ia diliputi awan mendung. Karina yang terus menyayanginya tanpa peduli hari esok.

Akhirnya ditangkapnya juga pemandangan itu. Ekspresi yang begitu jarang Karina tunjukkan padanya, pada siapapun. Sorot mata penuh luka dan kecewa. Hancurnya perempuan itu juga merupakan kehancuran dirinya juga.

Hanya saja Giselle sudah hancur bertahun-tahun yang lalu.

Ketika Giselle mendekatkan wajahnya pada Karina dan merasakan hembusan napas hangat yang membelai kulitnya, saat itu pula kehancuran hatinya kembali terasa. Karina beringsut mundur, menjauhkan diri dari Giselle. Menolak ciuman yang akan Giselle beri.

Keduanya tertunduk dalam senyap kamar yang remang. Pagi siap untuk menjemput. Sama halnya dengan kehidupan yang akan mereka jalani masing-masing.

Mengapa ada selamat dalam selamat tinggal, jika mereka tak pernah kembali?

Ucapan selamat tinggal yang terucap dari mulut seseorang seharusnya menjadi tanda bahwa mereka benar-benar pergi. Namun jika mereka menggantinya dengan sampai jumpa lagi, ada janji dan harapan bahwa mereka akan datang kembali.

Bara tak pernah benar-benar mengucap keduanya.


Kedip lampu indikator di laptop milik Bara mencuri perhatian pemiliknya yang beberapa jam terakhir fokus menggoreskan pensil ke permukaan kertas. Ia masih berusaha merancang desain logo untuk usaha kue ibunya. Dirogohnya charger dari dalam tas kemudian disambungkannya pada laptop yang sudah hampir kehabisan daya itu. Lampu indikator berhenti berkedip.

Bara meregangkan otot-ototnya yang kaku setelah hampir tiga jam ia tak beranjak dari kursi. Tangannya berusaha menutupi mulutnya yang menguap lebar ketika ia memeriksa waktu di pojok layar laptopnya. Jam satu lewat.

Rumahnya sudah begitu sepi. Bara yakin ibu dan adiknya telah terlelap di ruang sebelah. Ia beranjak sejenak untuk memastikan. Ada lega yang tersirat di wajahnya setiap kali ia menyaksikan ibu dan adiknya tertidur sambil memeluk satu sama lain. Itu adalah salah satu cara untuk membayar kerinduan yang menumpuk selama beberapa tahun.

Setelah menutup pintu dengan hati-hati, Bara kembali menuju ruangan kecil yang sekarang ia gunakan sebagai kamar. Beberapa lembar kertas berisi coretan hasil idenya berserakan di atas meja, tetapi Bara belum merasa puas. Ia butuh mencari lebih banyak referensi untuk desainnya.

Tangan Bara mengarahkan kursornya untuk membuka akun Spotify. Ia butuh mendengarkan musik agar matanya yang sudah lima watt itu tetap terbuka. Ia menggulirkan halaman akunnya, mencari lagu yang pas untuk menemaninya malam ini. Hingga sebuah profil dengan ikon bar musik yang berada di sisi kanan halamannya membuyarkan perhatian Bara. Seseorang pada daftar temannya sedang mendengarkan musik.

Beberapa menit terlewat tanpa Bara sadari ketika matanya terfokus pada ikon yang bagai bergerak naik-turun membentuk gelombang itu, seperti terhanyut. Ia baru mengerjapkan matanya ketika judul lagu yang tertera di sana berubah. Bara membuang napas yang sedari tadi ditahannya. Ia kembali mencari lagu yang akan diputarnya. Tetapi satu foto profil yang seakan tersenyum ke arahnya itu terus mengganggunya. Bara mendecakkan lidahnya, menyerah untuk mencari lagu.

Sebagai gantinya ia meraih ponselnya yang belum disentuhnya sejak ia mulai mengerjakan desain. Ada beberapa pesan masuk. Entah mengapa hati kecil Bara selalu mencari satu nama itu. Nama yang tak pernah muncul lagi di notifikasinya. Padahal Bara juga tak mengharap apapun, tetapi pikirannya selalu tanpa sadar membuatnya mencari.

Rendra mengirim pesan paling banyak. Tak ada yang terlalu penting. Hanya menceritakan kesibukannya sehari-hari. Tetapi setidaknya itu membuat Bara mengetahui kabar sahabatnya di sana. Ditutupnya ruang pesan dari Rendra tanpa memberikan balasan. Jempolnya kembali menggulirkan layar cukup cepat hingga ia mencapai bagian bawah kotak masuknya. Jemarinya sempat gemetar ketika ia membuka ruang pesan yang sudah begitu lama diabaikannya itu.

bintang kecil.


Suara getar ponsel menyentakkan Bintang dari tidurnya. Ia mengangkat kepalanya yang tergeletak di permukaan meja, merasa sedikit pening. Diraihnya ponsel yang layarnya masih berkedip-kedip tanda ada panggilan masuk. Bintang mengucek matanya yang pedih sebelum mengangkat panggilan itu.

“Ya?” Suara Bintang yang serak begitu kentara.

Ada tawa pelan dari seberang yang begitu Bintang kenal. Perlahan senyumnya mengembang meski kelopak matanya masih menolak untuk terbuka.

“Ketiduran, ya?”

Bintang ikut tertawa pelan. “Kok, tau?”

“Spotify-nya masih nyala, tuh.”

Terpaksa Bintang membuka matanya untuk melihat layar laptop yang menampilkan halaman tugas yang belum selesai. Bintang beralih membuka akun Spotify yang ternyata memang masih memutar lagu dari album terbaru Niki. Ia sebelumnya sengaja mengatur album itu on repeat.

“Sealbum lagunya enak sampe ketiduran.” Bintang beralasan. Tangannya bergerak untuk menghentikan lagu dengan judul Facebook Friends yang masih terputar. “Kamu kenapa belum tidur?”

Jawaban dari seberang tiba-tiba teredam dari telinganya ketika Bintang melihat satu profil yang tengah memutar lagu yang sama, yang baru saja dihentikannya. Dadanya seketika terasa ngilu. Nama itu muncul lagi tanpa aba-aba. Lama Bintang hanya tercenung melihat layar laptopnya.

“...bin? Abin?”

Suara panggilan itu kembali masuk dalam pendengaran dan menyadarkan Bintang. Tergeragap Bintang membalasnya.

“Eh, i- iya, Ru. Gimana?”

“Ngantuk banget kamu, ya? Buruan tidur, gih. Udah jam segini juga.”

“Iya, aku ngelarin tugas dikit lagi. Udah mau selesai. Kamu tidur duluan aja.”

“Nggak ditemenin? Aku belum ngantuk banget, kok.”

“Hmm… oke.” Bintang menjawab pelan. Masih dengan ragu tangannya menutup halaman Spotify.

Terakhir matanya masih menangkap profil seseorang dengan username “baraditya”, sebelum ia benar-benar mengeklik tanda silang di sudut layar. Bintang menelan ludahnya dengan kepayahan sembari ia menghalau semua perasaan yang seakan meminta untuk dilepas.

“Biru.”

“Iya?”

“Temenin aku, ya, Ru? Temenin sampe aku selesai.”

Layar ponselnya kembali gelap setelah beberapa saat lalu sambungan telepon diputus. Nyeri melintasi dadanya, selalu begitu jika ia mendengar kabar yang kurang baik dari Bintang. Kunci motor yang masih berada dalam genggaman kembali digunakan Biru untuk menghidupkan motor yang juga masih terparkir di halaman rumah. Ia harus segera menuju ke rumah Bintang.

Wajah pertama yang menyambutnya adalah wajah seseorang yang menghubunginya tadi, memberitahukan gelagat Bintang yang aneh semenjak pulang dari kampus. Tanpa bicara dan kemudian mengunci diri di kamar.

“Anaknya masih di kamar,” ujar Bulan. Biru mengikuti kakak perempuan Bintang menuju ke kamarnya. “Biasanya kalo lagi begini Bunda yang bisa bujukin Abin, tapi Bunda masih belum pulang. Minta tolong, ya, Ru? Takutnya ngedekem di kamar sampe skip makan.”

Bulan mengetuk pelan pintu kamar Bintang.

“Abin.”

Samar terdengar balasan dari dalam.

“Belom laper, Kak. Nanti Abin makan sendiri.”

Bulan mendekatkan dirinya ke pintu kemudian berujar lebih keras.

“Ini ada Biru. Mau ketemu kamu.”

“Nggak usah boong, Kak. Abin lagi nggak mood.

Bulan kemudian mengisyaratkan Biru untuk mengambil alih tugasnya. Ia berbisik pada cowok itu.

“Kamu yang ngomong sama Abin, ya? Maaf banget ngerepotin.”

“Nggak apa-apa, Kak.”

Sepeninggal Bulan, Biru kembali mengetuk pintu kamar Bintang sebanyak tiga kali. Yang dibalas dengan gerutu kesal dari Bintang.

“Kak, Abin cuma pengen istirahat. Abin capek!”

Reaksi Bintang membuat Biru sedikit terkejut. Ia menerka-nerka apa yang membuat Bintang bersikap seperti ini.

“Abin,” panggil Biru. “Ini aku. Boleh dibukain pintunya, nggak?”

Tak ada jawaban untuk beberapa saat lamanya. Biru mengira Bintang benar-benar sedang tidak ingin diganggu ketika kenop pintu bergerak dan pintu kamar mulai terbuka, memberikan sedikit celah untuk Biru dapat melihat wajah Bintang. Cowok itu khawatir begitu ia menangkap mata Bintang yang memerah.

“Kamu, kok, ke sini?” tanya Bintang pelan, terheran mendapati pacarnya itu tiba-tiba ada di depan kamarnya.

“Kak Bulan nelfon aku tadi,” jelas Biru. “Aku boleh masuk, nggak?”

Bintang membuka pintunya lebih lebar kemudian menarik Biru ke dalam kamarnya sebelum menutup pintunya lagi. Setelah itu ia kembali berjalan ke arah ranjangnya dan duduk di tepian, beberapa kali ia mencoba membersit hidungnya. Jelas sekali Bintang habis menangis.

Biru yang masih berdiri menyaksikan dari dekat pintu kamar mulai beranjak mendekati Bintang lalu berjongkok di depan pacarnya itu. Tanpa mengucapkan apapun Biru menarik Bintang ke dalam pelukan sambil mengusap punggungnya. Tangis Bintang kembali pecah.

“Biru… Aku kesel banget…” rengek Bintang di antara isakannya.

Tangan Biru tak henti memberikan usapan pada punggung Bintang. “Ada apa?”

“Temen aku. Padahal aku udah berapa hari begadang ngerjain project itu, cuma gara-gara dia aku jadi nggak dapet nilai.”

Biru mengurai pelukannya untuk menghapus air mata di wajah Bintang dengan ibu jarinya sebelum bertanya.

“Temen kamu kenapa?”

“Aku pernah bilang ke kamu, kan? Aku ada ngerjain tugas besar. Nah, itu sebenernya tugas kelompok. Anggotanya acak dan aku kebagian sekelompok sama dia.”

“Kamu sekelompok sama dia doang?”

“Ada satu lagi sebenernya. Tapi dia lagi opname di rumah sakit. Otomatis aku nggak tega ngasih tugas yang berat ke dia. Dia tetep ngerjain, cuman bagian yang beratnya dikerjain aku sama temenku yang satu ini.”

“Terus?” Biru mendengarkan penjelasan Bintang sementara tangannya menggenggam tangan pacarnya itu.

“Ya, udah, aku kerjain bagian aku. Emang tugas aku yang paling berat, soalnya temenku ini bilang kalo dia kurang bisa ngerjain bagian itu. Aku nggak mau buang-buang waktu buat ngajarin dia atau ngerjain bareng, karena masih ada tugas dari matkul lain. Mungkin salahku juga di sini. Tapi dia, tuh, juga nggak inisiatif buat nanya-nanya atau bantuin gitu, Ru.”

“Dia kamu kasih tugas lain?”

“Iya. Aku kasih tugas yang lebih gampang. Aku yang bikin aplikasinya. Nanti dia tinggal convert file dari aku, itu tahap paling akhir. Jadi aku harus cepet-cepet nyelesaiin bagiannya aku biar bisa dilanjut sama dia.”

“Terus kamu udah selesai? Kamu kasih ke dia?”

“Aku selesainya agak malem gitu karena aku ngerjain yang lain-lain juga. Terus aku kirim ke dia, aku bilang itu tinggal di-convert aja. Ada tutorialnya di materi. Besok pagi dipresentasiin.”

“Dia kerjain, nggak?”

“Nggak, Ru,” seru Bintang kesal. “Dia bilangnya, sih, udah nyoba tapi gagal terus. Pas mau presentasi dia baru bilang ke aku.”

“Loh, terus? Kalian presentasinya gimana?”

“Ya, nggak jadi presentasi. Dosennya cuma mau liat hasil akhir. Padahal hasil akhir itu harusnya dia yang ngerjain. Aku kesel banget sampe nggak bisa bilang apa-apa sama dia tadi, rasanya cuma pengen nangis. Kayak nggak ada tanggung jawabnya banget.”

Biru mengusap punggung tangan Bintang yang kembali terisak. Ia tahu seberapa kecewa pacarnya itu saat ini.

“Padahal kalo dia bilang paginya itu aku masih bisa bantu ngerjain. Presentasinya juga nggak jam pertama. Tapi dia nggak bilang apa-apa, aku kira udah beres tugasnya. Aku bela-belain ngerjain bagian yang paling susah sampe kurang tidur, maag aku juga kambuh, tapi dia kayak santai banget nggak mikirin.”

Biru menganggukkan kepala mendengarkan semua keluh kesah Bintang. Ia biarkan cowok itu menumpahkan semua kekesalannya terlebih dahulu sebelum memberikan tanggapan.

“Masih ada yang mau ditumpahin, nggak? Atau udah?” tanya Biru.

“Itu, sih, pokoknya. Kesel dan sedih banget sekarang.”

Biru menarik senyum tipis pada bibirnya. Kembali dirangkumnya tangan Bintang dalam genggaman tangannya. Ia menatap Bintang yang kini mulai terfokus padanya.

“Pasti kesel banget sekarang, ya? Udah capek-capek ngerjain terus malah nggak dapet nilai gara-gara satu hal sepele.” Biru mengamati Bintang yang menganggukkan kepalanya cepat. “Tapi Bintang lupa ada satu hal penting yang jadi sumber masalah. Nggak cuma dalam hubungan kayak aku sama kamu, tapi juga waktu kerja kelompok kayak gini. Komunikasi.”

Bintang menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan keras. Ia mulai menyadari apa yang dilewatkannya selama ini. Hal yang paling penting dalam berhubungan satu sama lain.

“Aku nggak nyalahin Bintang aja, menurutku dua-duanya ada salah. Temen kamu nggak bilang ke kamu kalo dia ada kesulitan. Dan kamu juga nggak komunikasi ke dia tentang beberapa hal. Yang pertama, kamu nggak bilang kalo alasan kamu ngambil bagian paling susah itu karena kamu pengen tugasnya cepet selesai tanpa harus ribet ngajarin temen kamu yang kurang menguasai. Siapa tau temen kamu pengen belajar? Iya, kan? Dia juga jadinya nggak tau kalo kamu mati-matian ngerjain tugas ini. Yang kedua, kamu nggak konfirmasi lagi habis kamu nyerahin bagian kamu ke dia. Dia juga salah nggak bilang kalo tugasnya belum selesai. Tapi misal kamu nanyain ke dia sebelum waktu presentasi, kan, kamu jadi tau kalo ada yang harus diselesaiin? Ngerti, kan?”

“Ngerti…” ucap Bintang pelan.

Biru mengarahkan tangannya untuk menyibakkan helai-helai rambut yang menutupi dahi Bintang, membuatnya dapat melihat ekspresinya dengan lebih jelas. Bintang masih terlihat kesal namun kali ini dirinya mulai memahami di mana letak masalahnya.

“Tugas kelompok itu harusnya emang dikerjain bareng-bareng, dengan porsi yang adil. Bintang udah keren banget mau ambil resiko ngerjain yang susah tapi jadinya berat di Bintang juga, kan? Kalo waktu itu Bintang nyoba diskusi dulu sama temennya siapa tau hasilnya bisa berubah. Aku selalu bilang ini sama kamu, Bintang, jangan lupa kalo nggak semua hal itu tanggung jawab kamu. Jadi jangan maksain buat nanggungnya sendirian. Kasian di kamunya juga.”

Bintang mencebikkan bibirnya lagi mendengar nasihat dari Biru. “Terus sekarang gimana, Ru? Sia-sia aku ngerjain dan nggak dapet nilai.”

“Kamu udah nyoba negosiasi ke dosen kamu belum?”

Bintang menggelengkan kepalanya. “Tadi aku keburu kesel dan sedih banget. Aku nggak jelasin apa-apa ke dosen aku.”

“Nah, kamu ajakin temen kamu buat jelasin ke dosen. Jujur aja nggak papa. Jelasin pembagian tugasnya, terus ada temen kamu yang sakit juga dijelasin. Biar dosennya paham. Aku yakin dosen kamu nggak akan sekejam itu, kok.”

“Kalo nggak berhasil gimana, Ru?”

“Dicoba dulu. Urusan gimana nantinya dipikirin nanti kalo kamu udah bilang ke dosen.” Biru mengusak pelan rambut Bintang. “Kalo ternyata emang nggak bisa biar aku yang marahin dosen sama temen kamu itu.”

Kalimat Biru itu akhirnya dapat memunculkan senyum pertama di wajah Bintang hari itu. Ditinjunya pelan bahu Biru yang kemudian memecah tawa.

“Emang kamu bisa marah?” sindir Bintang.

“Bisa, lah.”

Biru melipat kedua tangannya di depan dada. Alisnya dirapatkan hingga wajahnya terlihat sinis. Tetapi Bintang sama sekali tak menganggap itu menakutkan. Ia justru tertawa geli melihat ekspresi pacarnya.

“Nggak cocok!” seru Bintang seraya menutup wajah Biru dengan kedua telapak tangannya. “Udah nggak usah marah-marah. Jelek kayak angry bird.

Biru membantah ucapan Bintang tetapi suaranya teredam oleh tangan Bintang yang masih menutupi seluruh wajahnya. Bintang kemudian menyingkirkan tangannya hingga akhirnya bertahan di kedua sisi wajah Biru.

“Masih sedih, nggak?” tanya Biru.

“Dikit.”

“Kesel?”

Bintang menggeleng.

“Oh, iya. Tadi aku sempet mampir beli sesuatu.”

Bintang mengangkat alisnya ketika Biru melepas ranselnya dan mengambil sesuatu dari kantong depan. Ia bahkan baru sadar Biru masih membawa ransel kuliahnya. Itu berarti Biru langsung datang ke rumahnya setelah dihubungi oleh kakaknya.

“Kamu dari kampus tadi, ya, pas ditelfon Kak Bulan?” tanya Bintang.

“Hah? Oh, enggak, sih. Baru banget nyampe rumah.” Biru kemudian mengulurkan sebungkus coklat dan sekotak susu stroberi ke hadapan Bintang. “Nih. Maaf coklatnya merk asal-asalan soalnya tadi belinya di warung. Lain kali aku beliin coklat yang beneran.”

Bintang mendenguskan tawa melihat benda di tangan Biru sebelum mengambilnya. Ia belum pernah melihat merk coklat itu sebelumnya.

“Sama aja yang penting judulnya coklat,” ucap Bintang sambil membuka pembungkusnya lalu mematahkan secuil untuk dimakannya. “Enak, kok.”

“Syukur, deh, kalo enak. Bikin mood bagus juga, kan?”

Bintang masih mengunyah coklat itu dalam mulutnya sementara tangannya kembali mematahkan secuil bagian lagi untuk diberikan kepada Biru.

Mood aku bagus bukan karena coklatnya. Tapi yang ngasih coklat.”

Biru menerima potongan coklat dari Bintang dengan senyum cerah. “Masa?”

“Iya. Coba kalo yang ngasih coklat ini temenku tadi. Yang ada malah makin emosi akunya.”

Tergelak Biru mendengar komentar Bintang. Ia mengangguk setuju.

“Biru, kamu gimana kabarnya? Ada cerita apa gitu di kampus atau di rumah?”

Beberapa minggu ini memang keduanya belum sempat bertemu karena kesibukan masing-masing. Hanya bertukar kabar melalui pesan atau telepon.

“Kabarnya kangen Bintang, sih,” jawab Biru.

“Ih, yang bener jawabnya,” protes Bintang sembari mendorong pelan bahu Biru.

“Beneran. Emangnya kamu nggak kangen aku?”

“Ya, kangen. Maksudnya selain itu. Kamu sehat-sehat aja, kah? Apa pernah sakit selama nggak ketemu aku?”

“Sakit kangen.”

Bintang mendelikkan matanya mendengar jawaban Biru.

“Biru kamu sakit tapi sakitnya karena ketularan Hanan. Penyakit alay kronis!”

Biru tertawa keras hingga memegangi perutnya. Bintang memang lucu kalau sedang mengomel. Cowok itu kini sibuk menyedot susu stroberinya. Biru hanya mengamatinya sambil menopang wajah dengan satu tangannya.

“Buruan cerita kabar kamu gimanaaa,” desak Bintang. Setengah kesal karena Biru tak kunjung menjawab pertanyaannya dan setengah rikuh dipandangi pacarnya seperti itu.

“Aku sama sibuknya kayak kamu, deh. Tugas, ujian, tugas, ujian, proker, ngajarin Dinda. Eh, Dinda sekarang lagi suka nulis-nulis gitu, deh. Lucu banget.”

“Ya, ampun. Kangen banget sama Dinda. Dia nulis apa? Cerita?”

“Iya, cerita aneh-aneh gitu. Genrenya fantasi kayaknya.”

“Umur segitu emang imajinasinya lagi luas banget. Biarin aja, Ru. Bisa jadi bakatnya dia nanti.”

“He-eh, aku biarin aja dia nulis-nulis sampe habis berapa kertas gitu. Suka ketawa aku bacain ceritanya. Hiburan pas aku capek pulang kuliah.”

“Kirimin ke aku juga, dong. Aku mau baca,” pinta Bintang.

“Oke, nanti aku kasih liat. Dia juga kadang nanyain kamu. Tapi aku bilang kamunya lagi sibuk, belum bisa main ke rumah.”

Bintang mengerutkan alisnya sedih. “Kapan-kapan mau main ke tempat kamu. Kangen masakan ibu kamu juga.”

“Nanti kalo kamu udah agak longgaran.”

Biru dan Bintang terus bertukar cerita tentang apa yang mereka lewatkan selama beberapa saat tak bertemu. Tangan Bintang tak pernah lepas memegang jemari Biru dan Biru tentu saja menyadarinya. Dibiarkan gestur itu yang membuat hatinya menghangat.

“Eh, kamu nggak pegel duduk di lantai terus? Sini, naik aja,” ucap Bintang seraya menepuk ranjangnya. Sedari tadi Biru memang menghempaskan dirinya di lantai sementara Bintang sibuk bercerita.

Bintang menarik tangan Biru untuk bangkit berdiri dan duduk di sebelahnya. Ia lalu memposisikan dirinya agar dapat berhadapan dengan Biru. Senyumnya kembali terkembang.

“Kenapa senyum gitu?” tanya Biru meski dirinya juga tak dapat menahan untuk ikut tersenyum.

“Nggak papa. Seneng kamu di sini.”

Tak ada percakapan lagi. Hanya dua kepala yang saling berkonversasi melalui sepasang mata. Tangan Biru terulur untuk menghapus noda coklat di sudut bibir Bintang. Napasnya berhembus dengan teratur hingga kemudian ia mengambil keputusan untuk menutup jarak dengan menyatukan sepasang bibirnya dengan milik Bintang. Yang dicium perlahan menurunkan tangannya yang masih memegang sekotak susu yang hampir habis isinya. Dengan mata terpejam ia membiarkan dirinya terbawa oleh perasaan rindu yang telah memupuk untuk segera dilepaskan.

Rasanya selalu sama. Biru selalu menyimpan memori atas sensasi yang datangnya dari mencium bibir milik Bintang. Hanya saja kali ini ada sedikit rasa coklat bercampur dengan stroberi. Masih manis seperti biasa.

Biru berusaha untuk menjaga ritmenya. Ini bukanlah tempat di mana ia bisa dengan leluasa membebaskan hasratnya akan Bintang. Jadi ia hanya melepaskan ciuman-ciuman kecil, beberapa bertahan cukup lama, tak cukup lama untuk Bintang dapat berbuat sesuatu sebab Biru selalu menahan pergerakannya. Ketika Biru menarik dirinya ia mendapati wajah Bintang yang mengerut lucu.

“Nanti, ya?” bisiknya. “Jangan di sini. Aku nggak enak.”

“Bisa dikunci pintunya,” kilah Bintang bersungut-sungut dengan nada suaranya yang kecil.

Biru menenggelamkan Bintang dalam pelukan karena terlalu gemas. Meskipun Biru juga ingin, tetapi waktu dan tempatnya sangat tidak memungkinkan. Lagipula Biru tidak yakin ia dapat menahan diri untuk melakukan sesuatu yang mungkin mengejutkan Bintang. Ia menyimpannya untuk lain kali saja.

Suara ketukan di pintu mengagetkan keduanya. Bintang segera menarik dirinya dari pelukan Biru.

“Abinnn!”

Itu suara ibunya. Bintang menghela napas sebelum akhirnya beranjak menuju pintu.

“Abin, kamu kenapa lagi? Kak Bulan nelfonin terus-” Ibunya segera menanyai Bintang setelah dibukakan pintu. “Ya, ampun. Itu belepotan coklat muka kamu.”

Bintang melebarkan matanya dan buru-buru mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Panik.

Sementara Bintang masih sibuk membersihkan noda coklat pada wajahnya, ibunya melongokkan kepala ke dalam kamar dan mendapati Biru yang masih duduk di sisi ranjang. Wanita itu tersenyum lebar.

“Eh, Biru. Maaf, ya, Bulan sampe nyuruh kamu ke sini. Abin kalo lagi ngambek sukanya gitu. Ngurung diri di kamar.”

“Iya, nggak apa-apa, Bun. Saya juga sekalian mau mampir ke sini. Udah lama nggak nengokin Abin sama Bunda.”

“Nanti makan malem di sini, ya? Bunda tadi bawa makanan. Beli macem-macem kesukaannya Abin gara-gara kakaknya nelfon ngasih tau kalo dia nggak mau keluar kamar.”

Biru menganggukkan kepalanya. “Iya, Bun. Abin udah baikan, kok. Tadi udah cerita banyak sama saya.”

Ibu Bintang kembali mengalihkan perhatiannya pada anak bungsunya. Disibaknya rambut anaknya itu lalu dibawanya ke dalam pelukan.

“Kamu sukanya bikin Bunda khawatir pas Bunda lagi sibuk. Untung ada Biru yang bisa nemenin. Lain kali kalo ada apa-apa bilang, jangan diem aja. Iya, kan, Ru?”

Biru mengangkat jempolnya setuju.

“Ya, udah. Bunda mau beres-beres dulu. Nanti ke meja makan, ya?” pinta ibunya sebelum benar-benar pergi meninggalkan kamar Bintang.

Bintang menutup kembali pintu kamarnya dan segera menghampiri Biru.

“Ih, kok kamu nggak bilang muka aku coklat semua!” omel Bintang.

Biru terkekeh sambil berusaha membersihkan sisa coklat yang masih menghiasi sekitar bibir Bintang.

“Di kamu juga ada!” seru Bintang menunjuk wajah Biru. “Untung Bunda rabun jauh, nggak liat kamu belepotan coklat juga.”

Biru seketika mencondongkan wajahnya ke arah Bintang.

“Bersihin pake cara kayak tadi lagi, dong.”

“Apaan? Nggak. Malu ada Bunda.”

“Tadi katanya mau. Sekarang malah malu, gimana sih?”

Bintang mendesis gemas sebelum menoyor kepala Biru yang meringis sambil terkekeh puas. Sukses dibuatnya merah padam wajah pacar kesayangannya itu hingga ke telinga. Bintang lalu menyuruhnya untuk segera membersihkan wajahnya sebelum kakaknya yang datang ke kamar dan menginterogasi keduanya.

“Kalo nggak dapet izin hari ini kemungkinan batal.”

“Terus acaranya?”

“Terpaksa diundur atau ganti proker baru.”

Keluhan beberapa anggota panitia mulai memenuhi ruang sekretariat. Hanan yang sejak tadi hanya diam mendengarkan percakapan dengan ekspresi wajah yang kaku akhirnya bangkit menuju Biru, ketua pelaksanaan untuk kegiatan kali ini.

“Mana proposalnya? Biar gue yang urus,” tagih Hanan.

Biru menatap Hanan seakan menanyakan apakah temannya itu tak mendengar penjelasannya beberapa menit lalu.

“Dekan nggak ngasih izin, Nan. Tadi juga udah gue sendiri yang ke sana, kan?”

“Biar gue coba lobi lagi. Siapa tau bisa.”

“Fokus sama yang bisa dilakuin sekarang, Nan. Waktunya nggak banyak.”

Hanan menautkan alisnya. Tidak suka dengan pernyataan Biru barusan.

“Ini proker harus jalan, Ru,” tegas Hanan. “Persiapan udah lebih dari setengahnya, tinggal perizinan doang yang dihambat dari kemaren. Tinggal ini doang, lho. Nggak kasian sama anak-anak kalo harus mulai dari awal lagi?”

Arka menyadari ketegangan di antara keduanya mulai menyita perhatian seluruh ruangan yang tiba-tiba hening. Perlahan ia bangkit dari duduknya untuk menghampiri dua orang yang masih berdebat itu.

“Beneran nggak bisa emang, Ru?” tanya Arka, berusaha menyuarakan keinginan Hanan akan terlaksananya kegiatan itu.

Biru menghela napas berat. “Maksud gue, udah dicoba sama beberapa orang, kan? Hasilnya nihil. Jadi buat apa wasting time sementara kita bisa manfaatin waktunya buat yang bener-bener bisa dikerjain? Gue juga pengen proker ini jalan, jangan salah sangka dulu.”

“Kalo mau, ya, coba lagi. Beberapa orang, tuh, berapa orang emangnya? Baru tiga orang termasuk lo, kan?” tanya Hanan.

Mengenal Hanan untuk waktu yang cukup lama membuat Biru yakin bahwa dirinya tidak dapat memenangi perdebatan ini. Cowok itu terlalu keras kepala. Dan Biru tidak bisa seenaknya mengambil keputusan. Apa yang menjadi keinginan para anggotanya adalah tanggung jawabnya juga. Mereka bisa memutuskan sesuatu tetapi Biru yang pertama kali harus menerima konsekuensinya.

“Sekali lagi aja gimana, Ru?” bujuk Arka kali ini. “Gue sama Hanan yang ke sana. Kita jelasin sedetail-detailnya kalo proker kita beda sama proker anak sebelah. Kalo tetep nggak dapet izin, oke kita ganti proker. Ya, Nan?”

Arka menoleh ke arah Hanan yang kemudian mengangguk singkat meski enggan. Ia bersikukuh agar kegiatan ini tetap dapat terlaksana. Biru tak dapat menahan lagi karena semakin banyak waktu yang terbuang maka kesempatan untuk melaksanakan kegiatan kali ini juga semakin menipis.

“Ayo.”

Arka menarik Hanan keluar dari ruang sekretariat yang masih hening. Dirinya tahu betapa pentingnya kegiatan ini untuk Hanan, maka ia pun berusaha untuk memperjuangkannya.


Semburat jingga di langit sore itu mulai mewarnai tiap sudut kota. Menembus kain tenda pedagang kaki lima di mana Hanan dan Arka sedang mengisi perut mereka saat ini.

Dua mangkuk mie ayam dan dua gelas es teh manis tersaji di atas meja. Arka menyantap makanannya dengan tenang. Sesekali diliriknya Hanan yang terus melahap mie ayamnya tanpa jeda. Arka tahu cowok itu melakukannya bukan semata-mata karena lapar.

Negosiasi dengan dekan tak membuahkan hasil. Proposal kegiatan mereka tetap tak disetujui. Arka bahkan harus menahan Hanan yang hampir tak mau menyerah untuk meyakinkan tentang rancangan kegiatannya.

Suara napas yang tercekat diikuti dengan batuk hebat membuat Arka terkejut. Hanan meraih gelas es tehnya dan meneguknya banyak-banyak sementara Arka mengusap punggungnya.

“Udah, kali,” tegur Arka. “Yang penting lo udah usaha.”

Gelas es teh ditaruh dengan sedikit bantingan di atas meja. Hanan menoleh ke arah Arka.

“Gue doang yang usaha. Lainnya pasrah-pasrah aja. Jelas nggak bisa jalan,” cetus Hanan.

“Bukan pasrah namanya realistis. Daripada berhenti di tempat mending cari jalan lain. Bakti sosial, kan, nggak harus di panti asuhan.”

“Gue kira lo yang paling tau kenapa gue mau acaranya tetep diadain di sana.” Hanan berhenti sejenak setelah menyadari sesuatu. “Kamu.”

Arka menghembuskan napas melalui mulutnya. Ia memang tahu alasannya. Tetapi ini adalah kegiatan bersama bukan personal.

“Ka, kemarin kamu ikut pas survey ke sana, kan?” Hanan mulai bersuara lagi. Kali ini lebih tenang. “Liat, nggak, anak-anaknya pada seneng banget waktu kita dateng? Aku masih inget mereka ngomong apa ke aku. 'Kak, nanti ke sini lagi, ya?' Itu sebelum pulang, Ka. Baju aku ditarik-tarik terus aku dibisikin itu sama mereka.”

Saat kunjungan ke panti asuhan beberapa waktu lalu itu memang Hanan langsung berusaha mengobrol dengan beberapa anak. Tidak seperti Hanan yang biasanya suka menggoda anak kecil. Kali ini ia benar-benar mendengarkan cerita anak-anak itu yang dilontarkan padanya dengan antusias.

Arka kemudian terpikirkan oleh sesuatu. Ia menepuk lengan Hanan.

“Nan, walaupun bukan proker kita tetep bisa ke sana. Iya, kan?”

Hanan menatap Arka sejenak, kemudian menggeleng lambat.

“Di luar proker kita nggak bisa ngasih apa-apa. Tujuannya ada proker itu, kan, buat memenuhi kebutuhannya mereka.”

“Ck, Nan. Lo sendiri tadi yang bilang kalo anak-anak di sana pengen lo dateng lagi. Intinya itu. Mereka cuma pengen lo ke sana lagi. Lagian dulu pas survey kita juga nggak bawa apa-apa, cuman bawa makanan ringan.”

Omongan Arka ada benarnya. Tetapi Hanan ingin sekali berkontribusi memberikan sesuatu yang layak untuk anak-anak itu.

“Oke, nanti aku pikirin lagi,” putus Hanan akhirnya.

“Nah, gitu dong!” Arka tersenyum puas. Ia mengusap sisi wajah Hanan sebelum menghabiskan mie ayamnya yang sudah mendingin.


Pukul delapan pagi. Halaman panti asuhan itu sedang dipenuhi anak-anak yang sedang berolahraga pagi. Dari kejauhan senyum Hanan sudah mengembang melihat wajah anak-anak yang masih setengah mengantuk itu dipaksa harus menggerakkan tubuhnya.

“Selamat pagi.”

Sapaan dari Hanan membuat beberapa kepala seketika menoleh dan berteriak kegirangan. Mereka berlarian menghambur ke arah Hanan.

“Kak Hanan! Kak Hanan!”

“Kalian udah sarapan belum?”

“Belummm!!!”

“Lanjutin dulu kegiatannya. Nanti sarapan bareng-bareng, ya?”

Anak-anak itu kembali bersorak. Mereka lalu meneruskan kegiatannya yang tertunda. Sementara itu Hanan dan Arka pergi menemui pengurus panti asuhan yang sudah mereka hubungi beberapa hari sebelumnya untuk meminta izin berkunjung.

Suasana di dalam ruangan dengan meja-meja panjang itu hingar-bingar oleh celotehan para anak yang sudah selesai berolahraga dan membersihkan diri kemudian mengambil tempat untuk duduk dengan tertib. Binar pada mata mereka membuat senyum Hanan tak pernah lepas dari wajahnya.

“Sarapan kali ini bubur ayam, ya? Siapa yang suka bubur ayam?” tanya Hanan.

“Akuuu!”

“Aku, Kak!”

Arka mengambil dua tas plastik besar yang berisi sekitar dua puluh kotak styrofoam bubur ayam. Bersama dengan Hanan ia membagikan kotak-kotak itu kepada anak-anak. Setelah memastikan setiap anak sudah mendapatkan bagiannya, Hanan memimpin doa sebelum mereka mulai makan.

“Oh, iya. Bubur ayamnya yang beliin Kak Arka,” ujar Hanan setelah ia selesai memimpin doa. “Bilang makasih ke Kak Arka.”

Anak-anak itu serentak menolehkan kepalanya ke arah Arka dan berseru bersamaan.

“Makasih Kak Arka!!!”

Arka yang sedang membereskan tas plastik seketika terkejut lalu tersenyum rikuh.

“Iya, sama-sama,” balasnya. “Ayo, sekarang semuanya makan.”

Meski kebanyakan anak sudah bisa makan sendiri, namun Hanan dan Arka masih berkeliling untuk mengecek apakah ada yang memerlukan bantuan mereka. Beberapa juga ada yang akhirnya minta disuapi untuk makan.

“Kak, aku kalo makan pengen disuapin terus,” ucap seorang anak laki-laki yang tengah disuapi oleh Hanan.

“Jangan, dong. Makin gede harus bisa makan sendiri. Nanti malu sama temen-temennya kalo disuapin terus,” ucap Hanan.

“Nggak papa. Nggak enak makan sendiri.”

Hati Hanan tiba-tiba terasa ngilu. Ia paham betul perasaan anak laki-laki di hadapannya itu. Saat dirinya seumuran anak itu, ibunya selalu menyuapinya makan yang hingga kini menjadi suatu memori yang terus melekat dalam ingatannya. Bahkan hingga ia sudah tumbuh besar pun, ibunya tetap mau menyuapinya ketika ia sakit. Tetapi anak ini tidak memiliki seseorang yang mampu mencurahkan seluruh perhatian padanya. Ia dipaksa untuk mandiri.

“Hari ini disuapin Kak Hanan, kan?” ucap Hanan kemudian. “Besok-besok kalo nggak ada yang nyuapin, nggak papa makan sendiri. Tapi makannya bareng temen-temen. Jadi rame.”

Anak laki-laki yang sedang mengunyah makanannya itu mengangguk kecil.

“Tapi pengen Kak Hanan ke sini terus.”

“Kak Hanan kuliah jadi nggak bisa sering ke sini. Tapi kalo ada waktu pasti Kak Hanan sempetin, deh.”

“Bener, ya, Kak? Sama Kak Arka juga.”

Hanan tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.

“Eh, menurut kamu Kak Arka ganteng, nggak?” celetuk Hanan tiba-tiba.

Anak itu langsung mengangguk cepat.

“Sama Kak Hanan? Gantengan mana?”

Sebuah jitakan pelan mendarat di puncak kepala Hanan. Seketika cowok itu mengaduh pelan sambil mengusap-usap kepalanya.

“Nggak usah aneh-aneh ngobrol sama anak kecil,” tegur Arka.

“Orang cuma nanya,” kilah Hanan sambil cemberut. Ia kembali menyuapi anak itu yang kini tertawa lucu melihat Hanan dijitak.

Selesai sarapan dan membersihkan meja dari kotak bekas makanan, pengurus panti mengizinkan Hanan dan Arka untuk melakukan aktivitas dengan anak-anak panti. Beberapa hari sebelumnya Arka mengusulkan pada Hanan untuk membuat kegiatan membaca bersama. Jadi hari itu Arka menyiapkan buku-buku cerita anak dan Hanan yang bertugas membacakannya untuk mereka.

Tanpa disuruh anak-anak itu sudah duduk melingkar di sekitar Hanan yang mendekap beberapa buku di dadanya. Hanan kemudian menanyakan kepada mereka cerita apa yang ingin mereka dengar, dan anak-anak mulai bersahutan menyebutkan judul buku yang dibawa Hanan. Cowok itu akhirnya memilih satu judul yang paling banyak diminati dan mulai membacakannya untuk mereka. Anak-anak itu kembali tenang mendengarkan. Saat Hanan berhenti sejenak untuk berinteraksi lagi dengan anak-anak itu, mereka membalasnya dengan semangat.

Arka yang sengaja mengambil tempat di sudut ruangan diam-diam merasa terharu melihat pemandangan di depannya. Hanan yang dengan antusias membacakan cerita kepada anak-anak dan beberapa anak bahkan menyandarkan tubuhnya pada Hanan dan memeluk badan cowok itu sembari mendengarkan. Hanan sesekali mengusap kepala anak-anak yang bersandar padanya. Tiba-tiba saja mata Arka terasa panas dan sebelum air matanya bergulir turun ia buru-buru beranjak keluar ruangan, meninggalkan Hanan yang masih dikelilingi kepala-kepala yang tak lepas memperhatikannya.

Kegiatan itu berlangsung cukup lama. Hingga jam tidur siang tiba dan pengurus panti asuhan harus meminta anak-anak untuk tidur. Hanan pun berniat untuk istirahat sejenak. Ia bangkit berdiri setelah beberapa jam duduk bersila yang membuat punggungnya pegal dan kakinya kesemutan. Apalagi ada anak-anak yang tak mau lepas darinya.

Hanan mengedarkan pandangan untuk mencari Arka yang tak dilihatnya ada di dalam ruangan. Ia beranjak keluar ruangan untuk mencari Arka. Tak jauh ia melangkah hingga ditemukannya cowok itu duduk di atas tembok rendah yang membatasi halaman dengan ruang utama panti asuhan. Hanan mempercepat langkahnya untuk menghampiri Arka.

“Dari tadi di sini?”

Arka yang baru menyadari kehadiran Hanan mengangkat alisnya kaget. Ia sedang melamun sambil mengamati pelataran panti asuhan yang cukup luas itu.

“Cari udara seger aja,” jawab Arka. “Udah selesai?”

Hanan melompat duduk di sebelah Arka. Ia ikut memandangi halaman panti asuhan yang asri dengan banyak tanaman hijau meski siang itu terasa begitu terik.

“Anak-anak harus tidur siang. Kita juga kayaknya bentar lagi balik.”

Arka menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

“Tadi gue ngobrol sama ibu panti,” ucap Arka.

“Iya?”

“Dia seneng banget sama kedatangan kita. Soalnya yang biasa ngasih sumbangan atau ngadain baksos, tuh, cuma ngasih materi aja. Nggak ngajakin anak-anak ngobrol atau main gitu. Jadinya dia seneng pas liat anak-anak pada semangat tadi.”

“Hmm.” Hanan mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. “Pasti lebih seru kalo proker kemarin bisa jalan. Bakal ada lebih banyak kegiatannya.”

“Yang tadi juga udah seru, kok,” sanggah Arka. “Liat anak-anak pada serius dengerin lo cerita. Terus mereka juga-”

Hanan seketika menolehkan kepalanya kala ia mendengar getar pada suara Arka. Cowok itu rupanya sudah berkaca-kaca.

“Eh, kok nangis?” tanya Hanan panik. Ia beringsut mendekati Arka dan menarik tubuhnya dengan sebelah tangan.

Arka buru-buru mengusap matanya seraya tersenyum malu.

“Lo, tuh…”

“Hm? Aku kenapa?”

“Nggak tau, deh. Lo keren banget hari ini pokoknya,” ujar Arka cepat. Telinganya memerah.

Hanan mulai menangkap maksud Arka dan itu membuatnya tak dapat menahan senyum lebarnya.

“Hari ini doang kerennya?” goda Hanan.

“Jangan rese.”

Hanan terkekeh geli. Ia merapatkan tubuhnya pada Arka yang masih dirangkulnya dengan satu tangan. Bahu Arka ditepuk-tepuknya pelan sementara cowok itu menghapus air mata di sudut-sudut matanya.

Mereka menikmati suasana siang hari yang kali itu terasa teduh dengan hati yang hangat.

[to be continued.]

Hanan dan Arka baru sampai di rumah ketika langit hampir gelap setelah mereka pulang dari panti asuhan dan mampir ke beberapa tempat untuk sekedar jalan-jalan.

“Ka, tidur tempat aku aja, yuk?”

Arka yang baru melepas helmnya itu langsung mengeluh. Pasalnya hari ini pasti keluarganya ingin berkumpul untuk makan malam bersama. Dan jika Arka keluar lagi setelah itu, sudah pasti ia akan ditanyai.

Tetapi hari ini Hanan telah melakukan banyak hal yang pantas untuk diberi apresiasi. Hari ini Hanan membuat Arka tersadar bahwa rasa sayangnya untuk cowok ini akan terus tumbuh dan berkembang. Dan Arka ingin Hanan tahu kalau dirinya sangat menghargai eksistensi cowok itu.

Maka Arka memberi anggukan singkat sebagai jawaban. Hari ini akan menjadi hari paling indah untuk Hanan.

Rumah Hanan lagi-lagi sepi. Arka mengikuti langkah Hanan untuk menuju kamarnya. Ia merebahkan badannya di ranjang Hanan setelah seharian berada di luar. Arka memekik pelan ketika Hanan dengan sengaja menjatuhkan dirinya di atas Arka.

“Aduhhh, lo berat, anjing,” keluh Arka.

Tetapi Hanan tetap diam di atas tubuh pacarnya itu sambil pura-pura tertidur. Arka akhirnya menyerah. Dibiarkan Hanan menghimpitnya sebelum kemudian kedua tangannya bergerak untuk memeluk tubuh Hanan yang seperti beruang besar itu.

“Nan.”

“Hm?”

“Nan, mandi sana.”

“Mau mandi bareng?”

Tepukan keras di punggungnya membuat Hanan terbatuk. Namun kemudian cowok itu tertawa.

“Mau, nggak? Kalo mau ayo.”

Arka menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Hanan terpaksa harus mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Arka.

“Mau nggak?” tanya Hanan lagi.

Arka tak melihat ke arah Hanan. Ia memalingkan wajahnya ke lemari pakaian cowok itu.

“Baju gue masih ada yang di sini, kan?”

Dengan semangat Hanan bangkit berdiri dan menyeringai lebar.

“Ada, kok!”


Sambil menunggu Arka yang masih menanggalkan pakaiannya, Hanan lebih dulu masuk ke dalam bathtub seraya mengecek temperatur airnya. Memastikan agar tak terlalu panas.

“Buruan, Ka,” ujar Hanan sambil bertopang dagu di pinggiran bathtub. Ia menyaksikan pacarnya yang sudah bertelanjang dada, hendak melepas celana jeans-nya.

“Ih, hadep sana!” suruh Arka mengibaskan tangannya pada Hanan yang terang-terangan menonton kegiatannya melepas pakaian.

“Lah, kenapa? Kan udah pernah liat.”

“Malu. Sana, cepet!” usir Arka lagi sebelum membalikkan badan memunggungi Hanan.

Dengan gerutuan pelan Hanan akhirnya mengalihkan pandangannya walaupun kemudian ia tetap mencuri lihat ke arah Arka yang sedang melucuti celana hingga pakaian dalamnya. Ketika Arka membalikkan badan dan mulai melangkah menuju bathtub, Hanan buru-buru mengalihkan pandangannya lagi.

“Tutup matanya,” perintah Arka.

“Ya, ampun. Terus aku disuruh liat apaan?”

“Merem aja dulu pokoknya,” paksa Arka.

Hanan pun menuruti perintah Arka untuk menutup mata meskipun ia masih tidak habis pikir kenapa ia harus melakukan itu. Suara air berkecipak ketika Arka mulai memasukkan kakinya ke dalam bak dan merendam tubuhnya di sana.

“Udah belom?” tanya Hanan tak sabar.

“Udah.”

Hanan seketika membuka matanya namun pemandangan yang dilihatnya membuat keningnya berkerut dalam.

Punggung Arka.

“Ka, yang bener aja? Masa aku dikasih punggung?”

“Tadi bilangnya mau apa? Mandi bareng, kan?” ingat Arka.

“Dih, si Arka nggak pengertian banget. Mandi bareng tapi ada lanjutannya. Mandi sekaligus nge-”

“Buruan mandi dulu!” seru Arka tanpa mempedulikan Hanan. Cowok itu mengambil sabun cair di atas rak dan mulai mengusapkan cairan berbusa itu ke seluruh tubuhnya. Setelahnya ia melempar botol sabun ke belakang hingga mengenai bahu Hanan.

“Aduh! Ka, mau mandi bareng apa tolak peluru, sih?” protes Hanan.

Hanan terpaksa mengambil botol sabun dan memompa isinya ke telapak tangan. Dilihatnya Arka masih diam tak bergerak di tempatnya.

“Kenapa diem? Marah?”

Bahu Arka terangkat sejenak kemudian kembali turun seiring cowok itu menghela napas keras. Beberapa saat kemudian Arka membalikkan badannya hingga benar-benar berhadapan dengan Hanan. Masih dengan gerakan lambat dan tanpa suara Arka meraih botol sabun dari tangan Hanan dan menuang isinya ke telapak tangannya sendiri. Setelah membuatnya berbusa barulah ia membuka mulutnya.

“Sini deketan,” ujar Arka pelan. Matanya masih tak mau melihat lurus kepada Hanan.

Meskipun bingung dengan sikap Arka, Hanan tetap memajukan badannya hingga jaraknya cukup dekat dengan cowok itu. Arka mengulurkan tangannya dan mulai mengusap bagian leher Hanan, kemudian kedua bahunya yang kokoh, selanjutnya tangannya turun ke dada Hanan. Gerakannya terhenti sejenak dan Hanan baru menyadari betapa merahnya wajah Arka saat itu.

Pikiran jahil Hanan muncul. Ia mulai menangkap pergelangan tangan Arka dan menuntunnya untuk mengusap cairan berbusa itu pada dadanya. Sengaja ia memperlambat gerakannya agar tangan Arka bertahan lebih lama di sana.

“Kalo mau nyabunin yang bersih,” celetuk Hanan. Sontak Arka mengerjapkan matanya.

Tangan Arka terus dikendalikan hingga turun ke bagian perut. Hasil dari berjam-jam berada di gym itu memang terlihat dan terasa nyata. Otot-otot yang terasa keras ketika jemari Arka menyapu permukaan kulitnya. Sangat bertolak belakang dengan kulitnya yang selembut kulit bayi.

Hanan terus menggerakkan tangan Arka hingga cowok itu merasakan bagian lain yang cukup keras. Dituntunnya telapak tangan Arka untuk melingkupi bagian tersebut dan mengusapnya lembut.

Lenguhan pelan muncul dari balik tenggorokan Hanan sementara dirinya menahan tangan Arka agar tetap memanjakan miliknya itu.

“Enak banget, loh, Ka,” cetus Hanan dengan senyum miringnya.

“Diem,” ucap Arka yang masih belum dapat bertemu pandang dengan cowok itu.

“Tapi lebih enak lagi kalo dimasukkin,” tambah Hanan. Wajah Arka sudah sangat merah. Tangan Hanan berhenti mengendalikannya.

Mereka terdiam untuk beberapa detik sebelum Hanan bangkit berdiri. Mata Arka akhirnya mengikuti Hanan.

“Mau ngapain?” tanya Arka.

“Ya, ngapain lagi?”

Arka baru sadar pertanyaan yang dilemparnya adalah pertanyaan bodoh. Tetapi ia ingin melakukan sesuatu untuk Hanan hari ini. Diraihnya pergelangan tangan Hanan dan ditariknya cowok itu agar kembali ke tempatnya.

“Duduk aja di sini,” pinta Arka.

Perlahan Hanan kembali duduk di tempatnya. Setelah itu ia menyaksikan Arka yang merangkak mendekatinya, begitu dekat hingga wajah mereka hampir bertemu. Lalu cowok itu duduk tepat di pangkuan Hanan.

Hanan terkesiap.

Ia dapat merasakan tangan Arka meraih miliknya yang mulai berdenyut dan mengarahkannya ke bagian belakang tubuhnya. Arka menelan ludahnya dengan susah payah sebelum ia mengangkat badannya sejenak dan akhirnya menenggelamkan milik Hanan ke dalam dirinya.

Arka sempat merintih beberapa saat ketika tubuhnya belum dapat menerima keseluruhan milik Hanan. Dengan cekatan Hanan menarik kepala Arka untuk memberinya ciuman dalam agar rasa sakit cowok itu teralihkan. Sensasi dari ciuman Hanan memang selalu membuat Arka pusing, tetapi itu juga cara terbaik untuk mengabaikan rasa sakit yang mendera bagian belakang tubuhnya.

Arka mengalungkan kedua lengannya pada leher Hanan sementara Hanan memeluk erat pinggang Arka. Bibir keduanya masih bertaut dan enggan berpisah sementara Hanan berusaha mengusap punggung Arka dan perlahan menggerakkan pinggulnya agar Arka mulai terbiasa.

“Masih sakit?” bisik Hanan.

Arka menggeleng pelan di antara upayanya meredam suara-suara yang muncul dari bibirnya lantaran milik Hanan sudah tertanam sempurna di dalam tubuhnya. Ia mencoba mengangkat tubuhnya lagi dan kembali turun, dilakukannya berulang-ulang hingga rasa sakitnya berganti menjadi rasa nikmat yang menjalar ke setiap syaraf tubuhnya.

Hanan bahkan tak perlu banyak bergerak karena Arka yang melakukan semua untuknya. Cowok itu mendongakkan kepalanya hingga hanya leher putihnya yang terlihat oleh mata Hanan sementara badannya terus bergerak naik turun di pangkuannya.

“Ah, anjing,” desis Hanan. Tangannya memegang kuat pinggang Arka dan ia yakin aksinya itu akan menimbulkan bekas di esok hari.

Arka mulai melepaskan lenguhan-lenguhan pendek seiring tubuhnya bergerak. Tiap kali ujung milik Hanan menabrak bagian dalam tubuhnya yang sensitif rasanya Arka hampir kehilangan akalnya.

“Pinter banget, sih, Ka? Siapa yang ngajarin?” puji Hanan di sela hasratnya untuk mendesah keras. Stimulasi di ujung miliknya semakin memuncak.

Arka memejamkan matanya kuat-kuat. Pujian dari Hanan sama sekali tak membantu dirinya untuk dapat berpikir jernih.

Hanan menciumi leher dan dada Arka yang wangi. Memberikan efek memabukkan untuk dirinya yang sedang dimanjakan oleh Arka.

“Pinter banget Arka. Pantes juara satu terus. Disuruh apa-apa juga bisa.”

Ucapan Hanan mengirim sesuatu yang lain pada Arka. Tak menyadari miliknya juga mulai berdenyut minta diperhatikan.

Hanan menarik kepala Arka ke ceruk lehernya, bibirnya mulai membisikkan pujian tepat ke telinganya.

“Nggak usah diajarin juga udah pinter, ya? Paling pinter bikin enak Hanan. Iya?”

“Nnh- Nan…”

“Apa, sayang? Belom capek, kan? Dikit lagi.”

Arka did intend to make Hanan feel good that day. So he tried his best.

Please, praise me. Praise me more.

Hanan tak mungkin menolak permintaan Arka. Jika itu membuat keduanya puas maka Hanan akan melakukan segala yang diminta.

“Arka cantik. Arka pinter. Sekarang bisa, dong, bikin Hanan keluar?”

Arka menahan napasnya kala ia mengangguk. “Bi…sa.”

Dan Arka tak mengkhianati ucapannya. Ia menyempitkan dirinya hingga milik Hanan benar-benar dilingkupi hangat yang luar biasa. Hanan tak lagi dapat menahan erangan nikmat yang muncul dari bibirnya.

“Anjing- Ka, terusin. Pinternya aku. Ah- Enak banget Arka.”

Cengkeraman Hanan di pinggang Arka semakin menguat hingga akhirnya ia menemui pelepasannya. Hanan mengerang panjang kemudian punggungnya rebah di sisi bathtub.

Hanan menunggu hingga akal sehatnya kembali sebelum ia membuka mata untuk menyaksikan wajah Arka tepat di hadapannya. Ditariknya cowok itu untuk diciumnya lagi. Kali ini penuh dengan rasa bangga atas apa yang telah dilakukan Arka.

What was that?” bisik Hanan dengan hembusan tawa takjubnya. “Kamu sejak kapan suka kayak gitu?”

Arka tak menjawab. Telinganya masih memerah.

Hanan bangkit dari rebahnya untuk membawa Arka keluar dari bak. Kaki cowok itu pasti sudah tak kuasa untuk berdiri.

Let me take care of you.


Setelah benar-benar membersihkan badan keduanya kini berbaring dengan nyaman di ranjang. Hanan memeluk Arka dari belakang dan mengubur wajahnya di leher cowok itu.

“Arka. Makasih buat hari ini, ya?”

“Hm? Makasih kenapa?”

“Udah nemenin aku hari ini. Ngelakuin hal yang aku pengen.”

Arka membuka kelopak matanya. “Gue tau lo pengen banget ngadain baksos di panti asuhan.”

“Aku ngerasa itu salah satu tugasku, sih, Ka. Aku bagian dari mereka juga sebenernya. Bedanya aku punya seseorang yang mau ngorbanin semuanya buat ngerawat aku.”

Arka mendengarkan ucapan Hanan sambil menepuk lembut tangannya yang melingkar di perutnya.

“Tau, nggak, tadi ada omongan anak-anak itu yang bikin aku ketampar? Mereka nggak pernah dapet perhatian penuh dari mereka kecil. Walaupun ada yang ngurusin keperluan mereka sehari-hari, tapi mereka masih ngerasa ada yang kurang. Gara-gara itu aku jadi mikir kalo keberadaan Mamah efeknya gede banget di aku. Mamah bisa bikin aku merasa cukup walaupun nggak punya orang tua lengkap. Walaupun Mamah sendiri bukan orang tua kandung aku.”

“Nyokap lo emang keren banget, Nan. Gue selalu bilang itu, kan?” Arka membalikkan badannya untuk menatap wajah Hanan. “Tapi gue juga bangga banget sama lo. Meskipun lo tumbuh tanpa sosok ayah, yang gue yakin lo pasti pernah pengen punya, tapi lo tetep bisa jadi sekeren ini.”

Hanan mengulas senyum samar. Ia memang terkadang memikirkan bagaimana rasanya punya figur seorang ayah dalam hidup. Tetapi jika dengan satu sosok ibu yang hebat saja sudah cukup, untuk apa lagi ia mencari?

“Sayang banget sama kamu.”

Gumaman Arka membuyarkan pikiran Hanan. Ia seketika melebarkan matanya.

“Apa?”

“Apa??”

“Tadi kamu bilang apa?”

“Sayang.”

“Yang lengkap.”

“Sayang banget sama lo.”

“Nggak, tadi nggak gitu.”

“Apa, sih? Sayang banget sama kamu?”

“Nah, itu!”

Arka berdecak pelan. “Segitu senengnya dipanggil kamu?”

Hanan mengangguk-angguk girang.

Childish banget, sih.”

“Boleh, nggak, sekarang manggilnya gitu?”

Arka berpura-pura untuk mempertimbangkan.

“Cuman pengen aku-kamuan, loh. Masa nggak boleh?”

“Belom kebiasa.”

“Dibiasain makanya. Kalo dipanggil kamu aku bisa jadi jinak. Sumpah.”

“Ngawur.”

“Beneran.”

“Awas, ya, kamu kalo bohong?”

Hanan serentak bangkit dari ranjangnya dan memukuli bantalnya dengan brutal.

“Tuh, kan! Mana jinak?”

“Jangan tiba-tiba gitu!” seru Hanan. “Aku belom siap.”

“Ya, udahlah nggak usah.”

“Eh, jinak, kok, jinak! Janjiii!” Hanan menghampiri Arka untuk memeluknya erat. “Panggil kamu, ya?”

“Hmm. Kamu. Kamu kamu kamu kamu kamu.”

Hanan semakin mempererat pelukannya dan menyerang Arka dengan ciuman. Yang dikurung dengan kedua lengan itu hanya bisa memekik seraya memecah tawa. Pacarnya memang unik. Bisa bertingkah aneh untuk hal-hal yang sepele.

But that's what he likes about Hanan after all.